Goodbye (Holi)days!

By Zulfa Rahmatina - 7:36 AM

Dan liburan benar-benar sudah berakhir.
Apakah mengesankan? Hmm …

Toples berisi kimchi buatan tanteku bertambah saat aku membuka kulkas rumah kami pertama kali aku datang. Dia pikir, aku menyukainya. Tapi aroma bawang yang begitu kuat dan cabai bubuk tidak pedas yang dibelinya di pasar pusat membuatku menghindarinya. Maafkan aku, aku tahu kau memasaknya menggunakan kubis dan sawi putih terbaik hari itu.

Setiap liburan, saudara dari Ummi selalu berlomba menawarkanku ikan asin yang sangat kusukai. Ikan asin dengan berbagai macam olahan. Ikan asin yang mengingatkanku pada kakek kesayanganku. Jika kupikir ulang, aku sungguh harus banyak-banyak bersyukur karena memiliki keluarga yang hangat.

Aku berencana mengunjungi beberapa tempat yang akhir-akhir ini populer di kota kami seperti mercusuar di tepi pantai Moro, Rowosari. Tetapi, rencana ini belum bisa terlaksana. Saudara sepupuku harus segera kembali ke kampusnya, Jenderal Soedirman, untuk ujian dan melanjutkan program magang. Baiklah, semoga masih ada kesempatan lain.

Aku juga ingin menemui beberapa sahabat dekatku sewaktu SMA. Dan, kurasa liburan ini aku belum bisa lagi melakukannya. Setelah liburan ini selesai, aku harap kalian diberi kemudahan untuk menyelesaikan skripsi dan menuntaskan harapan-harapan kalian yang lain.

Liburan ini, Ummi tidak pernah bosan menyuruhku belajar. “Buku tebal itu untuk apa kaubawa kalau tidak disentuh?” katanya, berulang. Maksudnya buku Biopsikologi karangan Pinel yang cover-nya mirip sebuah poster film horor. Buku yang saat melihatnya saja membuat bulu kudukku meremang dan kepalaku pening karena teringat janji-janji penelitian, teringat dosen yang terus mengejarku untuk menulis paper dan mengikuti PKM hanya gara-gara dia mengetahui kalau aku anak pers.

Sementara Ummi terus mengomeliku, aku sibuk menatap layar smartphone dan tertawa-tawa membaca pesan di grup WhatsApp keluarga Abi. Banyak hal yang terjadi di liburan kali ini. Seperti, misalnya, sopir keluarga kami yang tidak bisa diganggu dan tidak mau mengantar kami liburan hanya karena mengejar deadline hari dan sedang bersemangat sekali mengumpulkan biaya untuk menikah, dan yang menjadi trending topic adalah orang yang sama:  sepupuku yang sedang dalam proses menggenapkan.

Saat kumpul keluarga, Ummi berkata pada adik sepupuku yang usianya jauh di atasku yang saat itu membawa kamera, “Bisa tidak, foto anak itu tanpa jerawat?” oh ya ampun, dia segera memelototi jerawatku dan menahan tawa. “Bisa, pakai kamera 360.” Rasanya jerawat ini begitu mengganggu liburan kali ini. Beberapa saudara juga membahasnya. Dan membuatku berpikir, “Sebenarnya, apakah aku sedang merindukan sesuatu?”

Tapi lalu kukatakan pada sepupuku yang sedang asyik menenteng kamera, “Begini, kau mau pakai Bahasa Arab atau Indo?” tanyaku. Tentu saja aku sedang membahas ijab qobul. “Kalau Bahasa Arab, ada lafal seperti ini, ‘Qobiltu … bil mahril madzkuur,’ kalau Indo, lain lagi, ‘Saya terrima … dengan maharr … seperrangkat …’,” aku tertawa bahagia. Puas rasanya bisa membully orang yang biasa jadi pembully. Jadi, adik sepupuku ini memang sedikit kesulitan melafalkan huruf R. “Setahuku sih, ijab qobul itu harus jelas. Kalau ngga jelas, takutnya enggak sah,” tawaku semakin membahana. “Latihan dulu, latihan,” saat aku masih tertawa, dia mencubit lenganku. Tsk.

Aku baru mendapat kesadaran untuk berolahraga dan bersepeda saat Ummi berkata kalau teman-temanku pasti akan kesulitan mengenaliku. Abi juga bahagia dan berkata, “Sekarang Abi tinggal membawa Ummi ke dokter untuk periksa. Dia sulit sekali gendut,” Yassalaam. Kalimat Abi benar-benar membuatku sedih. Apakah ini berarti aku benar-benar menjadi gendut? Akhir-akhir ini Abi memang hampir tidak pernah mengomeliku soal minum banyak air putih dan ramuan sagu yang harus kuminum saat lambungku sakit karena telat makan.

Selama ini aku tidak pernah mengkhawatirkan berat badanku. Di antara adik-adikku, tubuhku lah yang paling mungil. Aku sering berpikir jika mungkin saja takdir menjadi sulung memang begitu. Aku makan banyak dan berat serta tinggi badanku seperti tidak pernah bertambah. Tapi komentar orang-orang terdekatku belakangan ini yang mengatakan bahwa pipi dan daguku sepertinya menjadi tebal membuatku memikirkan sesuatu. Apa aku bahagia? Kudengar orang bahagia susah kurusnya. Aahh, ini benar-benar membuatku tidak habis pikir. Sepertinya aku memang harus banyak berolahraga.

Di malam-malam terakhir liburan, Abi mengumpulkan kami sekeluarga dan mengecek bacaan Qur’an kami. Itu membuatku semakin berat meninggalkan rumah. Momen seperti itu, aku pikir, hanya terjadi di libur lebaran saja. Saat kami semua benar-benar bisa berkumpul semuanya …

Dan kini aku sudah berada di Solo (lagi). Setelah perjalanan panjang membosankan yang semua tarifnya naik padahal kemarin aku pulang diantar bis yang memintaku membayar seikhlasnya. Karena pulang awal, belum ada teman yang bisa menjemputku di gerbang kampus. Karena itulah aku naik becak yang ongkosnya meroket dan bisa untuk membeli martabak manis cokelat dua bungkus lupakan sejenak urusan diet.


Semalam hujan dan membuat pagi ini benar-benar hangat. Semoga saja itu pertanda baik. Aku harus segera menyelesaikan tugas penelitian dan keredaksianku. Soal bidang media, apakah aku akan meneruskannya atau tidak? Ah, entahlah … 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar