Kepalanya ditopang dengan kedua
tangannya yang diletakkan di atas meja penuh buku-buku yang ingin kupinjam.
Kali ini aku ingin menulis novel tentang neuroscience dan aku harus banyak
membaca buku tentang otak.
Aku tahu dia gelisah meski sejak
tadi, mataku tidak juga lepas dari buku tebal yang covernya sudah mengenaskan
ini. Sesekali, ia mengubah posisi duduk, lalu bersidekap. Kadang ia
mengetuk-ngetuk pelan meja kayu ini dengan telunjuknya.
“Aku mau bicara,”
“Hm?” Aku mengangkat sebelah alisku tanpa
melihatnya. Berpura-pura masih sibuk dengan buku bacaanku, meski aku
memperhatikannya.
“Aku orang yang menyebalkan. Tidak
peka dengan perasaan orang. Brengsek. Membosankan.”
Aku tersenyum samar, meliriknya.
Kututup buku dan mulai melihatnya. Apa yang akan ia bicarakan? Apakah ini
sebuah pengakuan dosa? Semakin geli saja aku membayangkan jika tebakanku ini
benar. “Satria, kau cukup bijak untuk menyadari itu semua, kau tahu?” Aku
meringis. Kali ini aku tulus memujinya.
Dia ikut menyeringai aneh, yang
membuatku sangat ingin tertawa.
“Lalu?” kembali kutanya apa yang
diinginkan sosok dengan busana kasualnya itu. “Kau tahu aku tidak suka membuang
waktu.” Aku mulai menumpuk-numpuk buku tebal yang akan kupinjam. Sebenarnya,
setiap minggu, anggota perpustakaan ini tidak boleh meminjam lebih dari dua
buku. Tapi karena penjaga perpustakaan adalah temanku, tentu saja aku bisa
membawa lebih dari yang telah ditentukan. Lagi pula, aku ini orang yang sangat
berhati-hati dan pandai menjaga buku. Jadi tidak ada alasan bagi temanku untuk
menolak rengekanku, saat suatu ketika aku ingin membawa pulang banyak buku.
“Yah, kau tahu itu semua, Flo. Dan
aku ingin kau jadi istriku.” Satria menghela napas. “Aku meminangmu.” Lelaki
itu memberi penegasan.
Aku mengangguk. Ya, ya. Memang hanya
aku yang sangat sangat mengenalnya. Tidak ada yang lain. Oh, tapi, tunggu.
Tadi… apa katanya? “He? Meminang???” Aku berteriak. Aku sampai berdiri dan
mencondongkan tubuhku padanya, lalu mendorong kursi ke belakang dengan keras.
Mendapati Satria yang hanya diam dan menunduk, aku membungkam mulutku dengan
telapak tangan. Ya Tuhan, aku melakukan kesalahan. Berulang aku mengangguk
kecil dan tersenyum aneh pada pengunjung perpustakaan yang menatapku dengan
tatapan sebal. Tentu saja mereka terganggu.
Satria, dengan sialnya, malah
tersenyum simpul. Terkesan sedikit mengejek karena ia lalu menatapku dengan
pandangan menggoda. Oh ya ampun, begitukah sikapnya pada gadis yang sedang
dilamarnya?
“Aku ingin menikahimu,” ucapnya sekali lagi.
Terdengar berbisik. Bola mata hijaunya berkilat-kilat. Kucari-cari sisa-sisa
keusilan pada wajah sepupuku ini. Tapi sial. Tidak kudapatkan bukti itu barang
sedikitpun.
Aku masih menganga dan kembali
duduk. Kupijat-pijat pelipisku yang berkedut. Lalu dengan refleks, aku mencengkeram
dadaku dengan kuat untuk memastikan jantungku tidak melompat keluar.
Tuhan… dia pasti… sedang bercanda,
kan?
♥
Umur kami hanya terpaut tiga tahun.
Satria adalah sepupu dari Ayahku dan hubungan kami tentu saja baik—di mata
orang. Di masa kanak-kanak dulu, aku juga, tentu saja sering menghabiskan waktu
tidur siang dengan berada di ranjang yang sama dengannya. Tapi aku berhenti
melakukan itu, ketika aku menginjak usia Sekolah Dasar. Saat teman-teman
perempuanku banyak yang membicarakan kakak kelas mereka yang tampan, tapi super
menyebalkan, Satria.
Satria
adalah sosok yang dingin. Sombong. Sok pintar. Meledak-ledak. Dan tidak
berperasaan sama sekali. Itulah yang sering aku dengar, dan beberapa darinya
memang kusetujui. Tapi, oh, Satria memang anak yang pintar. Sayangnya dia tidak
beruntung dalam persahabatan. Ia bahkan sering membuat teman perempuanku
menangis.
Meski
begitu, meski telah melayangkan beribu serapah pada Satria, di depan Satria
anak-anak perempuan itu melakukan hal yang benar-benar berbeda. Mereka
memujinya bak seorang pangeran—hal yang membuatku sangat ingin muntah. Ah,
wanita memang memusingkan.
Tidak
seperti perkiraan orang-orang tentang hubungan kami, sebenarnya aku begitu
membencinya. Aku adalah tunggal dari pasangan yang bercerai di tahun keempat
pernikahan mereka. Ayahku, yang adalah orang Barat, tiba-tiba saja tertarik
dengan wanita berwajah oriental daripada Ibuku dengan wajah Jawanya yang begitu
manis.
Sebenarnya
kalau kubilang, wajah Ibu pun seperti kebanyakan orang-orang Asia Timur karena
kakek adalah orang Jepang. Jadi, seperti apa wajahku? Tidak usah dipusingkan.
Aku hanya harus terus bersyukur karena aku tidak memiliki hidung yang bengkok,
seperti kebanyakan orang Barat. Aku tidak suka dengan tipe hidung seperti itu.
Seperti hidung Satria.
Jangan
konyol dengan menghubung-hubungkan jika Satria adalah sepupu dari mantan
Ayahku—biarlah kusebut begitu. Atau karena hidungnya yang bengkok, aku jadi
membencinya. Ya, aku memang membenci Ayahku. Aku juga benci Satria. Tapi pada
keduanya, aku memiliki alasan yang berbeda.
♥
“Aw.” Aku mengelus-elus dahiku yang
terantuk meja saat aku yang ternyata tertidur, kehilangan keseimbangan kepala
yang tadi ditopang tangan. Layar laptop di meja belajar ini masih menyala.
Menampilkan laman situs kesehatan yang selama ini rutin kubuka. Aku memutus
koneksi internet, mematikan laptop, lalu membenahi buku-buku yang berserak di
meja.
Sebuah amplop putih dengan kop
klinik terkenal dan nama seorang dokter itu membuatku menghentikan aktivitas. Aku
mengamatinya dengan lemas.
“Sebentar
lagi, Flo. Waktunya.”
Kata-kata siang tadi di sebuah
ruangan dengan aroma khas yang selalu membuat perutku mual, terngiang.
“Tapi
tidak ada yang tahu, bukan? Dan ayo kita berjuang bersama-sama. Tuhan adalah perencana
terbaik,” lanjut dokter sepuh dengan jenggotnya yang lebat itu.
Aku menghela napas, lalu bangkit
menuju kasur. Kuhempaskan tubuh dengan keras. Aku benar-benar ingin tidur.
Menutup mata, dan jika diijinkan untuk bangun lagi, aku berharap telah melupakan
semuanya.
♥
“Tante, aku ingin meminang Flower.
Boleh?” sambil mengoles selai nanas pada roti tawarnya, Satria yang setiap pagi
menyempatkan mewarnai—mengganggu—pagi kami dengan kehadirannya di rumah ini
sebelum ia berangkat kerja, mulai berkata konyol.
Mendengarnya, Ibu hanya terkekeh dan
memberikan pada Satria telur setengah matang kesukaannya. Ibu juga menyiapkan
segelas susu untuknya. Aku selalu curiga jika Satria tidak pernah disiapkan
sarapan oleh mamanya karena sikap menyebalkan Satria yang setiap pagi rutin
mengunjungi rumahku ini.
Melihat
Ibu, kadang aku merasa kagum, sekaligus sedih. Ia masih menjaga hubungan baik
dengan keluarga mantan suaminya. Apa Ibu tidak terluka? Aku ingin sekali
menanyakannya tapi takut jika hal itu malah akan melukai Ibu. Jika aku berada
di posisi Ibu, aku pasti sudah mencabik-cabik muka keluarga-keluarga mantan
suamiku—oh, ingat, ini hanya jika aku di posisi Ibu. Meski sekarang pun,
sebenarnya aku ingin sekali melakukan hal itu.
“Kemarin aku sudah mengatakan
padanya, dan Flower… umm, no response.
Mungkin dia shock. Atau, tersipu?”
Bagaimana bisa dia mengatakan hal seringan
itu setelah kemarin membuat dadaku berdegup sangat kencang? Aku tidak habis
pikir melihatnya yang kini malah mengobrol santai dengan Ibu sambil
tertawa-tawa.
Aku
masih memakai piyama dan baru saja berterima kasih kepada Ibu untuk cokelat
panas yang disiapkannya untukku saat mobil Satria datang. Jadi, untuk
mengenyahkan kalimat-kalimatnya yang selalu menyebalkan itu, lebih baik aku
terus berkonsentrasi pada cokelat panasku.
“Flo? Sudah berapa kali kuperingatkan?
Jangan meniupnya, kau dengar?”
Nah, kan. Selalu merepotkan. Dokter
menyebalkan ini selalu merepotkan! Sebelum dia memuntahkan teori kedokterannya,
aku bangkit dari duduk malasku di sofa melihat kecipak ikan dalam kolam ikan
kami, lalu melenggang tanpa berkata sepatah pun kata pada Ibu atau Satria. Aku
mau mandi dan juga bersiap untuk pergi kerja. Selalu kulama-lamakan mandi
pagiku karena kata-kata yang rutin diucapkan Satria, sebentar lagi.
“Aku akan berangkat denganmu pagi
ini. Bukankah kantor penerbitmu di samping Rumah Sakit?”
♥
“Meski kau seorang editor yang bekerja
di bawah tekanan dan deadline, kau
harus menjaga kondisimu. Bagaimana catatan kesehatanmu?”
Aku memilih diam. Mengeluarkan headset, menyumpalkannya pada telinga,
lalu sibuk men-scroll playlist musik
di ponsel. L’Arc~En~Ciel, One Ok Rock, Orange Range, The Brilliant Green,
Stereopony, YUI, KAT-TUN, Arashi, Hey!Say!JUMP…. Aku memutar lagu berjudul
namaku.
Aku masih bisa mendengar Satria
mendesah dengan keras. Ia lalu menarik headset
di telingaku dengan kasar hingga terlepas.
“Jangan mengabaikan orang saat mereka
sedang mengajakmu berbicara! Ubah sikapmu yang seperti itu!” Satria kembali
mendesah. “Aku mohon,” lanjutnya dengan nada yang lebih rendah.
Aku menghela napas, mengatur
kesabaranku yang ternyata sangat berbatas. “Turunkan aku.” ucapku lirih.
“He?” Satria yang berkonsentrasi
dengan kemudinya itu menoleh.
“Turunkan aku atau aku loncat!”
Dengan sigap, Satria membelokkan
kemudi, dan menepikan mobil. Dia selalu tahu aku tidak pernah main-main dengan
ucapanku. Beruntung di depan ada flyover
dan halte busway. Setidaknya, meski sama saja macet, dengan naik busway aku
akan sampai di kantor lebih cepat daripada naik taksi. Aku segera membuka pintu
mobil saat mobil sudah menepi, dan berlari meninggalkan Satria yang masih sibuk
dengan seatbelt-nya.
Aku berlari dengan cepat, tak ingin
dijangkau Satria. Sial. Rupanya cowok itu mengejarku. Aku tidak yakin bisa
berlari cepat lagi setelah mengetahuinya. Kudaki tangga dengan bergegas meski
napasku mulai terengah.
“Flo!” Satria memekik, tapi aku
tidak mempedulikannya. “Jangan berlari seperti itu! Baik, baik. Aku tidak akan
memaksamu kembali ke mobil.”
Aku berpegangan pada besi penyangga.
Napasku memburu. Mendengar kata-kata Satria, kini aku berjalan tertatih sambil
tetap berpegangan. Kepalaku tiba-tiba saja berputar dengan cepat. Aku tahu
Satria masih berada di belakangku.
Aku masih berusaha menguatkan peganganku
saat dadaku tiba-tiba saja terasa sesak dan sakit. Peganganku terlepas untuk
mencengkeram dada kiriku kuat-kuat, meredakan nyeri yang semakin menggila.
Napasku semakin sesak dan
persedianku melemas. Lututku yang tiba-tiba melemah membuat tubuhku terjun
bebas. Aku masih bisa merasakan Satria menangkapku, mendekapku dan menjaga agar
aku selalu dalam posisi duduk dan tidak berbaring. Ia terus meracau, mengatakan
kata-kata semangat, sesekali mengomeliku dengan menyebalkan karena aku tidak
pernah mau membawa obat di dalam tasku. Ia terus berbicara agar kesadaranku
tidak hilang.
Sambil masih terus mengatur napas
yang sesak, juga menahan nyeri yang hebat, tanganku menggapai-gapai. Ingin
mendekatkan telinga Satria pada mulutku agar ia mendengar apa yang akan kukatakan.
Tapi saat tanganku hanya berhasil meraih kerah kemeja putihnya, kutarik dengan
lemah. Aku berbisik memohon. “Tolong, aku masih ingin hidup…”
♥
Itulah yang membuatku benci
sebenci-bencinya pada Ayah—meski ia masih rutin memberiku hadiah ulang tahun,
di usiaku yang sudah sangat tidak pantas untuk memikirkan hal remeh seperti itu—yang
meninggalkan Ibu hanya denganku yang penyakitan. Ibu pasti mengalami banyak
kesulitan karenaku dan karena kepergiannya.
Jika tiba masa-masa sulit dan aku
menyalahkan takdir, Ibu pasti akan mendekapku, dan memintaku bersabar.
“Istighfar, ingat Allah.”
Aku mengangguk dengan hampa. “Aku
ingat, Bu. Aku ingat Allah. Aku selalu mengingat-ingat Allah. Memang hal itu kan, yang harus kulakukan. Kematianku
dekat, Bu!”
Ibu menamparku dengan menangis tiap
kali aku mengatakan kata-kata yang pesimis. Meski pipiku panas, hatiku lebih
sakit mengetahui kelemahanku ini membuat Ibu terluka. Harusnya aku lebih
ikhlas. Harusnya aku lebih kuat.
Setelah menamparku, Ibu pasti akan
memelukku, meminta maaf.
“Kau
masih muda,”
“Dua puluh lima tahun itu tidak
muda, Bu.” Aku meralat. Tertawa kecil. Hidup seperempat abad ini kujalani
dengan rutinitas berulang yang membuatku bosan. Mungkin memang lebih baik aku
mati saja, sebelum aku menyadari ada orang yang menaruh perhatian padaku, dalam
arti lebih. Seseorang yang membuatku senang dan terluka, juga membencinya di
waktu yang sama.
“Flo harus belajar mengenal cinta.”
Kata-kata Ibu membuatku
terbahak—pura-pura terbahak. Aku ingin. Aku sangat ingin mengenal cinta.
Dicintai, mencintai. Tapi, “Memang siapa yang mau dengan perempuan yang hampir
mati seperti Flo, Bu? Tidak ada. Ibu kadang harus tahu, kita ini tidak hidup di
dunia dongeng yang segalanya serba indah dan mudah.” Aku membuang muka dengan
mata terpejam, lalu beranjak pergi. Kata-kataku pasti menyakiti hati Ibu.
♥
Sejak serangan itu, kini Ibu
mengawasiku lebih ketat. Aku tertawa miris dan mengatakan padanya jika aku
merasa kembali seperti balita kalau Ibu masih berkelakuan seperti itu. Tapi Ibu
tidak peduli. Ia bahkan tidak mengijinkanku keluar meski untuk sekadar membeli
camilan di minimarket dekat rumah.
Aku bersyukur ketika Ibu masih
mengijinkanku menulis—meski Ibu memintaku berhenti menjadi editor. Oh, dan, hal
inilah yang membuatku masih bisa mensyukuri hidup, meski sebenarnya, banyak
hal-hal yang seharusnya bisa membuat kita mengucap syukur lebih banyak. Aku
bersyukur aku memilih jalanku untuk menulis. Setidaknya, aku merasa nyawaku bisa
bertahan lebih lama ketika aku berhasil menyelesaikan tulisanku. Juga, ketika
pembaca novelku selalu menanyakan kelanjutan tulisan dan tokoh-tokoh dalam
dunia khayalku.
Tapi hari ini, aku hanya duduk di
depan layar TV, memainkan remote. Memindah-mindah
channel, tanpa berniat menonton. TV Indonesia yang penuh dengan acara gosip
membuatku muak. Aku beralih pada kotak kumpulan keping-keping DVD doramaku dan
mulai memilihnya. Tapi entah kenapa, aku juga tidak berselera untuk menonton.
Jadi kuputuskan untuk pergi ke kolam ikan, dan membiarkan sebagian kakiku yang
terjulur di kolam, terendam air.
“Flo.”
Tanpa bersusah-susah menoleh, aku
sudah tahu siapa yang memanggilku. Aku sangat mengenali suara seseorang yang
kini duduk di dekatku dan melakukan hal yang sama. Air bening kolam masih
menampakkan kuku-kuku kakiku yang penuh cat warna biru laut.
“Aku ingin menikahimu.”
Aku tertawa. Ya Tuhan, dia masih
membahas masalah ini?
“Aku dokter, Flo. Kau… yah, kau
mungkin saja bisa…”
“Kau dokter. Tapi kau bukan Tuhan!”
tukasku, memutus kalimatnya. Bisa hidup lebih lama, maksudnya? “Oh, ayolah,
Sat. Kita ini sepupu.” Aku membiarkan kata-kataku mengambang. Tanpa meneruskan
dengan kalimat-kalimat rumit mengenai kemungkinan-kemungkinan buruk yang ada
ketika terjadi pernikahan dengan hubungan pertalian darah. Keluarga yang hanya
itu-itu saja, keturunan dengan kemungkinan—ah, Satria pasti lebih tahu hal-hal
medis seperti itu.
“Aku tahu kita sepupu. Tapi apa
masalahnya? Aku tidak peduli. Kita bukan mahrom, kan? Agama memperbolehkan kita
menikah.”
Kupandang wajah Satria yang mendadak
dungu itu. Apa yang sedang ia pikirkan dengan bertanya apa masalahnya? Apa
otaknya berjejalan teori-teori yang membuat dia tidak bisa mengingat satu pun
darinya? “C’mon. Kau dokter.”
Intonasi suaraku seperti sedang memberi tahu anak kecil bahwa mungkin saja ia
menjatuhkan koin yang dicarinya di kolong tempat tidur, atau sudah memasukkannya
ke vending machine untuk membeli
minuman kaleng. Satria, mungkin saja melupakan hal itu karena dia telah gila.
“Ya. Aku tahu aku dokter. Dan aku
menjadi dokter untuk menikahimu.”
Aku menoleh ke arahnya dengan cepat.
Mata hijau Satria, entah kenapa, sinarnya kini lebih benderang. Aku kembali
merasakan sesuatu yang salah pada jantungku. Tapi kali ini berbeda. Detaknya
membuatku ingin meledak.
“Flo, selalu ada alasan untuk
menjadi yang kita inginkan, bukan? Boleh aku mengatakan, I love you, like you love books?”
Kini aku benar-benar meledak.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kendal, Februari 2015.
8 komentar
Hai zulfa salam kenal :)
ReplyDeleteHai, Dewi. Salam kenal juga :))
DeleteTerima kasih sudah mampir, yaa...
wah, keren ya si flo ini.
ReplyDeleteini masuk flash fiction kan ya?
Terima kasih, Kak Jeverson. Dapat salam dari Flo. Hehe. :)
DeleteHmm... kalau flash fiction itu ada maksimal kata nggak ya? *malah balik nanya :D
Wah, masyaallah,,,keren benar kak zulfa ini,,, kak aq dtakdirkan mnjadi penggemar tlisan2 mu,, ,bravooo"!! Barakallahu fiik...
ReplyDeleteAhaha. Terima kasih, Kakak... :D
DeleteWa fiyk barakallah. Ayo berjuang bersama-sama. Seperti Flo... :'D
nice story :D
ReplyDeletetapi menurut aku loh ya, endingnya kurang nendang, bikin penasaran, jadi nikah gak tuh? xD
Terima kasih, Kak Iilajah. Salam kenal :))
DeleteYang nggantung itu yang nendang, Kak. Hehe.
Jadi nikah nggak ya... :D
Ntar kalo Flo kirim undangan aku kabari deh :D