Masih Tentangnya...

By Zulfa Rahmatina - 5:57 AM

                               
“Kenapa Allah menciptakan babi, lalu mengharamkannya? Untuk apa?”
“Ikan punya sirip, karena itu dia bisa berenang. Manusia?”
“Adik masuk surga bila…?”
Dulu, pertanyaan itu yang menghujani Ummi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adikku saat usianya masih hitungan jari. Aku pun, sama. Ummi dan Abi membiasakan kami bertanya—meski pertanyaan konyol sekalipun, lalu membuka diskusi kecil, mencari kesepakatan.
“Massa jenis besinya masih kkal nih, gimana ngubahnya? Rumus kalor udah kuterapin.”
Kini, adik-adikku menyerangku. Dan aku harus mempunyai jawaban atas setiap pertanyaan mereka. Syukurku melangit, saat Abi, tidak pernah tidak menyekolahkanku, dan membebaskanku untuk membaca sebanyak-banyaknya buku.
Hari terakhir, sebelum libur hari tenang.
Lampu led ponselku berpijar. Nama Abi, berkedip-kedip, terpampang. Diiringi dering nasyid Arab tentang perjuangan. Ritual harian. Ummi, selalu menelponku. Sering kali, bahkan sebelum aku sempat sarapan. Hal inilah yang membuatku merasa, ia masih selalu di dekatku. Meski Jakarta-Kendal, bukanlah bilangan jarak yang cukup dekat.
Dengannya, aku biasa berbincang, lama-lama. Mengisahkan semua cerita yang kualami, hingga habis, tak bersisa. Tentang pelajaranku, tentang cara dosen mengajar, tentang teman-teman, tentang kejadian di metromini, tentang siapa saja yang kutemui, tentang apa yang kulihat hari itu, tentang perasaanku, tentang segalanya…
Sepertinya, aku tidak akan pernah kehabisan stok cerita, meski setiap hari ummi meneleponku. Karena itulah, bersamanya, aku belajar menjadi pendengar yang baik. Sebab itulah, hampir mati rasanya jika aku tidak menemukan orang yang dapat menjadi curah celotehku. Sayangnya, aku ini orangnya sangat pemilih. Dan cukup sulit untuk dekat dengan orang baru. Maka, hanya kepada orang-orang yang tepat, dan kupercayalah, aku memilih untuk bercerita.
Pilihan itu, dari daftar orang-orang yang dekat denganku, tentu saja ummi berada di posisi teratas. Tapi kini aku tidak akan menceritakannya. Ini masih tentangnya. Tentang seorang wanita, yang di rahimnya, pernah tinggal seorang lelaki yang kucinta. Tentang seorang wanita, yang pada telapaknya, juga dijanjikan syurga…
            Kutekan gambar hijau. Telepon tersambung.
            “….”
            “Assalamu’alaikum?”
            Ada isak yang tersaring di gendang. Suara Abi. Aku yakin itu. Aku mengenalnya lebih dari suaraku sendiri.
             “Abi…”
       Masih suara isak. Kubayangkan, bahu Abi berguncang. Kubayangkan, aku menatapnya, berkaca, nanar. Pertama dan terakhir kali aku melihatnya menangis, adalah sesaat sebelum kepergiannya meninggalkan kami ke Baitullah. Saat Abi memelukku dengan beberapa nasihat, saat berpamitan pada Mamak, saat meruahkan pesan-pesan ke adik-adiknya.
Abi, a man doesn’t cry, you know…
Dalam hati, aku berharap isak itu berganti dengan suara riangnya saat menyenandungkan nasyid Muwahhidun Anaa.
            “Abi…”
            Pasti ada sesuatu yang terjadi.
           “Abi!” kukeraskan panggilan. Meski, tenggorokanku saat itu benar-benar telah tersumbat oleh air ludahku sendiri.
            “Zulfa, doakan saja, ya, Mamak…” suaranya terdengar berat.
          Tonus leherku reflek mengejang. Lidahku tergulung ke belakang. Untuk beberapa saat, aku seperti tak bertulang. Semakin sulit saja aku berbicara. Tapi, kupaksakan juga untuk bertanya. Pertanyaan retoris. “Mamak… kenapa?”
            Dan isak semakin kencang jadi jawaban.
            “Mamak kenapa?!”
            “Zulfa, doakan saja…”
            Tanpa salam, sambungan terputus. Ah, sengaja diputus. Karena kata yang saat itu sangat sulit keluar dari mulut. Otakku tumpang tindih. Aku tidak lagi mampu berpikir jernih. Janji-janji hari itu, menguap. Kelas terakhir, syuro siang nanti, rencana memasak random bersama Ana malam nanti…
         Panggilan teman yang mengajakku berangkat ke kampus bahkan tidak lagi terdengar. Aku mengacuhkan segalanya. Pikiranku saat itu benar-benar kosong. Dan kabar kematiannya, membuatku mengurung diri di petak kamar kos yang kecil, tanpa melakukan apa-apa.
Tega sekali …
            Bagaimana bisa? Dia, tidak berpamitan denganku?
        Abi, a man doesn’t cry, you know. But I do. Because I’m women. And trying to forget her is scary…
           Relief renta di kulitnya, sedikit tidak kentara karena tubuhnya yang berisi dan bersih. Nenekku—kami biasa memanggilnya Mamak—adalah nenek yang sama seperti nenek pada umumnya. Ia menjalankan tugasnya sebagai nenek dengan baik, begitu pula aku. Memerankan tokoh cucu yang menyebalkan, sedikit bengal. Susah diatur.
Ia wanita biasa, yang kuakui, turut berperan serta mengenalkanku pada dunia. Tetapi, dulu aku selalu mengira, jika posisinya, bahkan tidak lebih istimewa daripada tante, paman, atau sepupu-sepupuku. Yang biasa membelikan novel-novel, mentraktir, mengajak nonton, memancing, dan banyak hal menyenangkan yang lain.
Aku bersama Mamak, hanya menjalani hidup dengan normal. Ya, hanya menjadi normal. Meski sering aku merasa hubunganku dengannya adalah abnormal. Ternyata, kilasan kejadian-kejadian yang kualami dengannya itulah yang sekarang kini menyiksaku tanpa ampun.
Nenekku adalah orang yang dulu, tiap hari, sangat cerewet menanyakan kabar kuliahku, dan kujawab dengan sebuah kebohongan besar. Berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Berkata bahwa aku masuk siang. Lain waktu, aku pura-pura memberitahunya tentang hari dan tanggal. “Oh, sekarang kuliahnya sedang libur.” Padahal, aku sudah tidak masuk berbulan-bulan. Padahal, ia adalah nenek yang cerdas. Yang menghabiskan waktunya untuk membaca. Yang gemar berhitung. Yang seringkali lebih mengetahui tanggal daripada aku. Tapi aku mengacuhkan itu semua. Termasuk mengacuhkan keterkoyakan hatinya ketika tahu aku membohonginya, di kali pertama dia bertanya. 
     Ia adalah nenek yang membuatku sangat kesal. Ketika, di malam sebelum tidur, dia menawarkanku berupa-rupa makanan berat, camilan, buah-buahan, biskuit manis, minuman hangat, madu, susu, habbatussauda. Ya Tuhan… aku anak perempuan. Ini malam, dan aku baru saja makan. Sudah gosok gigi. Sudah kenyang. Kuacuhkan segalanya, lalu kutarik selimut dengan enggan.
            Ia adalah nenek yang membuat Abi mengatakan, “Kalau kau berbakti kepadanya, berarti kau membawa abi dan ummi, selangkah lebih dekat dengan syurga.” Yang akhirnya, sebab kata-kata itu, aku berkenan berada satu pembaringan dengannya. Menemaninya tidur meski dengan sedikit gumpal sesal. Meninggalkan betapa nyamanya kamarku yang berantakan dengan pemandangan buku-buku di berbagai sisi, juga pendar layar laptop yang sering mengajak bertengkar.
            Ia juga adalah nenek yang membuatku mendengus keras saat ia memeluk tanganku dengan erat, takut aku meninggalkannya, lalu tertidur pulas setelah memastikan aku tidak bisa bergerak. Hingga akhirnya, aku hanya telentang dengan mata terbuka lebar, sepanjang malam.
