Merhaba,
jangan protes lah kalau judulnya mirip vlog. Sebelum membahas konteks yang
sesuai dengan judul, tulisan ini memang untuk penuh-penuh blog saja setelah
sekian lama terabaikan—oleh freaktikum yang ah-sudah-lah. Jadi guys, sepertinya
sering saya bilang (baca: tulis) bahwa sungguh kita nggak akan pernah tahu apa
yang akan terjadi pada kita bahkan untuk satu detik ke depan. Apa yang
tertabir, semua misteri. Termasuk perjumpaan kita dengan orang-orang di
perjalanan. Termasuk hari di mana kita berdoa for the things we have now.
Awal
mula berniat menghubungi Kak Seto adalah saat di kamar kos, saya dan Sofi
berusaha mencari kontak beliau untuk keperluan redaksi. Setelah berselancar ke
sana ke mari, menghubungi sana sini, dapatlah beberapa deret angka yang
mengembangkan dada kami seakan dapat lotre saat paceklik—sepertinya ini
perasaanku saja sih, Sofi enggak. Ini terjadi—kalau tidak salah—sekitar bulan Juli,
yang pasti sebelum outline dibuat, apalagi terpasang.
Sofi
yang menghubungi Kak Seto pertama kali, saya ambil alih dan meneruskan
permohonan wawancara yang rupanya tertunda karena Kak Seto sedang berada di
Texas. Kira-kira dua minggu berikutnya, Kak Seto masih belum bisa meluangkan
waktu untuk kami karena saat itu masih memiliki keperluan di KL, Malaysia. Oke,
tidak masalah. Kau masih bisa mengerjakan liputan lain, hibur saya pada diri
sendiri saat itu.
Maka
suatu senja ketika Kak Seto mengabarkan bahwa beliau bisa dihubungi,
rasa-rasanya saya ingin berteriak dan menangis haru. Tidak mengapa untuk
meluapkan emosi yang kau rasakan. Kak Seto, bagi kelahiran 90-an seperti saya
merupakan sosok idola yang melegenda—apalagi saya sekarang adalah mahasiswa Psikologi,
bidang ilmu yang sama-sama ditekuni oleh Kak Seto, seorang psikolog anak
kondang yang menjadi rujukan para wartawan untuk dimintai pendapat terkait kasus-kasus yang
melibatkan anak.
Saya masih ingat saat hanya dengan singlet, duduk di depan televisi dan melihat TVRI yang menayangkan gambar Kak Seto dengan senyum dan gaya rambut yang khas dan tidak pernah berubah itu sedang mendongeng. Saya masih ingat ketika Ummi sering bersenandung lagu si Komo kebanjiran, si Komo kena macet—sungguh kasihan si Komo—ketika sedang menyiram bunga. Dan sore itu, saya benar-benar gugup saat menyampaikan pertanyaan yang sudah saya tulis dalam file berjudul ‘Draf Wawancara untuk Kak Seto’ itu. Soal apa yang akhirnya kami bincangkan dalam saluran telepon, bisa kalian baca di Majalah Pabelan edisi Desember yang coming soon, guys. Don’t miss it :)
Saya masih ingat saat hanya dengan singlet, duduk di depan televisi dan melihat TVRI yang menayangkan gambar Kak Seto dengan senyum dan gaya rambut yang khas dan tidak pernah berubah itu sedang mendongeng. Saya masih ingat ketika Ummi sering bersenandung lagu si Komo kebanjiran, si Komo kena macet—sungguh kasihan si Komo—ketika sedang menyiram bunga. Dan sore itu, saya benar-benar gugup saat menyampaikan pertanyaan yang sudah saya tulis dalam file berjudul ‘Draf Wawancara untuk Kak Seto’ itu. Soal apa yang akhirnya kami bincangkan dalam saluran telepon, bisa kalian baca di Majalah Pabelan edisi Desember yang coming soon, guys. Don’t miss it :)
Berbulan-bulan
kemudian di akhir September, saya iseng membaca poster-poster yang bertumpuk
tidak beraturan di mading fakultas. Saat mata saya akhirnya belalak karena
melihat foto seseorang yang wajahnya saya akrabi menjadi pembicara seminar di
kampus kami, saya mengerjap-ngerjap sekali lagi untuk memastikan pandangan saya.
3 hari lagi Kak Seto ke UMS, coy! Bermimpi untuk bertemu Kak Seto saja tidak pernah! Tapi oh wait, harga tiket masuk, yang 75k
itu, lalu keperluan beli buku dan modul, jatah untuk kesejahteraan testee …
Hingga pada Rabu (27/09), setelah meminta izin Pak Achmad untuk keluar kelas
Penyusunan Skala Psikologi terlebih dahulu dengan izin akan melakukan liputan,
saya pada akhirnya duduk di kursi auditorium Moh. Djazman dengan berdebar-debar—dan
tanpa membayar tiket masuk! Tentu saja ini berkat pemred online yang sudah saya
bujuk beberapa waktu sebelumnya untuk menugasi saya melakukan peliputan seminar
tentang Generasi Emas dan yang mendatangkan Kak Seto tersebut, serta karena
keajaiban kartu pers! Haha. Terima kasih Livi, terima kasih kartu pers.
Begitulah.
Saya datang dengan membawa Majalah Pabelan terbaru edisi Prahara Sentimen dan
majalah tahun 2015 tentang Media dan Anak. Tentu saja dengan niat untuk
diberikan kepada Kak Seto sekaligus foto bersama. Tapi setelah menunggu Kak
Seto dengan cemas, hingga akhirnya Kak Seto datang diiringi tepukan riuh, saya
masih sangsi untuk bisa berfoto dengan Kak Seto. Oh, c’mon, sekali-kali jangan berkata apa gunanya foto, jangan. Sebelum
ia kikis oleh masa, kita perlu banyak mengabadikan ingatan salah satunya dengan
membekukan kenangan dalam bingkai gambar-gambar. Saat itu, saya berbisik pelan
pada Vicky—fotografer yang membersamai saya, dan saya katakan ulang pada Feri—fotografer
yang kemudian menyusul kami, “Saya tidak akan pergi sebelum berfoto dengan Kak
Seto.”
Finally,
yeay! Tidak usah panjang lebar, iya, saya sungguh tidak tahu adat pada panitia
dan percaya diri menghampiri Kak Seto yang sedang makan snack untuk berbincang
singkat dan meminta foto bersama. Foto saya dengan Kak Seto ada di Instagram
dong. Sila follow akun saya yang digembok itu—narsistik.
Pabelan sudah berfoto bersama Kak Seto sebelum acara selesai :) |
0 komentar