“Kenapa Allah menciptakan babi,
lalu mengharamkannya? Untuk apa?”
“Ikan punya sirip, karena itu dia
bisa berenang. Manusia?”
“Adik masuk surga bila…?”
Dulu,
pertanyaan itu yang menghujani Ummi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adikku
saat usianya masih hitungan jari. Aku pun, sama. Ummi dan Abi membiasakan kami
bertanya—meski pertanyaan konyol sekalipun, lalu membuka diskusi kecil, mencari
kesepakatan.
“Massa
jenis besinya masih kkal nih, gimana
ngubahnya? Rumus kalor udah kuterapin.”
Kini,
adik-adikku menyerangku. Dan aku harus mempunyai jawaban atas setiap pertanyaan
mereka. Syukurku melangit, saat Abi, tidak pernah tidak menyekolahkanku, dan
membebaskanku untuk membaca sebanyak-banyaknya buku.
♥
Hari
terakhir, sebelum libur hari tenang.
Lampu
led ponselku berpijar. Nama Abi, berkedip-kedip, terpampang. Diiringi dering
nasyid Arab tentang perjuangan. Ritual harian. Ummi, selalu menelponku. Sering
kali, bahkan sebelum aku sempat sarapan. Hal inilah yang membuatku merasa, ia
masih selalu di dekatku. Meski Jakarta-Kendal, bukanlah bilangan jarak yang cukup
dekat.
Dengannya,
aku biasa berbincang, lama-lama. Mengisahkan semua cerita yang kualami, hingga
habis, tak bersisa. Tentang pelajaranku, tentang cara dosen mengajar, tentang
teman-teman, tentang kejadian di metromini, tentang siapa saja yang kutemui, tentang
apa yang kulihat hari itu, tentang perasaanku, tentang segalanya…
Sepertinya,
aku tidak akan pernah kehabisan stok cerita, meski setiap hari ummi
meneleponku. Karena itulah, bersamanya, aku belajar menjadi pendengar yang
baik. Sebab itulah, hampir mati rasanya jika aku tidak menemukan orang yang
dapat menjadi curah celotehku. Sayangnya, aku ini orangnya sangat pemilih. Dan
cukup sulit untuk dekat dengan orang baru. Maka, hanya kepada orang-orang yang
tepat, dan kupercayalah, aku memilih untuk bercerita.
Pilihan
itu, dari daftar orang-orang yang dekat denganku, tentu saja ummi berada di
posisi teratas. Tapi kini aku tidak akan menceritakannya. Ini masih tentangnya.
Tentang seorang wanita, yang di rahimnya, pernah tinggal seorang lelaki yang
kucinta. Tentang seorang wanita, yang pada telapaknya, juga dijanjikan syurga…
Kutekan gambar hijau. Telepon
tersambung.
“….”
“Assalamu’alaikum?”
Ada isak yang tersaring di gendang.
Suara Abi. Aku yakin itu. Aku mengenalnya lebih dari suaraku sendiri.
“Abi…”
Masih suara isak. Kubayangkan, bahu
Abi berguncang. Kubayangkan, aku menatapnya, berkaca, nanar. Pertama dan
terakhir kali aku melihatnya menangis, adalah sesaat sebelum kepergiannya
meninggalkan kami ke Baitullah. Saat Abi memelukku dengan beberapa nasihat,
saat berpamitan pada Mamak, saat meruahkan pesan-pesan ke adik-adiknya.
Abi, a man doesn’t cry, you know…
Dalam
hati, aku berharap isak itu berganti dengan suara riangnya saat menyenandungkan
nasyid Muwahhidun Anaa.
“Abi…”
Pasti ada sesuatu yang terjadi.
“Abi!” kukeraskan panggilan. Meski,
tenggorokanku saat itu benar-benar telah tersumbat oleh air ludahku sendiri.
“Zulfa, doakan saja, ya, Mamak…”
suaranya terdengar berat.
Tonus leherku reflek mengejang.
Lidahku tergulung ke belakang. Untuk beberapa saat, aku seperti tak bertulang. Semakin
sulit saja aku berbicara. Tapi, kupaksakan juga untuk bertanya. Pertanyaan
retoris. “Mamak… kenapa?”
Dan isak semakin kencang jadi
jawaban.
“Mamak kenapa?!”
“Zulfa, doakan saja…”
Tanpa salam, sambungan terputus. Ah,
sengaja diputus. Karena kata yang saat itu sangat sulit keluar dari mulut.
Otakku tumpang tindih. Aku tidak lagi mampu berpikir jernih. Janji-janji hari
itu, menguap. Kelas terakhir, syuro siang nanti, rencana memasak random bersama
Ana malam nanti…
Panggilan teman yang mengajakku
berangkat ke kampus bahkan tidak lagi terdengar. Aku mengacuhkan segalanya.
Pikiranku saat itu benar-benar kosong. Dan kabar kematiannya, membuatku
mengurung diri di petak kamar kos yang kecil, tanpa melakukan apa-apa.
Tega
sekali …
Bagaimana
bisa? Dia, tidak berpamitan denganku?
Abi,
a man doesn’t cry, you know. But I do. Because I’m women. And trying to forget
her is scary…
♥
Relief renta di kulitnya, sedikit
tidak kentara karena tubuhnya yang berisi dan bersih. Nenekku—kami biasa memanggilnya
Mamak—adalah nenek yang sama seperti nenek pada umumnya. Ia menjalankan
tugasnya sebagai nenek dengan baik, begitu pula aku. Memerankan tokoh cucu yang
menyebalkan, sedikit bengal. Susah diatur.
Ia
wanita biasa, yang kuakui, turut berperan serta mengenalkanku pada dunia. Tetapi,
dulu aku selalu mengira, jika posisinya, bahkan tidak lebih istimewa daripada
tante, paman, atau sepupu-sepupuku. Yang biasa membelikan novel-novel,
mentraktir, mengajak nonton, memancing, dan banyak hal menyenangkan yang lain.
Aku
bersama Mamak, hanya menjalani hidup dengan normal. Ya, hanya menjadi normal.
Meski sering aku merasa hubunganku dengannya adalah abnormal. Ternyata, kilasan
kejadian-kejadian yang kualami dengannya itulah yang sekarang kini menyiksaku
tanpa ampun.
Nenekku
adalah orang yang dulu, tiap hari, sangat cerewet menanyakan kabar kuliahku,
dan kujawab dengan sebuah kebohongan besar. Berkata bahwa semuanya baik-baik
saja. Berkata bahwa aku masuk siang. Lain waktu, aku pura-pura memberitahunya
tentang hari dan tanggal. “Oh, sekarang kuliahnya sedang libur.” Padahal, aku
sudah tidak masuk berbulan-bulan. Padahal, ia adalah nenek yang cerdas. Yang
menghabiskan waktunya untuk membaca. Yang gemar berhitung. Yang seringkali
lebih mengetahui tanggal daripada aku. Tapi aku mengacuhkan itu semua. Termasuk
mengacuhkan keterkoyakan hatinya ketika tahu aku membohonginya, di kali pertama
dia bertanya.
Ia adalah nenek yang membuatku
sangat kesal. Ketika, di malam sebelum tidur, dia menawarkanku berupa-rupa
makanan berat, camilan, buah-buahan, biskuit manis, minuman hangat, madu, susu,
habbatussauda. Ya Tuhan… aku anak perempuan. Ini malam, dan aku baru saja
makan. Sudah gosok gigi. Sudah kenyang. Kuacuhkan segalanya, lalu kutarik
selimut dengan enggan.
Ia adalah nenek yang membuat Abi
mengatakan, “Kalau kau berbakti kepadanya, berarti kau membawa abi dan ummi,
selangkah lebih dekat dengan syurga.” Yang akhirnya, sebab kata-kata itu, aku
berkenan berada satu pembaringan dengannya. Menemaninya tidur meski dengan
sedikit gumpal sesal. Meninggalkan betapa nyamanya kamarku yang berantakan
dengan pemandangan buku-buku di berbagai sisi, juga pendar layar laptop yang
sering mengajak bertengkar.
Ia juga adalah nenek yang membuatku
mendengus keras saat ia memeluk tanganku dengan erat, takut aku
meninggalkannya, lalu tertidur pulas setelah memastikan aku tidak bisa
bergerak. Hingga akhirnya, aku hanya telentang dengan mata terbuka lebar,
sepanjang malam.
Ia nenek yang lebih memilih
menyuruhku mengepel bagian rumahnya yang tidak terpakai dan sangat luas,
daripada menyuruh khadimahnya. Ia nenek yang berulang kali memintaku menjemurkan
kain-kain jariknya yang lebar di halaman belakang rumah—sedang ia hanya
melihatku dari dekat, kemudian menyuruhku membenahi baju-baju di lemarinya yang
sangat banyak dengan rapi, setelah berulang kali pula, ia kacaukan sendiri
tumpukan lipatan-lipatan itu. Ia juga nenek yang sering memintaku memetikkan
beberapa buah jambu biji muda di kebun belakang rumah kami, lalu membuatkannya
segelas jus jambu biji.
Aku
akan mengatakan ia adalah nenek yang mengganggu hidupku. Sebelum aku mengingat,
jika ia adalah nenek yang lebih memilih memberiku beberapa lembar uang, untuk
membawa motor matic-ku ke cucian, daripada melihatku mencucinya sendiri. Ia nenek
yang menyuruhku segera membeli kacamata, saat kukeluhkan kepadanya tentang
mataku yang mulai rabun. Ia nenek yang begitu peduli dengan pendidikan kami. Ia
yang sering mengumpulkan keluarga-keluarga yang sibuk, menjadi dekat, sebab
rencana rihlahnya. Ia nenek yang sengaja membawa buah tangan untuk kami lepas
berbelanja. Ia nenek yang tak jarang kami sisir rambut hitam panjangnya yang
berkilau indah tanpa bantuan minyak apapun—yang membuatku enggan
membandingkannya dengan rambut kusutku—di suatu siang yang membakar. Ia nenek
yang memintaku untuk menjadi imam maghribnya, lalu membacakan al-Qur’an di
dekatnya.
Ia nenek yang sebenarnya begitu
memanjakan kami. Ia nenek yang di hari raya, sebab adat, entah formalitas, atau
hati-hati yang ikhlas, kami cium punggung tangannya ramai-ramai. Meminta maaf
atas ulah nakal yang kami cipta setahun ke belakang, lalu ia selipkan
amplop-amplop putih di masing-masing telapak tangan kami. Tak peduli jika
bahkan dari kami sudah ada yang bisa menghasilkan sendiri pundi-pundi. Lalu tak
lupa ia menyuruh kami menikmati hidangan yang penuh di meja kaca panjangnya
dengan berupa-rupa lauk beragam warna bumbu, dari kuali-kuali besarnya.
Ia nenek dengan cara kasih yang
berbeda. Tiap kali ia meminta. Ketika ia bertutur. Saat ia memberi tanpa
pamrih.
Dan kabar kematiannya, membuatku
benar-benar sesak.
Dan sangat menyesal telah
mengenalnya…
♥
Aku mengulum senyum geli dan
terenyuh, saat dengan mata berkaca, Mamak bertanya padaku, apakah
bidadari-bidadari syurga itu, akan menggantikan posisinya? Ketika, kakekku, baru
saja pergi meninggalkannya, tanpa isyarat dan sepatah janji untuk kembali lagi.
Kukatakan
padanya, tidak. Tidak akan. Seorang istri yang shalihat, bahkan akan mengepalai
bidadari-bidadari syurga. Dan kuyakinkan, kekasihnya pasti akan setia. Dan
ialah satu-satunya ratu bidadari di hati kakek.
Di perjalanan pulang dari masjid, ia
menggenggam tanganku erat. Menatap tepat pada kedua bola mataku. Seolah hendak
mengikat kata-kataku, dan memastikan jika aku ini tidak membual.
Saat itu, kubisikkan kepadanya,
kuminta agar ia bersabar, mengikhlaskan sebuah perpisahan. Lalu kukisahkan
kembali tentang indahnya pertemuan, setelah mengulang panjang penantian. Kuingatkan
kembali tentang sebuah keniscayaan dan kepastian janji-Nya.
Sekarang, kata-kata itu seolah
menyayat-nyayat lidah dan hatiku. Perih sekali… bagaimana bisa? Dia, tidak
meninggalkanku dengan bisiknya yang melangitkan do’a, dan kecup seperti
biasanya?
Tapi
tetiba, aku tersadar. Sejak dulu, ya, sejak aku mengenalnya, ia sama sekali
tidak pernah meninggalkanku. Aku lah yang selalu meninggalkannya. Sibuk dengan
rutinitas randomku. Sibuk dengan teman-temanku. Sibuk dengan duniaku sendiri. Tanpa
peduli, tentang kesepiannya di masa senja. Tanpa mau tahu, jika titahnya yang
kadang konyol dan sangat menyebalkan itu, adalah caranya agar dia dapat melihatku
sedikit lebih lama, dan dekat denganku…
Mengetahui ini semua, setelah bahkan
pun segala cara yang dilakukan, tidak akan pernah bisa mengembalikan sosoknya,
dan tidak akan pernah melepaskanku dari belenggu perpisahan ini, dadaku serasa
dihimpit gunungan batu. Sesak sekali… bagaimana bisa aku terlalu bodoh? Menyia-nyiakan
waktu yang diberikan Tuhan, untuk memilin kenangan bersamanya,
berangkai-rangkai.
Andai… andai dulu aku diperkenankan
memilih, mungkin aku lebih memilih untuk tidak pernah mengenalnya. Dan kini,
aku benar-benar menyesal telah pernah bertemu dengannya.
Barangkali, jika aku tidak
mengenalnya, aku tidak akan tersiksa dengan perpisahan ini. Barangkali jika
kita tidak ditakdirkan untuk bertemu, tak akan ada kenangan yang cacat dan luka
dalam bingkai hatinya. Saat aku… saat aku berulang membuatnya terluka, dan
menjadi pemantik air mata.
Barangkali,
jika aku tidak mengenalnya, ia tidak harus merenda air mata yang terbuang
percuma akibat sikapku. Barangkali, dengan itu, aku tidak merasakan sesak ini,
dan ngilu saat kurasa, entah itu apa, dengan bengisnya sedang mencabik dan
menguliti hatiku.
Barangkali juga, dengan tidak
mengenalnya, aku tidak harus mempedulikan kabar kematiannya…
Tapi Tuhan, dengan kasih-Nya,
mengirim sosoknya untuk mengenalkanku apa itu cinta. Bagaimana rasanya menorah
luka, lalu memendam gumpal sesal. Bagaimana bakti, ikhlas dan setia.
Dan sekarang, aku berharap untuk
terus mengenalnya. Mengenangnya dalam setiap desah di sisa detikku. Merangkum tutur,
laku dan akhlaknya dalam setiap goresan kisah dan kata-kataku. Mengatakan pada
dunia, bahwa aku benar-benar mencintainya…
Hanya untuk kembali mengingatkan
pada hati dan diri, jika sungguh, tidak ada yang sia-sia. Tidak pernah ada
kesia-siaan antara pertemuanku dengannya.
---------------------------------
Mamak,
semoga Allah menyayangimu. Mengampuni dan menerima amalmu.
Semoga
Allah menempatkanmu di tempat yang terbaik.
Semoga
kelak, Allah berkenan kembali mempertemukanku denganmu.
7 komentar
amin, semoga ya kak.
ReplyDeleteAmin
ReplyDeleteSemoga amal ibadah mamak mengantarkan mamak ke surga..
Aamiin ya Rabb... :'))
DeleteAmiin..
ReplyDeletesemoga nenek zulfairy di tempatkan di jannah firdaus Nya..
Zulfairyyyy.. sedih bacanya :( :(, teringat nenekku.. kisahmu bagus banget buat ibroh bagiku.. masya Allah :')
Termotivasi untuk menjadi cucu yang terbaik buat nenekku sebelum beliau kembali ke rahmatullah :')
Aamiin...
DeleteTerima kasih doanya ya, Ukhty shalihat :'))
barakallahu kk, i believe that you an amazing grand daughter for her
ReplyDeleteBagitu rupanya kenangan bareng nenek. seumur umur ane belum pernah ketemu nenek. syukron ya sdah berbagi kisah
ReplyDelete