Bujang Bulan Syawwal

By Zulfa Rahmatina - 9:52 PM


Tak ada yang lebih tabah dari bujang bulan Syawwal 
Dirahasiakannya leleh perihnya dalam toples-toples kaca berisi nastar 
Diselipkannya rintih-rintih rindunya pada sirop merah di gelas jenjang


Tak ada yang lebih bijak dari bujang bulan Syawwal 
Dikembangkannya sesak hatinya  yang ragu-ragu untuk melihat indahnya dunia luar 
Dilangkahkannya jejak-jejak pendeknya menuju pertemuan yang sungguh memilukan

Tak ada yang lebih arif dari bujang bulan Syawwal 
Dibiarkannya ocehan-ocehan sekitar 
terserap dalam senyum tulus serupa seringai kepedihan

Menjelang lebaran, seluruh ummat menjadi sibuk. Anak-anak sibuk mempersiapkan dompet besar penampung uang dan celana dengan banyak saku, ibu-ibu sibuk dengan toples-toples dan beragam perniknya, bapak-bapak yang peka sibuk memastikan bahwa keluarganya tidak memalukan amat jika diajak berkunjung ke sanak saudara, dan masih banyak yang lain.

Ramadan juga rupanya masih menyisakan limpahan berkahnya. Pada para pedagang baju dan camilan ringan, penjual petasan, penjaja balon gas, pengusaha rental mobil, bahkan rental sound system. Acara halal bi halal pun digelar. Dan, di sini lah pusat permasalahannya. Ajang untuk saling bersilaturrahim dan saling memaafkan dosa-dosa setahun belakangan itu bergeser menjadi ajang untuk membanggakan diri. Untuk saling menunjukkan strata hingga tahta. Jika meminjam istilah bapak Psikologi Humanistik Abraham Maslow, halal bi halal adalah tempat terefektif dan paling tepat untuk aktualisasi diri.

Tidak salah sih, fitrah kebutuhan untuk aktualisasi diri. Tetapi kekurangan dari teori yang mengatakan bahwa aktualisasi diri merupakan kebutuhan tertinggi manusia ini adalah setelah aktualisasi diri, sebaiknya individu tersebut harus bisa pula membantu orang lain untuk lebih aktual (Actualization for other). Dan, itu sangat sulit sekali untuk terjadi di lebaran nanti.

Mendekati lebaran, yang berarti mendekati pula bulan Syawwal, ada satu makhluk Tuhan yang kadangkala sering terlupakan—tapi lebih sering ditunggu dan dikenang untuk dijadikan korban pem-bully-an—yang sedang berharap-harap cemas dan resah untuk beragam hal. Syawwal, yang digadang sebagai bulannya Nabi melangsungkan satu sunnah yang diidam-idamkan seluruh lapisan kalangan itu menjadi jauh berbeda untuk sebagian makhluk Tuhan lainnya, para bujang.

Adalah bujang, makhluk yang selalu salah. Jika dia sudah lulus kuliah tepat waktu, bahkan sudah pula mendapat pekerjaaan yang membanggakan, tetapi masih bujang, ia akan terpuruk di acara keluarga bulan Syawwal. Jika dia pintar membuat kue-kue dan beragam sajian, tetapi masih bujang, dia juga salah. Jika dia terlihat shalih sekali, yang jika dia bersuara saja orang seperti mendengar suara pengajian, tetapi masih bujang, ia teramat salah. Salah besar. Jika begitu, para bujang sudah pasti tervonis berada dalam keterpurukan yang teramat nyata. Kondisi ini bagi sebagian bujang semakin parah saja saat meme dagelan merilis ini adalah musim nikahnya angkatan '90-an hingga 93 (angkatannya penulis masih cooming soon, btw *oke ini ga penting. Memang dari awal tulisan ini ngga penting).

Maka jika Sapardi boleh memiliki bulan Juni lengkap dengan rintih-rintih hujannya, Syawwal adalah bulan yang disepakati ummat untuk para bujang. Untuk mendoakan keberkahan dalam sunnah yang dilangsungkan di bulan tersebut, atau untuk selingan hiburan mengilukan yang masuk dalam susunan acara keluarga.
“Sendirian aja?”
“Sudah ganti tahun masih belum punya gandengan? Kalendermu mungkin salah!”
“Makan sudah? Dilamar yang belum ya?”
Dan menurut survey, pertanyaan paling mengilukan adalah …
“Kapan nikah?”

Maksud hati ingin menjawab, “Nikahnya nanti Om, habis akad, setelah ijab.” Tapi apalah daya hati yang enggan bekerja sama dan malah membatin, “Aku mah apa, cuma remukan gorengan,” lalu es buah segar yang belum tersentuh bahkan separuhnya itu berubah hambar, dan cecer biji selasih menjadi sangat sulit untuk ditelan …

Menindaklanjuti peristiwa tahunan yang terus berulang ini, pemerintah sudah seharusnya bergerak cepat. Mungkin bekerja sama dengan para psikolog untuk mendirikan ‘Bujang Crisis Center’ atau sesuatu semacam itu yang bisa mengadakan pelatihan dan pembinaan dengan tujuan akhir pembentukan mental para bujang yang sehat dan kuat terpaan, juga mengurangi tingkat pertumbuhan orang depresi dan stress karena pertanyaan yang katanya sepele itu. Para bujang juga bisa mengusahakan haknya untuk ikut merasa bahagia di hari raya dengan membuka petisi agar pemerintah menetapkan perda khusus bagi kesejahteraan para bujang. Untuk para ummat yang lain, mari bersama menjaga kesehatan mental para bujang dengan tidak menyakitinya atau mencarikan jodoh beserta biaya resepsi, misalnya. Karena bagaimana pun, bujang juga butuh bahagia. 



  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. Wah hujan bulan juninya cakep juga walaupun dirubah...

    ReplyDelete
  2. Terima kasih sudah berkenan membaca, Rif'at :)

    ReplyDelete