Gempitanya sudah terlihat sejak beberapa minggu
sebelumnya. Menguat di penghujung Sya’ban, saat hari-harinya mulai memendek,
tergerus waktu. Adik dan sepupu-sepupuku bahkan sudah sejak lama menyiapkan amunisi. Petasan
panjang dari pipa—atau sesuatu yang seperti itu—dengan cara kerja yang tidak
kupahami—dan tidak ingin kumengerti. Petasan yang bunyinya selalu mengagetkan
dan menyebalkan itu membutuhkan spiritus dan pemantik untuk mendukungnya
berkicau. Setidaknya kecuali petasan, target-terget Ramadhan mereka terdengar
begitu merdu.
Selain itu semua, adikku yang sudah beberapa tahun
belakangan mendapat jatah untuk berceramah di masjid tiap sebelum tarawih,
mulai merencanakan menyelinap pulang awal saat tarawih agar tidak dimintai
tanda tangan anak-anak yang ingin memenuhi lembar-lembar Buku Kegiatan
Ramadhan-nya. Tak jauh berbeda dengan adikku yang baru duduk di kelas 1 Sekolah
Dasar. Ia juga merangkai-rangkai beragam hal yang akan dilakukannya di bulan
puasa ini.
“AHH! Ini adzan Ramadhan, dengar,” Nabil, adikku,
berseru saat adzan maghrib berbunyi. Seruan adzan dari seorang marbot masjid yang
tidak begitu merdu. Aku hanya mengernyit, melihat senyumnya yang begitu lebar. “Adzan
bulan Ramadhan,” katanya lagi. Kali ini berbisik. Seperti berkata pada hatinya. Tak lama ia segera bersiap-siap pergi ke masjid. Meninggalkanku yang menatapnya kosong dengan bertanya-tanya. Apa yang membuat wajahnya begitu gembira? Aku menggelengkan kepala tidak
mengerti.
Sebelumnya aku berharap bisa menghadiri tarawih
pertama. Tetapi aku tidak mendapatkannya. Aku berharap bisa melihat begitu
banyak wajah-wajah yang berbinar seperti adikku tadi karena datangnya bulan
yang mulia ini—atau entah karena-karena yang lain. Mungkin aku akan semakin
bingung, dan lebih banyak lagi bertanya-tanya. Karena sejujurnya, aku tidak begitu
paham apa yang membuat orang-orang itu bahagia dengan datangnya Ramadhan. Apakah
ini karena janji dilipatgandakannya amalan-amalan? Bahkan jika hanya karena itu
saja, seharusnya kebahagiaan yang muncul itu tidak perlu lagi dipertanyakan. Ramadhan
memang menyimpan berjuta-juta keistimewaan dan aku paham hal itu.
Aku juga paham betapa tidak sedikit yang berusaha memperjuangkan kesuciannya. Beberapa
waktu yang belum lama, beranda sosial mediaku bahkan dipenuhi orang-orang yang
merasa sok benar dengan pendapatnya tentang hakikat menghargai, dan dihargai. Hanya terus saja berputar-putar pada topik yang kurasa tidak akan pernah terselesaikan itu. Betapa
menjemukannya mengamati orang-orang yang sibuk merangkai-rangkai kata yang
dibuat terlihat sedemikian intelek demi menistakan agama mereka sendiri. Betapa
geli melihat orang-orang yang dengan sukarela, mempertontonkan kedunguannya di publik
melalui postingan status-statusnya. Dunia memang sudah tidak lagi punya
rahasia, rupanya.
Tapi, untuk apa mereka melakukan itu semua? Apakah ini
semata karena Ramadhan adalah terlalu suci untuk dikotori oleh
pemahaman-pemahaman yang tidak semua bisa menerimanya? Atau karena apa? Dengan
tanpa ikut campur dan berlepas diri dari urusan mereka, aku berusaha menarik
garis lurus dari kejadian ini. Kesimpulan yang kudapat, mereka semua sedang
menyambut Ramadhan. Dengan cara masing-masing.
Menyambut Ramadhan. Menyambut Ramadhan. Menyambut
Ramadhan? Lalu dengan apa aku menyambutnya? Apa aku juga sudah menyambutnya? Bagaimanalah
ini… di detik-detik menjelang Ramadhan aku bahkan masih melakukan dosa. Aku
masih belum cukup mengerti apa saja yang harus kupersiapkan bahkan hingga adzan
maghrib yang menandai awal Ramadhan, terdengar.
Apa yang harus kulakukan? Subuh tadi, saat
keluargaku baru menyelesaikan sahur dan ketika aku baru saja bangun, aku segera
meraba dadaku. Mencari-cari getaran itu. Aku sangat berharap aku menemukannya. Sejak
adzan maghrib terakhir, hingga subuh memerah, aku sangat menginginkan debaran
yang bisa membuatku gugup karena terlalu senang itu hadir. Tapi harapan
kalau-kalau getaran yang kucari pada subuh tadi itu kurasakan, tidak juga
kudapatkan keberadaannya.
Ya Allah, apa yang sebenarnya sedang kurasakan? Apakah
aku benar merindu Ramadhan seperti yang selama ini kusangka? Beberapa waktu
lalu aku bahkan menahan diriku untuk tidak menulis kalimat sesuatu seperti ‘Marhaban
yaa Ramadhan’ di banyak akun-akun jejaring sosial yang kupunya, karena aku
khawatir jika aku tidak benar-benar dapat bertemu dengannya sebelum waktunya
tiba. Dan saat sekarang aku masih dipertemukan dengan Ramadhan, apa yang harus
kulakukan?
Sekarang aku benar-benar gugup. Tidak, bukan gugup
karena terlalu senang dengan kehadiran Ramadhan. Perasaan yang kurasakan ini
lebih karena aku cemas mengetahui ternyata aku ini seorang pembual. Pembual yang
mengaku-ngaku menanti dan mencintai Ramadhan, tetapi tidak melakukan apa-apa
untuk menyambutnya. Pembual yang dengan ringan menyebar broadcast-broadcast
sunnah-sunnah Ramadhan, tetapi tanpa disertai amalan.
Hingga detik ini, berapa kali Ramadhan yang sudah kulalui?
Duapuluh kali. Tetapi, apa yang kudapat? Aku merasa tidak pernah mendapat
apa-apa. Begitu menyedihkan.
Di mana janji malam seribu bulan, dilipatgandakannya
amalan, menit-menit diijabahnya doa, sunnah-sunnah yang bertabur, ayat-ayat
yang dilangitkan, apakah semuanya itu… aku tidak bisa merasakannya? Mendengarnya?
Ternyata, selain seorang pembual, aku adalah orang yang buta dan tuli. Betapa aku
telah menyia-nyiakan waktuku selama ini.
Ramadhan baru saja menyapa. Dan hingga detik ini aku
masih juga belum benar-benar paham tentang banyak hal. Kabar baiknya, masih panjang hari-hari
perjuangan yang semoga saja bisa dilewati oleh pembual sepertiku ini.
Ramadhan, apa yang sudah kau rencanakan dalam pertemuan kali ini? Apa yang harus kulakukan?
0 komentar