Rasanya sangat menggelikan. Ketika
aku menafsirkan perasaan ini sebagai rindu. Padahal, kita tak pernah secara
langsung bertemu. Kali pertama kita saling mengenal nama, adalah saat aku
sedang memainkan peranku. Saat itu hanya ada perbincangan satu arah yang
semuanya berasal dariku. Ya, seharusnya Tuan tahu. Aku bukan wanita seperti
itu. Maksudku, kita sama-sama mengerti, kan? Tuan membantu terlaksananya
tugasku, dan aku menjalankan peranku dengan baik.
Rasa-rasanya begitu lucu. Saat
perasaan ini muncul, melesat berjuta-juta kalimat indah dalam otakku. Berpencar
warna-warni tabur diksi yang syahdu dalam mengenangmu. Tetapi ketika aku akan
menuliskan semuanya, tetiba aku menjadi kelu dan bisu. Tetiba otakku seakan
tumpul dan buntu. Lalu pada satu tanya aku terpaku, “Apa yang terjadi padaku?”
Rasanya … aku begitu malu. Malu
dengan perasaan yang bahkan aku sendiri tidak bisa mendefinisikannya. Malu ketika saat itu,
dari arah yang berlawanan, di bawah perak cahaya mentari, tak sengaja mata kita
bertemu, satu detik saja. Aku tertunduk tersipu. Meski kutahu, Tuan tak
mengenaliku.
Aku bertanya-tanya, perihal rasa
yang kusebut rindu. Jika benar ini rindu … kenapa? Maksudku, kenapa harus rindu
dan kenapa Tuan? Bukankah kita, sama-sama tidak saling mengenal? Bukankah ini
sangat tidak wajar. Bukankah ini begitu ganjil ….
Lalu apa yang harus kulakukan? Keyakinan ini semakin menguat. Tuan
pikir ini mudah?
Sekeras usahaku mengenyahkan rasa
ini, sekuat itu pula perasaan ini tumbuh. Padahal aku sungguh-sungguh sadar,
jika rangkaian rasa ini adalah semu. Tapi sisi diriku yang lain melihat dari
sudut yang tak sama. Untuk rasa yang tidak biasa ini, bahkan kesempatan untukku dan Tuan saling mengetahui nama, percakapan sekadarnya dan tatap mata tak
sengaja itu adalah juga skenario dari Allah.
Selalu ada kejadian-kejadian kecil,
untuk sebuah akibat besar. Toh jika nanti akhirnya aku dan Tuan benar-benar
tidak akan pernah lagi dipertemukan dalam skenario Allah yang lain, tidak
dihimpun dalam kebaikan yang sama, setidaknya aku—dan kuharap begitu juga
dengan Tuan—sudah belajar tentang banyak kebaikan lain. Tentang doa-doa yang
dilangitkan, tentang kesabaran dalam menjaga rasa, tentang tetap berada pada
sabilillah, tentang meneladani sunnah Rasul, tentang sejatinya makna cinta dan
rindu yang syahdu, juga tentang
mencintai-Nya dalam ketaatan …
Aku tidak berharap Tuan membaca
tulisan acak ini. Tapi jika suatu saat Tuan menemukannya, perkenalkanlah,
sesungguhnya aku ini perempuan yang pemalu. Namun jika dengan tulisan ini Tuan
menafsirkanku sebagai perempuan yang benar-benar berbeda dengan apa yang kukatakan
tentang diriku tadi, percayalah … rindu yang menyesakkan ini begitu mengganggu.
Dan aku tidak lagi tahu apa yang harus kulakukan. Untuk itulah aku
menuliskannya. Barangkali setelah itu, rindu ini luruh. Atau bahkan mungkin
akan labuh.
Surakarta, (30/10).
2 komentar
Tulisannya asyik,, gurih n renyah,,
ReplyDeleteSemoga si tuan bisa membaca ini kelak haha
Salam kenal
Xapinos.blogspot.com
Terima kasih sudah membaca. Terima kasih juga buat doanya. :D
ReplyDeleteSalam kenal. :)