JEDA

By Zulfa Rahmatina - 10:56 AM

Kita terus berlari hingga kita menyadari, ternyata tidak ada yang mengejar ... -KG

"Kenapa tidak menulis lagi di blog? Apa saja, aku akan membacanya!"

Ekor mataku mengarah pada dua bola mata berbinar di arah jam sebelas, mengangkat sebelah bibir, sangsi.

"Sungguh! Meski itu curhatan dan keluhmu atau kejadian konyol yang baru saja kau alami," Ia menyeringai, lalu menatap menyelidik. "Ah! Apa kau tak punya ide? Tidak, tidak," ia menjawab sendiri. "Apa kau sibuk menulis berita? Tapi aku juga tidak pernah lagi melihat tulisanmu di koran. Ah, berarti kau benar-benar sedang tidak punya ide, ya? Kalau begitu, menulis saja tentangku. Maksudku, kemampuanku ..."

Aku melempar tabloid di meja kaca dengan vas bunga berdebu, setelah dari tadi membuka-buka tiap lembarnya dengan kasar, sebagai isyarat jika aku sedang tidak ingin diganggu.

Ia mengerti, menarik tubuhnya dari posisi condong ke arah tubuhku, lalu mengambil tabloid yang kulempar tadi, membukanya. "Tapi kau pasti tidak akan kecewa kalau menulis tentangku ..." lirihnya dengan wajah tertutup.

Pvft, aku menekan tuts smartphone keras-keras.

Minggu pertama yang sibuk di awal semester. Aku tidak tahu apakah ini adalah benar-benar sibuk. Bahkan, aku tidak begitu yakin apakah sebenarnya sibuk itu. Berkonsultasi dengan dosen pembimbing, mengisi KRS, mempertimbangkan jumlah SKS yang diambil, memperhatikan jadwal baru, beradaptasi dengan kelas baru, mencari buku-buku referensi, mengaduk-aduk isi perpustakaan, pergi ke toko-toko buku, menjelajahi jurnal-jurnal berbahasa asing, kembali dihadapkan dengan tugas-tugas dan kegiatan kemahasiswaan.

Atau kegiatan yang kemudian diagendakan; komitmen membaca beberapa jumlah buku dalam waktu tertentu, lebih rajin lagi datang di latihan memanah, berjanji akan menyelesaikan buletin dalam waktu dekat, membuat janji wawancara dengan dosen untuk tulisan di tabloid, menanyakan kabar tulisan pada penulis rubrik, mengiyakan ajakan kakak tingkat untuk menyusun PKM, pergi ke optik, mengagendakan datang ke kajian, menghadiri pelatihan, datang ke rapat ...

"Hei, sepertinya kau belum pernah datang ke kantor setelah liburan!"

Kantor? "Ah ya ... kantor ..."

"Ada masalah?"

"Entahlah,"

Kantor. Kantor. Kantor. Kantor? Aku datang ke idaroh, kok. Melihat sambutan ramah akhwat-akhwat yang memenuhi ruangan sempit itu. Menghidu bau bekal yang disantap di balik tabir yang rendah dan harus kulewati saat aku memasuki ruangan. Mendengar riuh dari teman-teman ormawa sebelah dan hiruk pikuk kantin. Tapi kantor?

Aku tidak punya masalah apa pun, seperti tidak ingin bertemu dengan seseorang, atau kecewa dengan sesuatu, misalnya. Hanya saja ... ah, aku curiga ini pasti masalah internalku. Mungkin saja aku sedang mencari jenjang kebutuhan Maslow lain yang kudapat dengan timpang dan tidak berurutan.

"Percayalah, aku pernah berada di posisimu," tulis seorang kawan dalam pesan pendeknya.

"Suatu saat nanti, ada masa kau merasa jenuh. Beristirahatlah ... dan jangan sungkan untuk meminta cuti," pesan senada dari semua ketua kegiatan kemahasiswaan yang kuikuti itu kini sedang kupertimbangkan.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar