DETAK

By Zulfa Rahmatina - 8:44 AM


       Kepalanya ditopang dengan kedua tangannya yang diletakkan di atas meja penuh buku-buku yang ingin kupinjam. Kali ini aku ingin menulis novel tentang neuroscience dan aku harus banyak membaca buku tentang otak.
         Aku tahu dia gelisah meski sejak tadi, mataku tidak juga lepas dari buku tebal yang covernya sudah mengenaskan ini. Sesekali, ia mengubah posisi duduk, lalu bersidekap. Kadang ia mengetuk-ngetuk pelan meja kayu ini dengan telunjuknya.
          “Aku mau bicara,”
       “Hm?” Aku mengangkat sebelah alisku tanpa melihatnya. Berpura-pura masih sibuk dengan buku bacaanku, meski aku memperhatikannya.
          “Aku orang yang menyebalkan. Tidak peka dengan perasaan orang. Brengsek. Membosankan.”
       Aku tersenyum samar, meliriknya. Kututup buku dan mulai melihatnya. Apa yang akan ia bicarakan? Apakah ini sebuah pengakuan dosa? Semakin geli saja aku membayangkan jika tebakanku ini benar. “Satria, kau cukup bijak untuk menyadari itu semua, kau tahu?” Aku meringis. Kali ini aku tulus memujinya.
              Dia ikut menyeringai aneh, yang membuatku sangat ingin tertawa.
            “Lalu?” kembali kutanya apa yang diinginkan sosok dengan busana kasualnya itu. “Kau tahu aku tidak suka membuang waktu.” Aku mulai menumpuk-numpuk buku tebal yang akan kupinjam. Sebenarnya, setiap minggu, anggota perpustakaan ini tidak boleh meminjam lebih dari dua buku. Tapi karena penjaga perpustakaan adalah temanku, tentu saja aku bisa membawa lebih dari yang telah ditentukan. Lagi pula, aku ini orang yang sangat berhati-hati dan pandai menjaga buku. Jadi tidak ada alasan bagi temanku untuk menolak rengekanku, saat suatu ketika aku ingin membawa pulang banyak buku.
            “Yah, kau tahu itu semua, Flo. Dan aku ingin kau jadi istriku.” Satria menghela napas. “Aku meminangmu.” Lelaki itu memberi penegasan.
            Aku mengangguk. Ya, ya. Memang hanya aku yang sangat sangat mengenalnya. Tidak ada yang lain. Oh, tapi, tunggu. Tadi… apa katanya? “He? Meminang???” Aku berteriak. Aku sampai berdiri dan mencondongkan tubuhku padanya, lalu mendorong kursi ke belakang dengan keras. Mendapati Satria yang hanya diam dan menunduk, aku membungkam mulutku dengan telapak tangan. Ya Tuhan, aku melakukan kesalahan. Berulang aku mengangguk kecil dan tersenyum aneh pada pengunjung perpustakaan yang menatapku dengan tatapan sebal. Tentu saja mereka terganggu.
            Satria, dengan sialnya, malah tersenyum simpul. Terkesan sedikit mengejek karena ia lalu menatapku dengan pandangan menggoda. Oh ya ampun, begitukah sikapnya pada gadis yang sedang dilamarnya?
 “Aku ingin menikahimu,” ucapnya sekali lagi. Terdengar berbisik. Bola mata hijaunya berkilat-kilat. Kucari-cari sisa-sisa keusilan pada wajah sepupuku ini. Tapi sial. Tidak kudapatkan bukti itu barang sedikitpun.
            Aku masih menganga dan kembali duduk. Kupijat-pijat pelipisku yang berkedut. Lalu dengan refleks, aku mencengkeram dadaku dengan kuat untuk memastikan jantungku tidak melompat keluar.
            Tuhan… dia pasti… sedang bercanda, kan?
            Umur kami hanya terpaut tiga tahun. Satria adalah sepupu dari Ayahku dan hubungan kami tentu saja baik—di mata orang. Di masa kanak-kanak dulu, aku juga, tentu saja sering menghabiskan waktu tidur siang dengan berada di ranjang yang sama dengannya. Tapi aku berhenti melakukan itu, ketika aku menginjak usia Sekolah Dasar. Saat teman-teman perempuanku banyak yang membicarakan kakak kelas mereka yang tampan, tapi super menyebalkan, Satria.
Satria adalah sosok yang dingin. Sombong. Sok pintar. Meledak-ledak. Dan tidak berperasaan sama sekali. Itulah yang sering aku dengar, dan beberapa darinya memang kusetujui. Tapi, oh, Satria memang anak yang pintar. Sayangnya dia tidak beruntung dalam persahabatan. Ia bahkan sering membuat teman perempuanku menangis.
Meski begitu, meski telah melayangkan beribu serapah pada Satria, di depan Satria anak-anak perempuan itu melakukan hal yang benar-benar berbeda. Mereka memujinya bak seorang pangeran—hal yang membuatku sangat ingin muntah. Ah, wanita memang memusingkan.
Tidak seperti perkiraan orang-orang tentang hubungan kami, sebenarnya aku begitu membencinya. Aku adalah tunggal dari pasangan yang bercerai di tahun keempat pernikahan mereka. Ayahku, yang adalah orang Barat, tiba-tiba saja tertarik dengan wanita berwajah oriental daripada Ibuku dengan wajah Jawanya yang begitu manis.
Sebenarnya kalau kubilang, wajah Ibu pun seperti kebanyakan orang-orang Asia Timur karena kakek adalah orang Jepang. Jadi, seperti apa wajahku? Tidak usah dipusingkan. Aku hanya harus terus bersyukur karena aku tidak memiliki hidung yang bengkok, seperti kebanyakan orang Barat. Aku tidak suka dengan tipe hidung seperti itu. Seperti hidung Satria.
Jangan konyol dengan menghubung-hubungkan jika Satria adalah sepupu dari mantan Ayahku—biarlah kusebut begitu. Atau karena hidungnya yang bengkok, aku jadi membencinya. Ya, aku memang membenci Ayahku. Aku juga benci Satria. Tapi pada keduanya, aku memiliki alasan yang berbeda.
            “Aw.” Aku mengelus-elus dahiku yang terantuk meja saat aku yang ternyata tertidur, kehilangan keseimbangan kepala yang tadi ditopang tangan. Layar laptop di meja belajar ini masih menyala. Menampilkan laman situs kesehatan yang selama ini rutin kubuka. Aku memutus koneksi internet, mematikan laptop, lalu membenahi buku-buku yang berserak di meja.
            Sebuah amplop putih dengan kop klinik terkenal dan nama seorang dokter itu membuatku menghentikan aktivitas. Aku mengamatinya dengan lemas.
            “Sebentar lagi, Flo. Waktunya.”
            Kata-kata siang tadi di sebuah ruangan dengan aroma khas yang selalu membuat perutku mual, terngiang.
            “Tapi tidak ada yang tahu, bukan? Dan ayo kita berjuang bersama-sama. Tuhan adalah perencana terbaik,” lanjut dokter sepuh dengan jenggotnya yang lebat itu.
            Aku menghela napas, lalu bangkit menuju kasur. Kuhempaskan tubuh dengan keras. Aku benar-benar ingin tidur. Menutup mata, dan jika diijinkan untuk bangun lagi, aku berharap telah melupakan semuanya.
            “Tante, aku ingin meminang Flower. Boleh?” sambil mengoles selai nanas pada roti tawarnya, Satria yang setiap pagi menyempatkan mewarnai—mengganggu—pagi kami dengan kehadirannya di rumah ini sebelum ia berangkat kerja, mulai berkata konyol.
            Mendengarnya, Ibu hanya terkekeh dan memberikan pada Satria telur setengah matang kesukaannya. Ibu juga menyiapkan segelas susu untuknya. Aku selalu curiga jika Satria tidak pernah disiapkan sarapan oleh mamanya karena sikap menyebalkan Satria yang setiap pagi rutin mengunjungi rumahku ini.
        Melihat Ibu, kadang aku merasa kagum, sekaligus sedih. Ia masih menjaga hubungan baik dengan keluarga mantan suaminya. Apa Ibu tidak terluka? Aku ingin sekali menanyakannya tapi takut jika hal itu malah akan melukai Ibu. Jika aku berada di posisi Ibu, aku pasti sudah mencabik-cabik muka keluarga-keluarga mantan suamiku—oh, ingat, ini hanya jika aku di posisi Ibu. Meski sekarang pun, sebenarnya aku ingin sekali melakukan hal itu.
        “Kemarin aku sudah mengatakan padanya, dan Flower… umm, no response. Mungkin dia shock. Atau, tersipu?”
          Bagaimana bisa dia mengatakan hal seringan itu setelah kemarin membuat dadaku berdegup sangat kencang? Aku tidak habis pikir melihatnya yang kini malah mengobrol santai dengan Ibu sambil tertawa-tawa.
 Aku masih memakai piyama dan baru saja berterima kasih kepada Ibu untuk cokelat panas yang disiapkannya untukku saat mobil Satria datang. Jadi, untuk mengenyahkan kalimat-kalimatnya yang selalu menyebalkan itu, lebih baik aku terus berkonsentrasi pada cokelat panasku.
            “Flo? Sudah berapa kali kuperingatkan? Jangan meniupnya, kau dengar?”
       Nah, kan. Selalu merepotkan. Dokter menyebalkan ini selalu merepotkan! Sebelum dia memuntahkan teori kedokterannya, aku bangkit dari duduk malasku di sofa melihat kecipak ikan dalam kolam ikan kami, lalu melenggang tanpa berkata sepatah pun kata pada Ibu atau Satria. Aku mau mandi dan juga bersiap untuk pergi kerja. Selalu kulama-lamakan mandi pagiku karena kata-kata yang rutin diucapkan Satria, sebentar lagi.
            “Aku akan berangkat denganmu pagi ini. Bukankah kantor penerbitmu di samping Rumah Sakit?”
          “Meski kau seorang editor yang bekerja di bawah tekanan dan deadline, kau harus menjaga kondisimu. Bagaimana catatan kesehatanmu?”
            Aku memilih diam. Mengeluarkan headset, menyumpalkannya pada telinga, lalu sibuk men-scroll playlist musik di ponsel. L’Arc~En~Ciel, One Ok Rock, Orange Range, The Brilliant Green, Stereopony, YUI, KAT-TUN, Arashi, Hey!Say!JUMP…. Aku memutar lagu berjudul namaku.
          Aku masih bisa mendengar Satria mendesah dengan keras. Ia lalu menarik headset di telingaku dengan kasar hingga terlepas.
            “Jangan mengabaikan orang saat mereka sedang mengajakmu berbicara! Ubah sikapmu yang seperti itu!” Satria kembali mendesah. “Aku mohon,” lanjutnya dengan nada yang lebih rendah.
            Aku menghela napas, mengatur kesabaranku yang ternyata sangat berbatas. “Turunkan aku.” ucapku lirih.
            “He?” Satria yang berkonsentrasi dengan kemudinya itu menoleh.
            “Turunkan aku atau aku loncat!”
            Dengan sigap, Satria membelokkan kemudi, dan menepikan mobil. Dia selalu tahu aku tidak pernah main-main dengan ucapanku. Beruntung di depan ada flyover dan halte busway. Setidaknya, meski sama saja macet, dengan naik busway aku akan sampai di kantor lebih cepat daripada naik taksi. Aku segera membuka pintu mobil saat mobil sudah menepi, dan berlari meninggalkan Satria yang masih sibuk dengan seatbelt-nya.
          Aku berlari dengan cepat, tak ingin dijangkau Satria. Sial. Rupanya cowok itu mengejarku. Aku tidak yakin bisa berlari cepat lagi setelah mengetahuinya. Kudaki tangga dengan bergegas meski napasku mulai terengah.
          “Flo!” Satria memekik, tapi aku tidak mempedulikannya. “Jangan berlari seperti itu! Baik, baik. Aku tidak akan memaksamu kembali ke mobil.”
            Aku berpegangan pada besi penyangga. Napasku memburu. Mendengar kata-kata Satria, kini aku berjalan tertatih sambil tetap berpegangan. Kepalaku tiba-tiba saja berputar dengan cepat. Aku tahu Satria masih berada di belakangku.
            Aku masih berusaha menguatkan peganganku saat dadaku tiba-tiba saja terasa sesak dan sakit. Peganganku terlepas untuk mencengkeram dada kiriku kuat-kuat, meredakan nyeri yang semakin menggila.
            Napasku semakin sesak dan persedianku melemas. Lututku yang tiba-tiba melemah membuat tubuhku terjun bebas. Aku masih bisa merasakan Satria menangkapku, mendekapku dan menjaga agar aku selalu dalam posisi duduk dan tidak berbaring. Ia terus meracau, mengatakan kata-kata semangat, sesekali mengomeliku dengan menyebalkan karena aku tidak pernah mau membawa obat di dalam tasku. Ia terus berbicara agar kesadaranku tidak hilang.
          Sambil masih terus mengatur napas yang sesak, juga menahan nyeri yang hebat, tanganku menggapai-gapai. Ingin mendekatkan telinga Satria pada mulutku agar ia mendengar apa yang akan kukatakan. Tapi saat tanganku hanya berhasil meraih kerah kemeja putihnya, kutarik dengan lemah. Aku berbisik memohon. “Tolong, aku masih ingin hidup…”
            Itulah yang membuatku benci sebenci-bencinya pada Ayah—meski ia masih rutin memberiku hadiah ulang tahun, di usiaku yang sudah sangat tidak pantas untuk memikirkan hal remeh seperti itu—yang meninggalkan Ibu hanya denganku yang penyakitan. Ibu pasti mengalami banyak kesulitan karenaku dan karena kepergiannya.
         Jika tiba masa-masa sulit dan aku menyalahkan takdir, Ibu pasti akan mendekapku, dan memintaku bersabar. “Istighfar, ingat Allah.”
            Aku mengangguk dengan hampa. “Aku ingat, Bu. Aku ingat Allah. Aku selalu mengingat-ingat Allah. Memang hal itu kan, yang harus kulakukan. Kematianku dekat, Bu!”
            Ibu menamparku dengan menangis tiap kali aku mengatakan kata-kata yang pesimis. Meski pipiku panas, hatiku lebih sakit mengetahui kelemahanku ini membuat Ibu terluka. Harusnya aku lebih ikhlas. Harusnya aku lebih kuat.
            Setelah menamparku, Ibu pasti akan memelukku, meminta maaf.
“Kau masih muda,”
          “Dua puluh lima tahun itu tidak muda, Bu.” Aku meralat. Tertawa kecil. Hidup seperempat abad ini kujalani dengan rutinitas berulang yang membuatku bosan. Mungkin memang lebih baik aku mati saja, sebelum aku menyadari ada orang yang menaruh perhatian padaku, dalam arti lebih. Seseorang yang membuatku senang dan terluka, juga membencinya di waktu yang sama.
            “Flo harus belajar mengenal cinta.”
        Kata-kata Ibu membuatku terbahak—pura-pura terbahak. Aku ingin. Aku sangat ingin mengenal cinta. Dicintai, mencintai. Tapi, “Memang siapa yang mau dengan perempuan yang hampir mati seperti Flo, Bu? Tidak ada. Ibu kadang harus tahu, kita ini tidak hidup di dunia dongeng yang segalanya serba indah dan mudah.” Aku membuang muka dengan mata terpejam, lalu beranjak pergi. Kata-kataku pasti menyakiti hati Ibu.
            Sejak serangan itu, kini Ibu mengawasiku lebih ketat. Aku tertawa miris dan mengatakan padanya jika aku merasa kembali seperti balita kalau Ibu masih berkelakuan seperti itu. Tapi Ibu tidak peduli. Ia bahkan tidak mengijinkanku keluar meski untuk sekadar membeli camilan di minimarket dekat rumah.
       Aku bersyukur ketika Ibu masih mengijinkanku menulis—meski Ibu memintaku berhenti menjadi editor. Oh, dan, hal inilah yang membuatku masih bisa mensyukuri hidup, meski sebenarnya, banyak hal-hal yang seharusnya bisa membuat kita mengucap syukur lebih banyak. Aku bersyukur aku memilih jalanku untuk menulis. Setidaknya, aku merasa nyawaku bisa bertahan lebih lama ketika aku berhasil menyelesaikan tulisanku. Juga, ketika pembaca novelku selalu menanyakan kelanjutan tulisan dan tokoh-tokoh dalam dunia khayalku.
       Tapi hari ini, aku hanya duduk di depan layar TV, memainkan remote. Memindah-mindah channel, tanpa berniat menonton. TV Indonesia yang penuh dengan acara gosip membuatku muak. Aku beralih pada kotak kumpulan keping-keping DVD doramaku dan mulai memilihnya. Tapi entah kenapa, aku juga tidak berselera untuk menonton. Jadi kuputuskan untuk pergi ke kolam ikan, dan membiarkan sebagian kakiku yang terjulur di kolam, terendam air.
            “Flo.”
        Tanpa bersusah-susah menoleh, aku sudah tahu siapa yang memanggilku. Aku sangat mengenali suara seseorang yang kini duduk di dekatku dan melakukan hal yang sama. Air bening kolam masih menampakkan kuku-kuku kakiku yang penuh cat warna biru laut.
            “Aku ingin menikahimu.”
            Aku tertawa. Ya Tuhan, dia masih membahas masalah ini?
            “Aku dokter, Flo. Kau… yah, kau mungkin saja bisa…”
          “Kau dokter. Tapi kau bukan Tuhan!” tukasku, memutus kalimatnya. Bisa hidup lebih lama, maksudnya? “Oh, ayolah, Sat. Kita ini sepupu.” Aku membiarkan kata-kataku mengambang. Tanpa meneruskan dengan kalimat-kalimat rumit mengenai kemungkinan-kemungkinan buruk yang ada ketika terjadi pernikahan dengan hubungan pertalian darah. Keluarga yang hanya itu-itu saja, keturunan dengan kemungkinan—ah, Satria pasti lebih tahu hal-hal medis seperti itu.
           “Aku tahu kita sepupu. Tapi apa masalahnya? Aku tidak peduli. Kita bukan mahrom, kan? Agama memperbolehkan kita menikah.”
          Kupandang wajah Satria yang mendadak dungu itu. Apa yang sedang ia pikirkan dengan bertanya apa masalahnya? Apa otaknya berjejalan teori-teori yang membuat dia tidak bisa mengingat satu pun darinya? “C’mon. Kau dokter.” Intonasi suaraku seperti sedang memberi tahu anak kecil bahwa mungkin saja ia menjatuhkan koin yang dicarinya di kolong tempat tidur, atau sudah memasukkannya ke vending machine untuk membeli minuman kaleng. Satria, mungkin saja melupakan hal itu karena dia telah gila.
            “Ya. Aku tahu aku dokter. Dan aku menjadi dokter untuk menikahimu.”
            Aku menoleh ke arahnya dengan cepat. Mata hijau Satria, entah kenapa, sinarnya kini lebih benderang. Aku kembali merasakan sesuatu yang salah pada jantungku. Tapi kali ini berbeda. Detaknya membuatku ingin meledak.
            “Flo, selalu ada alasan untuk menjadi yang kita inginkan, bukan? Boleh aku mengatakan, I love you, like you love books?”
                Kini aku benar-benar meledak.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------


            Kendal, Februari 2015.

  • Share:

You Might Also Like

8 komentar

  1. Replies
    1. Hai, Dewi. Salam kenal juga :))
      Terima kasih sudah mampir, yaa...

      Delete
  2. wah, keren ya si flo ini.
    ini masuk flash fiction kan ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Kak Jeverson. Dapat salam dari Flo. Hehe. :)
      Hmm... kalau flash fiction itu ada maksimal kata nggak ya? *malah balik nanya :D

      Delete
  3. Wah, masyaallah,,,keren benar kak zulfa ini,,, kak aq dtakdirkan mnjadi penggemar tlisan2 mu,, ,bravooo"!! Barakallahu fiik...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ahaha. Terima kasih, Kakak... :D
      Wa fiyk barakallah. Ayo berjuang bersama-sama. Seperti Flo... :'D

      Delete
  4. nice story :D
    tapi menurut aku loh ya, endingnya kurang nendang, bikin penasaran, jadi nikah gak tuh? xD

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Kak Iilajah. Salam kenal :))
      Yang nggantung itu yang nendang, Kak. Hehe.
      Jadi nikah nggak ya... :D
      Ntar kalo Flo kirim undangan aku kabari deh :D

      Delete