Ketemu Kak Seto di UMS!

By Zulfa Rahmatina - 8:05 AM

Merhaba, jangan protes lah kalau judulnya mirip vlog. Sebelum membahas konteks yang sesuai dengan judul, tulisan ini memang untuk penuh-penuh blog saja setelah sekian lama terabaikan—oleh freaktikum yang ah-sudah-lah. Jadi guys, sepertinya sering saya bilang (baca: tulis) bahwa sungguh kita nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada kita bahkan untuk satu detik ke depan. Apa yang tertabir, semua misteri. Termasuk perjumpaan kita dengan orang-orang di perjalanan. Termasuk hari di mana kita berdoa for the things we have now.

Awal mula berniat menghubungi Kak Seto adalah saat di kamar kos, saya dan Sofi berusaha mencari kontak beliau untuk keperluan redaksi. Setelah berselancar ke sana ke mari, menghubungi sana sini, dapatlah beberapa deret angka yang mengembangkan dada kami seakan dapat lotre saat paceklik—sepertinya ini perasaanku saja sih, Sofi enggak. Ini terjadi—kalau tidak salah—sekitar bulan Juli, yang pasti sebelum outline dibuat, apalagi terpasang.

Sofi yang menghubungi Kak Seto pertama kali, saya ambil alih dan meneruskan permohonan wawancara yang rupanya tertunda karena Kak Seto sedang berada di Texas. Kira-kira dua minggu berikutnya, Kak Seto masih belum bisa meluangkan waktu untuk kami karena saat itu masih memiliki keperluan di KL, Malaysia. Oke, tidak masalah. Kau masih bisa mengerjakan liputan lain, hibur saya pada diri sendiri saat itu.

Maka suatu senja ketika Kak Seto mengabarkan bahwa beliau bisa dihubungi, rasa-rasanya saya ingin berteriak dan menangis haru. Tidak mengapa untuk meluapkan emosi yang kau rasakan. Kak Seto, bagi kelahiran 90-an seperti saya merupakan sosok idola yang melegenda—apalagi saya sekarang adalah mahasiswa Psikologi, bidang ilmu yang sama-sama ditekuni oleh Kak Seto, seorang psikolog anak kondang yang menjadi rujukan para wartawan untuk dimintai pendapat terkait kasus-kasus yang melibatkan anak. 

Saya masih ingat saat hanya dengan singlet, duduk di depan televisi dan melihat TVRI yang menayangkan gambar Kak Seto dengan senyum dan gaya rambut yang khas dan tidak pernah berubah itu sedang mendongeng. Saya masih ingat ketika Ummi sering bersenandung lagu si Komo kebanjiran, si Komo kena macet—sungguh kasihan si Komo—ketika sedang menyiram bunga. Dan sore itu, saya benar-benar gugup saat menyampaikan pertanyaan yang sudah saya tulis dalam file berjudul ‘Draf Wawancara untuk Kak Seto’ itu. Soal apa yang akhirnya kami bincangkan dalam saluran telepon, bisa kalian baca di Majalah Pabelan edisi Desember yang coming soon, guys. Don’t miss it :)

Berbulan-bulan kemudian di akhir September, saya iseng membaca poster-poster yang bertumpuk tidak beraturan di mading fakultas. Saat mata saya akhirnya belalak karena melihat foto seseorang yang wajahnya saya akrabi menjadi pembicara seminar di kampus kami, saya mengerjap-ngerjap sekali lagi untuk memastikan pandangan saya. 3 hari lagi Kak Seto ke UMS, coy! Bermimpi untuk bertemu Kak Seto saja tidak pernah! Tapi oh wait, harga tiket masuk, yang 75k itu, lalu keperluan beli buku dan modul, jatah untuk kesejahteraan testee …  

Hingga pada Rabu (27/09), setelah meminta izin Pak Achmad untuk keluar kelas Penyusunan Skala Psikologi terlebih dahulu dengan izin akan melakukan liputan, saya pada akhirnya duduk di kursi auditorium Moh. Djazman dengan berdebar-debar—dan tanpa membayar tiket masuk! Tentu saja ini berkat pemred online yang sudah saya bujuk beberapa waktu sebelumnya untuk menugasi saya melakukan peliputan seminar tentang Generasi Emas dan yang mendatangkan Kak Seto tersebut, serta karena keajaiban kartu pers! Haha. Terima kasih Livi, terima kasih kartu pers.

Begitulah. Saya datang dengan membawa Majalah Pabelan terbaru edisi Prahara Sentimen dan majalah tahun 2015 tentang Media dan Anak. Tentu saja dengan niat untuk diberikan kepada Kak Seto sekaligus foto bersama. Tapi setelah menunggu Kak Seto dengan cemas, hingga akhirnya Kak Seto datang diiringi tepukan riuh, saya masih sangsi untuk bisa berfoto dengan Kak Seto. Oh, c’mon, sekali-kali jangan berkata apa gunanya foto, jangan. Sebelum ia kikis oleh masa, kita perlu banyak mengabadikan ingatan salah satunya dengan membekukan kenangan dalam bingkai gambar-gambar. Saat itu, saya berbisik pelan pada Vicky—fotografer yang membersamai saya, dan saya katakan ulang pada Feri—fotografer yang kemudian menyusul kami, “Saya tidak akan pergi sebelum berfoto dengan Kak Seto.”


Finally, yeay! Tidak usah panjang lebar, iya, saya sungguh tidak tahu adat pada panitia dan percaya diri menghampiri Kak Seto yang sedang makan snack untuk berbincang singkat dan meminta foto bersama. Foto saya dengan Kak Seto ada di Instagram dong. Sila follow akun saya yang digembok itu—narsistik. 

Pabelan sudah berfoto bersama Kak Seto sebelum acara selesai :)

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar