Tak ada yang lebih tabah dari bujang bulan Syawwal
Dirahasiakannya leleh perihnya dalam toples-toples kaca berisi nastar
Diselipkannya rintih-rintih rindunya pada sirop merah di gelas jenjang
Tak ada yang lebih bijak dari bujang bulan Syawwal
Dikembangkannya sesak hatinya yang ragu-ragu untuk melihat indahnya dunia luar
Dilangkahkannya jejak-jejak pendeknya menuju pertemuan yang sungguh memilukan
Tak ada yang lebih arif dari bujang bulan Syawwal
Dibiarkannya ocehan-ocehan sekitar
terserap dalam senyum tulus serupa seringai kepedihan
Menjelang lebaran, seluruh ummat menjadi sibuk.
Anak-anak sibuk mempersiapkan dompet besar penampung uang dan celana dengan
banyak saku, ibu-ibu sibuk dengan toples-toples dan beragam perniknya, bapak-bapak
yang peka sibuk memastikan bahwa keluarganya tidak memalukan amat jika diajak
berkunjung ke sanak saudara, dan masih banyak yang lain.
Ramadan juga rupanya masih menyisakan limpahan
berkahnya. Pada para pedagang baju dan camilan ringan, penjual petasan, penjaja
balon gas, pengusaha rental mobil, bahkan rental sound system. Acara
halal bi halal pun digelar. Dan, di sini lah pusat permasalahannya. Ajang untuk
saling bersilaturrahim dan saling memaafkan dosa-dosa setahun belakangan itu
bergeser menjadi ajang untuk membanggakan diri. Untuk saling menunjukkan strata
hingga tahta. Jika meminjam istilah bapak Psikologi Humanistik Abraham Maslow, halal
bi halal adalah tempat terefektif dan paling tepat untuk aktualisasi diri.
Tidak salah sih, fitrah kebutuhan untuk aktualisasi
diri. Tetapi kekurangan dari teori yang mengatakan bahwa aktualisasi diri
merupakan kebutuhan tertinggi manusia ini adalah setelah aktualisasi diri,
sebaiknya individu tersebut harus bisa pula membantu orang lain untuk lebih
aktual (Actualization for other). Dan, itu sangat sulit sekali untuk
terjadi di lebaran nanti.
Mendekati lebaran, yang berarti mendekati pula bulan
Syawwal, ada satu makhluk Tuhan yang kadangkala sering terlupakan—tapi lebih
sering ditunggu dan dikenang untuk dijadikan korban pem-bully-an—yang
sedang berharap-harap cemas dan resah untuk beragam hal. Syawwal, yang digadang
sebagai bulannya Nabi melangsungkan satu sunnah yang diidam-idamkan seluruh
lapisan kalangan itu menjadi jauh berbeda untuk sebagian makhluk Tuhan lainnya,
para bujang.
Adalah bujang, makhluk yang selalu salah. Jika dia
sudah lulus kuliah tepat waktu, bahkan sudah pula mendapat pekerjaaan yang
membanggakan, tetapi masih bujang, ia akan terpuruk di acara keluarga bulan
Syawwal. Jika dia pintar membuat kue-kue dan beragam sajian, tetapi masih
bujang, dia juga salah. Jika dia terlihat shalih sekali, yang jika dia bersuara
saja orang seperti mendengar suara pengajian, tetapi masih bujang, ia teramat
salah. Salah besar. Jika begitu, para bujang sudah pasti tervonis berada dalam keterpurukan yang teramat nyata. Kondisi ini bagi sebagian bujang semakin parah saja saat meme dagelan merilis ini adalah musim nikahnya angkatan '90-an hingga 93 (angkatannya penulis masih cooming soon, btw *oke ini ga penting. Memang dari awal tulisan ini ngga penting).
Maka jika Sapardi boleh memiliki bulan Juni lengkap
dengan rintih-rintih hujannya, Syawwal adalah bulan yang disepakati ummat untuk
para bujang. Untuk mendoakan keberkahan dalam sunnah yang dilangsungkan di
bulan tersebut, atau untuk selingan hiburan mengilukan yang masuk dalam susunan
acara keluarga.
“Sendirian aja?”
“Sudah ganti tahun masih belum punya gandengan?
Kalendermu mungkin salah!”
“Makan sudah? Dilamar yang belum ya?”
Dan menurut survey, pertanyaan paling mengilukan adalah
…
“Kapan nikah?”
Maksud hati ingin menjawab, “Nikahnya nanti Om, habis
akad, setelah ijab.” Tapi apalah daya hati yang enggan bekerja sama dan
malah membatin, “Aku mah apa, cuma remukan gorengan,” lalu es buah segar
yang belum tersentuh bahkan separuhnya itu berubah hambar, dan cecer biji
selasih menjadi sangat sulit untuk ditelan …
Menindaklanjuti peristiwa tahunan yang terus
berulang ini, pemerintah sudah seharusnya bergerak cepat. Mungkin bekerja sama
dengan para psikolog untuk mendirikan ‘Bujang Crisis Center’ atau
sesuatu semacam itu yang bisa mengadakan pelatihan dan pembinaan dengan tujuan
akhir pembentukan mental para bujang yang sehat dan kuat terpaan, juga
mengurangi tingkat pertumbuhan orang depresi dan stress karena pertanyaan yang
katanya sepele itu. Para bujang juga bisa mengusahakan haknya untuk ikut merasa
bahagia di hari raya dengan membuka petisi agar pemerintah menetapkan perda
khusus bagi kesejahteraan para bujang. Untuk para ummat yang lain, mari bersama
menjaga kesehatan mental para bujang dengan tidak menyakitinya atau mencarikan
jodoh beserta biaya resepsi, misalnya. Karena bagaimana pun, bujang juga butuh
bahagia.
2 komentar
Wah hujan bulan juninya cakep juga walaupun dirubah...
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkenan membaca, Rif'at :)
ReplyDelete