Yokatta ne,
akhirnya kembali juga ke kamarku yang kini penuh reremah sakura (?) Entah apa yang
Allah rahasiakan, segala yang Ia gariskan, adalah selalu yang terbaik, bukan? Minna-san,
mohon untuk selalu membersamaiku dalam perjuangan ini. :’) Taihen dakedo, isshoni ganbarimashoo… :’) Aku tahu itu sulit. Tapi,
ayo berjuang bersama-sama :”)
Sebelum
kembali menyatukan serak mimpi dan kembali melanjutkan perjuangan, biarlah aku
mengabadikan kenanganku beberapa minggu ini.
Hari pertama aku di Jakarta setelah
liburan, aku dijemput seseorang yang belum kukenal dengan dekat. Kami hanya
pernah berada di dauroh yang sama dan aku diberi tahu namanya oleh temanku
dengan sekilas. Beruntung, aku tidak melupakan wajahnya karena teman dekatku,
adalah juga teman dekatnya. Ya, tetapi hubunganku dengannya, tak lebih sebagai
kenalan sepintas saja yang tidak berlanjut, sebelum hari dimana dia
menjemputku.
Ia membawaku ke sebuah rumah tingkat
bercat ungu. Orang-orang di sekitar rumah ini menyebutnya ‘Kos Ungu’. Jangan
mengkhayalkan jika bangunan yang akan aku tempati ini seperti kos-kontrakan di
Jepang yang berarsitektur kayu, ber-tatami, dan hal lainnya yang menimbulkan rasa
nyaman sebab itu. Bangunan yang akan aku tempati ini hanyalah kumpulan beton
yang dingin. Seperti penghuninya, mungkin? Entahlah…
Di
lantai pertama, kau akan menemukan tiga kamar dengan sebuah cermin yang
menghadap ke luar ruangan. Belakangan kutahu, jika kamar-kamar itu diisi oleh
anak-anak Ma’had. Kamar pertama berisi tiga akhwat yang baru saja masuk ma’had,
kamar kedua ada seorang ikhwan, dan kamar nomor tiga ada seorang akhwat dari
luar Jawa.
Aku
lalu diajak menaiki tangga yang membuatku sangat lelah ketika aku sampai di
atas, dan membuatku seakan bisa terjun bebas ketika aku menuruninya.
Kamarku berada di lantai atas dengan
pintu bernomor tujuh. Di lantai ini, ada empat kamar yang hanya kamar kami
satu-satunya yang diisi oleh akhwat. Kaget? Tentu saja kau harus kaget! Hingga
hari terakhirku di Jakarta, aku masih sering merasa aneh dan tidak nyaman
ketika suatu kali, tetangga kamarku berbicara di telepon, dan angin
menerbangkan suaranya hingga gendangku. Sebelum ini, aku tidak pernah sekali
pun mendengar suara laki-laki asing di dekat kamarku, kau tahu?
Lepas dari itu, karena jarang—malas—keluar,
terlalu lambat kutahu, jika kosku ini berada sangat dekat dengan Taman Salam.
Aku baru menyadarinya ketika teman dekatku mampir dan mengatakan hal itu
kepadaku.
“Eh! Jadi, aku selalu bisa melihatmu
dong, setiap jam kampus selesai. Dari situ,” Ia menunjuk jalan di dekat sungai,
menuju taman.
“Begitu?”
“Um.”
Pertama kali memasuki kamarku, aku
mendapati dua lemari, kipas angin tinggi, kasur yang nyaman, dispenser, juga
kamar mandi dalam. Fasilitas yang sebanding dengan harga sewa yang ditawarkan.
Ada hal lain yang lebih menarik dari itu semua. Jendela besar! Ya, jendela
besar! Hanya kamarku yang beruntung mendapat balkon yang bisa kulewati dengan
melompat dari jendela kamar yang sangat luas. Dari jendela ini, jalan setapak
yang selalu penuh lalu-lalang orang itu akan terlihat dengan jelas.