            Ia nenek yang lebih memilih menyuruhku mengepel bagian rumahnya yang tidak terpakai dan sangat luas, daripada menyuruh khadimahnya. Ia nenek yang berulang kali memintaku menjemurkan kain-kain jariknya yang lebar di halaman belakang rumah—sedang ia hanya melihatku dari dekat, kemudian menyuruhku membenahi baju-baju di lemarinya yang sangat banyak dengan rapi, setelah berulang kali pula, ia kacaukan sendiri tumpukan lipatan-lipatan itu. Ia juga nenek yang sering memintaku memetikkan beberapa buah jambu biji muda di kebun belakang rumah kami, lalu membuatkannya segelas jus jambu biji.
Aku akan mengatakan ia adalah nenek yang mengganggu hidupku. Sebelum aku mengingat, jika ia adalah nenek yang lebih memilih memberiku beberapa lembar uang, untuk membawa motor matic-ku ke cucian, daripada melihatku mencucinya sendiri. Ia nenek yang menyuruhku segera membeli kacamata, saat kukeluhkan kepadanya tentang mataku yang mulai rabun. Ia nenek yang begitu peduli dengan pendidikan kami. Ia yang sering mengumpulkan keluarga-keluarga yang sibuk, menjadi dekat, sebab rencana rihlahnya. Ia nenek yang sengaja membawa buah tangan untuk kami lepas berbelanja. Ia nenek yang tak jarang kami sisir rambut hitam panjangnya yang berkilau indah tanpa bantuan minyak apapun—yang membuatku enggan membandingkannya dengan rambut kusutku—di suatu siang yang membakar. Ia nenek yang memintaku untuk menjadi imam maghribnya, lalu membacakan al-Qur’an di dekatnya.
        Ia nenek yang sebenarnya begitu memanjakan kami. Ia nenek yang di hari raya, sebab adat, entah formalitas, atau hati-hati yang ikhlas, kami cium punggung tangannya ramai-ramai. Meminta maaf atas ulah nakal yang kami cipta setahun ke belakang, lalu ia selipkan amplop-amplop putih di masing-masing telapak tangan kami. Tak peduli jika bahkan dari kami sudah ada yang bisa menghasilkan sendiri pundi-pundi. Lalu tak lupa ia menyuruh kami menikmati hidangan yang penuh di meja kaca panjangnya dengan berupa-rupa lauk beragam warna bumbu, dari kuali-kuali besarnya.
         Ia nenek dengan cara kasih yang berbeda. Tiap kali ia meminta. Ketika ia bertutur. Saat ia memberi tanpa pamrih.
            Dan kabar kematiannya, membuatku benar-benar sesak.
            Dan sangat menyesal telah mengenalnya…
           Aku mengulum senyum geli dan terenyuh, saat dengan mata berkaca, Mamak bertanya padaku, apakah bidadari-bidadari syurga itu, akan menggantikan posisinya? Ketika, kakekku, baru saja pergi meninggalkannya, tanpa isyarat dan sepatah janji untuk kembali lagi. 
Kukatakan padanya, tidak. Tidak akan. Seorang istri yang shalihat, bahkan akan mengepalai bidadari-bidadari syurga. Dan kuyakinkan, kekasihnya pasti akan setia. Dan ialah satu-satunya ratu bidadari di hati kakek.
            Di perjalanan pulang dari masjid, ia menggenggam tanganku erat. Menatap tepat pada kedua bola mataku. Seolah hendak mengikat kata-kataku, dan memastikan jika aku ini tidak membual.
            Saat itu, kubisikkan kepadanya, kuminta agar ia bersabar, mengikhlaskan sebuah perpisahan. Lalu kukisahkan kembali tentang indahnya pertemuan, setelah mengulang panjang penantian. Kuingatkan kembali tentang sebuah keniscayaan dan kepastian janji-Nya.
            Sekarang, kata-kata itu seolah menyayat-nyayat lidah dan hatiku. Perih sekali… bagaimana bisa? Dia, tidak meninggalkanku dengan bisiknya yang melangitkan do’a, dan kecup seperti biasanya?
Tapi tetiba, aku tersadar. Sejak dulu, ya, sejak aku mengenalnya, ia sama sekali tidak pernah meninggalkanku. Aku lah yang selalu meninggalkannya. Sibuk dengan rutinitas randomku. Sibuk dengan teman-temanku. Sibuk dengan duniaku sendiri. Tanpa peduli, tentang kesepiannya di masa senja. Tanpa mau tahu, jika titahnya yang kadang konyol dan sangat menyebalkan itu, adalah caranya agar dia dapat melihatku sedikit lebih lama, dan dekat denganku…
             Mengetahui ini semua, setelah bahkan pun segala cara yang dilakukan, tidak akan pernah bisa mengembalikan sosoknya, dan tidak akan pernah melepaskanku dari belenggu perpisahan ini, dadaku serasa dihimpit gunungan batu. Sesak sekali… bagaimana bisa aku terlalu bodoh? Menyia-nyiakan waktu yang diberikan Tuhan, untuk memilin kenangan bersamanya, berangkai-rangkai.
            Andai… andai dulu aku diperkenankan memilih, mungkin aku lebih memilih untuk tidak pernah mengenalnya. Dan kini, aku benar-benar menyesal telah pernah bertemu dengannya.
          Barangkali, jika aku tidak mengenalnya, aku tidak akan tersiksa dengan perpisahan ini. Barangkali jika kita tidak ditakdirkan untuk bertemu, tak akan ada kenangan yang cacat dan luka dalam bingkai hatinya. Saat aku… saat aku berulang membuatnya terluka, dan menjadi pemantik air mata.
Barangkali, jika aku tidak mengenalnya, ia tidak harus merenda air mata yang terbuang percuma akibat sikapku. Barangkali, dengan itu, aku tidak merasakan sesak ini, dan ngilu saat kurasa, entah itu apa, dengan bengisnya sedang mencabik dan menguliti hatiku.
            Barangkali juga, dengan tidak mengenalnya, aku tidak harus mempedulikan kabar kematiannya…
            Tapi Tuhan, dengan kasih-Nya, mengirim sosoknya untuk mengenalkanku apa itu cinta. Bagaimana rasanya menorah luka, lalu memendam gumpal sesal. Bagaimana bakti, ikhlas dan setia.
            Dan sekarang, aku berharap untuk terus mengenalnya. Mengenangnya dalam setiap desah di sisa detikku. Merangkum tutur, laku dan akhlaknya dalam setiap goresan kisah dan kata-kataku. Mengatakan pada dunia, bahwa aku benar-benar mencintainya…
            Hanya untuk kembali mengingatkan pada hati dan diri, jika sungguh, tidak ada yang sia-sia. Tidak pernah ada kesia-siaan antara pertemuanku dengannya.
---------------------------------
           

            Mamak, semoga Allah menyayangimu. Mengampuni dan menerima amalmu.
            Semoga Allah menempatkanmu di tempat yang terbaik.
            Semoga kelak, Allah berkenan kembali mempertemukanku denganmu.

  • Share:

You Might Also Like

7 komentar

  1. Amin
    Semoga amal ibadah mamak mengantarkan mamak ke surga..

    ReplyDelete
  2. Amiin..
    semoga nenek zulfairy di tempatkan di jannah firdaus Nya..

    Zulfairyyyy.. sedih bacanya :( :(, teringat nenekku.. kisahmu bagus banget buat ibroh bagiku.. masya Allah :')
    Termotivasi untuk menjadi cucu yang terbaik buat nenekku sebelum beliau kembali ke rahmatullah :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin...
      Terima kasih doanya ya, Ukhty shalihat :'))

      Delete
  3. barakallahu kk, i believe that you an amazing grand daughter for her

    ReplyDelete
  4. Bagitu rupanya kenangan bareng nenek. seumur umur ane belum pernah ketemu nenek. syukron ya sdah berbagi kisah

    ReplyDelete