Ramadhan dan Bualan-bualan

By Zulfa Rahmatina - 7:30 AM

Gempitanya sudah terlihat sejak beberapa minggu sebelumnya. Menguat di penghujung Sya’ban, saat hari-harinya mulai memendek, tergerus waktu. Adik dan sepupu-sepupuku bahkan sudah sejak lama menyiapkan amunisi. Petasan panjang dari pipa—atau sesuatu yang seperti itu—dengan cara kerja yang tidak kupahami—dan tidak ingin kumengerti. Petasan yang bunyinya selalu mengagetkan dan menyebalkan itu membutuhkan spiritus dan pemantik untuk mendukungnya berkicau. Setidaknya kecuali petasan, target-terget Ramadhan mereka terdengar begitu merdu.

Selain itu semua, adikku yang sudah beberapa tahun belakangan mendapat jatah untuk berceramah di masjid tiap sebelum tarawih, mulai merencanakan menyelinap pulang awal saat tarawih agar tidak dimintai tanda tangan anak-anak yang ingin memenuhi lembar-lembar Buku Kegiatan Ramadhan-nya. Tak jauh berbeda dengan adikku yang baru duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Ia juga merangkai-rangkai beragam hal yang akan dilakukannya di bulan puasa ini.

“AHH! Ini adzan Ramadhan, dengar,” Nabil, adikku, berseru saat adzan maghrib berbunyi. Seruan adzan dari seorang marbot masjid yang tidak begitu merdu. Aku hanya mengernyit, melihat senyumnya yang begitu lebar. “Adzan bulan Ramadhan,” katanya lagi. Kali ini berbisik. Seperti berkata pada hatinya. Tak lama ia segera bersiap-siap pergi ke masjid. Meninggalkanku yang menatapnya kosong dengan bertanya-tanya. Apa yang membuat wajahnya begitu gembira? Aku menggelengkan kepala tidak mengerti.

Sebelumnya aku berharap bisa menghadiri tarawih pertama. Tetapi aku tidak mendapatkannya. Aku berharap bisa melihat begitu banyak wajah-wajah yang berbinar seperti adikku tadi karena datangnya bulan yang mulia ini—atau entah karena-karena yang lain. Mungkin aku akan semakin bingung, dan lebih banyak lagi bertanya-tanya. Karena sejujurnya, aku tidak begitu paham apa yang membuat orang-orang itu bahagia dengan datangnya Ramadhan. Apakah ini karena janji dilipatgandakannya amalan-amalan? Bahkan jika hanya karena itu saja, seharusnya kebahagiaan yang muncul itu tidak perlu lagi dipertanyakan. Ramadhan memang menyimpan berjuta-juta keistimewaan dan aku paham hal itu.

Aku juga paham betapa tidak sedikit yang berusaha memperjuangkan kesuciannya. Beberapa waktu yang belum lama, beranda sosial mediaku bahkan dipenuhi orang-orang yang merasa sok benar dengan pendapatnya tentang hakikat menghargai, dan dihargai. Hanya terus saja berputar-putar pada topik yang kurasa tidak akan pernah terselesaikan itu. Betapa menjemukannya mengamati orang-orang yang sibuk merangkai-rangkai kata yang dibuat terlihat sedemikian intelek demi menistakan agama mereka sendiri. Betapa geli melihat orang-orang yang dengan sukarela, mempertontonkan kedunguannya di publik melalui postingan status-statusnya. Dunia memang sudah tidak lagi punya rahasia, rupanya.

Tapi, untuk apa mereka melakukan itu semua? Apakah ini semata karena Ramadhan adalah terlalu suci untuk dikotori oleh pemahaman-pemahaman yang tidak semua bisa menerimanya? Atau karena apa? Dengan tanpa ikut campur dan berlepas diri dari urusan mereka, aku berusaha menarik garis lurus dari kejadian ini. Kesimpulan yang kudapat, mereka semua sedang menyambut Ramadhan. Dengan cara masing-masing.

Menyambut Ramadhan. Menyambut Ramadhan. Menyambut Ramadhan? Lalu dengan apa aku menyambutnya? Apa aku juga sudah menyambutnya? Bagaimanalah ini… di detik-detik menjelang Ramadhan aku bahkan masih melakukan dosa. Aku masih belum cukup mengerti apa saja yang harus kupersiapkan bahkan hingga adzan maghrib yang menandai awal Ramadhan, terdengar.

Apa yang harus kulakukan? Subuh tadi, saat keluargaku baru menyelesaikan sahur dan ketika aku baru saja bangun, aku segera meraba dadaku. Mencari-cari getaran itu. Aku sangat berharap aku menemukannya. Sejak adzan maghrib terakhir, hingga subuh memerah, aku sangat menginginkan debaran yang bisa membuatku gugup karena terlalu senang itu hadir. Tapi harapan kalau-kalau getaran yang kucari pada subuh tadi itu kurasakan, tidak juga kudapatkan keberadaannya.

Ya Allah, apa yang sebenarnya sedang kurasakan? Apakah aku benar merindu Ramadhan seperti yang selama ini kusangka? Beberapa waktu lalu aku bahkan menahan diriku untuk tidak menulis kalimat sesuatu seperti ‘Marhaban yaa Ramadhan’ di banyak akun-akun jejaring sosial yang kupunya, karena aku khawatir jika aku tidak benar-benar dapat bertemu dengannya sebelum waktunya tiba. Dan saat sekarang aku masih dipertemukan dengan Ramadhan, apa yang harus kulakukan?

Sekarang aku benar-benar gugup. Tidak, bukan gugup karena terlalu senang dengan kehadiran Ramadhan. Perasaan yang kurasakan ini lebih karena aku cemas mengetahui ternyata aku ini seorang pembual. Pembual yang mengaku-ngaku menanti dan mencintai Ramadhan, tetapi tidak melakukan apa-apa untuk menyambutnya. Pembual yang dengan ringan menyebar broadcast-broadcast sunnah-sunnah Ramadhan, tetapi tanpa disertai amalan.

Hingga detik ini, berapa kali Ramadhan yang sudah kulalui? Duapuluh kali. Tetapi, apa yang kudapat? Aku merasa tidak pernah mendapat apa-apa. Begitu menyedihkan.

Di mana janji malam seribu bulan, dilipatgandakannya amalan, menit-menit diijabahnya doa, sunnah-sunnah yang bertabur, ayat-ayat yang dilangitkan, apakah semuanya itu… aku tidak bisa merasakannya? Mendengarnya? Ternyata, selain seorang pembual, aku adalah orang yang buta dan tuli. Betapa aku telah menyia-nyiakan waktuku selama ini.

Ramadhan baru saja menyapa. Dan hingga detik ini aku masih juga belum benar-benar paham tentang banyak hal. Kabar baiknya, masih panjang hari-hari perjuangan yang semoga saja bisa dilewati oleh pembual sepertiku ini.  

Ramadhan, apa yang sudah kau rencanakan dalam pertemuan kali ini? Apa yang harus kulakukan?

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar