Perihal Rindu yang Lucu

By Zulfa Rahmatina - 7:13 PM

Rasanya sangat menggelikan. Ketika aku menafsirkan perasaan ini sebagai rindu. Padahal, kita tak pernah secara langsung bertemu. Kali pertama kita saling mengenal nama, adalah saat aku sedang memainkan peranku. Saat itu hanya ada perbincangan satu arah yang semuanya berasal dariku. Ya, seharusnya Tuan tahu. Aku bukan wanita seperti itu. Maksudku, kita sama-sama mengerti, kan? Tuan membantu terlaksananya tugasku, dan aku menjalankan peranku dengan baik.

Rasa-rasanya begitu lucu. Saat perasaan ini muncul, melesat berjuta-juta kalimat indah dalam otakku. Berpencar warna-warni tabur diksi yang syahdu dalam mengenangmu. Tetapi ketika aku akan menuliskan semuanya, tetiba aku menjadi kelu dan bisu. Tetiba otakku seakan tumpul dan buntu. Lalu pada satu tanya aku terpaku, “Apa yang terjadi padaku?”

Rasanya … aku begitu malu. Malu dengan perasaan yang bahkan aku sendiri tidak bisa mendefinisikannya. Malu ketika saat itu, dari arah yang berlawanan, di bawah perak cahaya mentari, tak sengaja mata kita bertemu, satu detik saja. Aku tertunduk tersipu. Meski kutahu, Tuan tak mengenaliku.

Aku bertanya-tanya, perihal rasa yang kusebut rindu. Jika benar ini rindu … kenapa? Maksudku, kenapa harus rindu dan kenapa Tuan? Bukankah kita, sama-sama tidak saling mengenal? Bukankah ini sangat tidak wajar. Bukankah ini begitu ganjil ….
Lalu apa yang harus kulakukan? Keyakinan ini semakin menguat. Tuan pikir ini mudah?

Sekeras usahaku mengenyahkan rasa ini, sekuat itu pula perasaan ini tumbuh. Padahal aku sungguh-sungguh sadar, jika rangkaian rasa ini adalah semu. Tapi sisi diriku yang lain melihat dari sudut yang tak sama. Untuk rasa yang tidak biasa ini, bahkan kesempatan untukku dan Tuan saling mengetahui nama, percakapan sekadarnya dan tatap mata tak sengaja itu adalah juga skenario dari Allah.

Selalu ada kejadian-kejadian kecil, untuk sebuah akibat besar. Toh jika nanti akhirnya aku dan Tuan benar-benar tidak akan pernah lagi dipertemukan dalam skenario Allah yang lain, tidak dihimpun dalam kebaikan yang sama, setidaknya aku—dan kuharap begitu juga dengan Tuan—sudah belajar tentang banyak kebaikan lain. Tentang doa-doa yang dilangitkan, tentang kesabaran dalam menjaga rasa, tentang tetap berada pada sabilillah, tentang meneladani sunnah Rasul, tentang sejatinya makna cinta dan rindu yang syahdu, juga tentang  mencintai-Nya dalam ketaatan …

Aku tidak berharap Tuan membaca tulisan acak ini. Tapi jika suatu saat Tuan menemukannya, perkenalkanlah, sesungguhnya aku ini perempuan yang pemalu. Namun jika dengan tulisan ini Tuan menafsirkanku sebagai perempuan yang benar-benar berbeda dengan apa yang kukatakan tentang diriku tadi, percayalah … rindu yang menyesakkan ini begitu mengganggu. Dan aku tidak lagi tahu apa yang harus kulakukan. Untuk itulah aku menuliskannya. Barangkali setelah itu, rindu ini luruh. Atau bahkan mungkin akan labuh.



Surakarta, (30/10).

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. Tulisannya asyik,, gurih n renyah,,
    Semoga si tuan bisa membaca ini kelak haha
    Salam kenal
    Xapinos.blogspot.com

    ReplyDelete
  2. Terima kasih sudah membaca. Terima kasih juga buat doanya. :D
    Salam kenal. :)

    ReplyDelete