Tidak.
Tidak ada vending machine yang biasa
disinggahi orang untuk membeli minuman kaleng, lalu bangku panjang yang
diduduki Kouji saat ia menunggu teman-temannya hingga Kaoru yang memiliki
penyakit XP dan tidak boleh terkena sinar matahari, bisa menatapnya lama-lama. Tidak
seperti di Taiyou no Uta, pemandangan dari jendela kamarku hanyalah deretan
perumahan padat, gedung-gedung pencakar langit, tiang-tiang listrik,
pohon-pohon yang tinggi, juga jalan setapak yang sempit. Tapi hal itu bukan
masalah karena aku bisa mengisi paruku dengan udara sebanyak apapun yang kumau.
Omong-omong
soal jendela, ini benar-benar menyenangkan. Jika aku dalam posisi rebah dan dua
jendela itu terbuka, aku seakan sedang rebahan dengan berpayung langit. Bisa
kau bayangkan bagaimana menyenangkannya jika langit penuh bintang, bukan? Yah,
tapi sayang sekali. Aku pun belum mendapat moment itu karena ini adalah musim
hujan. Jika di malam hari dan aku melakukan itu, aku hanya akan mendapati
langit kelam, juga pemancar tinggi dengan sinar merah di pucuknya.
Hm, ada yang terlupa. Tentang roommateku. Saat aku datang, dia belum
berada di Jakarta dan aku tidak pernah mengenal rupa bahkan namanya sebelumnya.
Aku lalu hanya mendapat informasi tentang namanya dan mengetahui jika ia berada
di tingkat syariah 5. Jangan tanyakan kenapa aku mau sekamar dengan orang yang
belum aku kenal. Aku pun heran dan sempat merasa jika aku adalah pribadi yang
berbeda saat itu.
Soal
tetangga kamarku yang semuanya lelaki, oh-oh, jangan kau bayangkan jika aku
memiliki tetangga yang akan memotretku ketika aku sedang melamun menatap lembaran
buku yang terbuka seperti yang dilakukan Nishimura Kazuto pada tetangga
kamarnya Ishida Keiko dalam dunia khayalnya Ilana Tan di Winter in Tokyo. Tidak
seperti itu…
Juga, jangan mengira jika aku
mempunyai tetangga yang meskipun romantis dan tampan, tetapi menyebalkan,
seperti yang dialami oleh Nishimori Aoi yang sangat beruntung mendapat tetangga
semacam Kugayama Shuusei aka Yamazaki Kento.
Aah, akan menjadi terlalu berlebihan
jika kau mengira tetanggaku itu seperti Shohei—Chinen Yuuri—di Sprout, yang di
pagi hari, dia terkadang menyapa dengan senyum yang sangat indah dan
memperlihatkan gigi kelincinya, lalu berkata, “Ohayo. Bagaimana malammu?”—dan pertanyaan semacamnya.
Oh, tidak seperti itu. Tetanggaku
hanyalah orang-orang yang sibuk dengan rumitnya dunia kerja. Rutinitas
hariannya yang tidak berubah bahkan membuatku merasa bosan dengan betapa
stagnannya perputaran hidup tetangga-tetanggaku ini.
Alarm yang berbunyi jam 6 pagi,
kendaraan yang dipanaskan pada pukul tujuh, dan laju motor yang kudengar
setengah jam kemudian. Itu baru rutinitas pagi yang selalu terulang. Dan, aku
tidak pernah tertarik untuk tahu kegiatan mereka lebih lanjut. Mereka hanya,
membiarkan aku tahu dan membaca masing-masing mereka.
Jarak
antara pintu satu dengan pintu lain yang berhadapan, yang tidak lebih dari lima
langkah, membuat semua hal menjadi wajar jika di sore hari, kira-kira pukul
empat, atau lebih, aku dapat dengan jelas mendengar tetanggaku memutar kunci
dengan suara yang ricuh. Lalu debam pintu yang tertutup dengan suara berisik.
Tentang
kebiasaan para penghuni lantai atas yang membawa temannya tiap akhir pekan, dan
main game millionaire itu juga aku tahu. Tapi aku tidak pernah peduli dan hanya
memilih untuk terus berada di balik pintu kamar kosan, dan melakukan hal yang
menyenangkan.
Lagi,
yang paling penting, jangan kau kira jika aku pernah berpapasan dengan mereka
di koridor, atau menaiki dan menuruni tangga bersama-sama. Aku tidak pernah
mengalami itu dan selalu berusaha menghindarinya. Aku hanya pernah satu-dua
kali melihat mereka saat aku ingin membuang sampah, atau saat aku kembali ke
kosan selepas berbelanja dan mereka sedang memarkirkan motor, lalu memberiku
jalan. Kami tidak saling sapa, tentu saja.
Lagi-lagi,
hapus bayangan adegan yang seperti ini.
“Na-nani? Nani? Nani? Sejak kapan kau di sini? Ini juga kosku!”
“Minggu lalu,”
“Nn-nomor bb-berapa?”
“7.”
“Yabai! Itu depan kamarku!”
Atau,
“Kau siapa?”
“A-aku, tetanggamu. Kamarku di seberang. Kau penghuni baru,
kan? Karena aku tidak mendengar suara apapun, dan orang-orang di sini
mengatakan belum melihatmu keluar sejak tadi, aku pikir… aku pikir, kau… sakit,
atau pingsan. Atau… yah, aku khawatir dan mencemaskanmu, tentu saja. Sebagai
tetangga,”
Oohh-ohh,
tidak ada yang seperti ini. Tidak ada. Hahaha. Aku bahkan tidak mengenal
siapa-siapa selain teman sekamarku. Aku tidak mengenal dan bertemu dengan akhwat
yang ada di lantai bawah, aku tidak pernah melihat ikhwan yang menempati kamar
bawah yang suara tilawahnya sering terdengar lepas maghrib, aku tidak tahu
seperti apa tetangga-tetanggaku di lantai atas, aku juga belum pernah sekalipun
mengetahui bagaimana rupa ibu kosku.
Tentu
saja tidak ada acara minum bersama, dan makan-makan, atau nonton bareng di
akhir pekan, apalagi pergi ke tempat bermain dan mencoba wahana permainan yang
mengasyikkan dengan sesama penghuni dan pemilik kos. Jika hal itu saja tidak
mungkin terjadi, jangan bayangkan jika tetangga kamarku akan mengajakku melihat
kembang api berbentuk hati di Festival Tanabata. Hal seperti itu… tentu saja
tidak akan pernah ada!
Sudah
kukatakan, kita hanya menjalani hidup sendiri-sendiri. Sibuk dengan dunia yang
sudah terkotak-kotak, dan menjadi dingin. Meski kami tidak saling mengganggu,
dan berusaha membuat tetangga kami tidak terganggu, hidup seperti ini akan
sangat membosankan.
Meski
dulu, aku selalu malas berbasa-basi, dan bosan bahkan sebal jika ada orang yang
menyapaku, sekadar untuk bertanya kabar, yang mengakibatkan aku memperlakukan
orang lain sebagaimana aku ingin diperlakukan, kini aku paham, jika tetangga yang
baik bukan yang seperti itu, bukan…
Kelak
jika aku sudah berkeluarga—eh? Sepertinya ada yang salah dengan otakku—aku akan
meminta suamiku—ap-apa? Aku bicara apa? Tolong lupakan kata-kata terakhir—memilihkan
lingkungan dan tetangga yang baik untuk masa depan dan anak-anak kita—cukup,
sepertinya aku demam.
Yosh,
pada akhirnya, semuanya kembali seperti saat di mana aku belum dipertemukan dan
mengalami kejadian tersebut.
0 komentar