Agenda pertama dari liburan kali
ini, adalah berbelanja kain. Agenda random, sebenarnya. Bermula dari seloroh
asalku ke budhe, yang mengajaknya jalan-jalan, melihat kain. Ternyata, selain
buku, ada hal lain yang bisa menggorok habis urat-urat dompetku. Yahh, tapi, bukankah, ilmu dan syurga, tidak pernah murah?
Seperti biasa, aku bingung jika
dihadapkan banyak pilihan. Meski, dari rumah, aku sudah mempunyai tujuan. Kain
Delta, warna hitam, panjang dua meter. Dan… pinpon! Butik-butik itu kompak
berkata, habis. Tidak ada.
Aku lalu ditawarkan bahan abaya
Arab, Dobby, Sutera Cina, Siffon, atau… lagi-lagi Wolfis. Hingga pada toko yang
ketiga, dan karena dahaga menyergap, aku menyerah. Kami kembali ke toko pertama
dengan membawa pulang dua meter kain hitam berbahan Wolfis.
“Cappucino cincau, ya, Budhe?”
ujarku, sebelum masuk ke ATM, saat ditanya aku akan meminum apa untuk membasuh
haus.
Budhe mengangguk, mengiyakan. Dan memberiku
selembar uang sepuluh ribuan, lalu menunggu tak jauh dari pasar, bersama
motornya.
Aku berjalan ke arah sayap kanan
pasar Weleri, tempat penjual cappuccino cincau itu, berkumpul. Peminat cappuccino
cincau, sore itu, lumayan banyak. Aku harus mengantri terlalu lama karena di
sudut yang berbeda, penjual cappuccino yang lain sedang berbenah. Tanda
dagangannya laris, habis.
Yang sedikit mengejutkanku, adalah
harga yang ditawarkan. Seingatku, sebelum kepergianku ke Jakarta, usai libur
lebaran kemarin, harga cappuccino cincau masih standar dengan cappuccino cincau-cappucino
cincau di tempat lain. Lima ribu rupiah. Tapi kali itu, di sudut mana pun cappuccino
cincau itu dijual, harga yang diberikan sama: Empat ribu rupiah.
Aku tidak tahu bagaimana sistem cappuccino
cincau ini. Tapi jika waralaba, bukankah tidak boleh seenaknya mengganti hal
yang sudah diputuskan? Aku dengan antusias, lalu menerima kembalian selembar
uang dua ribu rupiah, dan bergegas menuju tempat Budheku menunggu.
☼☼
Aku memejamkan mata dan
menjulur-julurkan lidah. Berniat meludahkan air yang membasahi pangkal lidahku,
hingga memenuhi lambung. Manis sekali!
“Manis sekali!” aku mengeluh.
Budheku masih dengan santai,
menyeruput cappuccino cincau-nya. “Pemanis buatan. Menekan harga, memang.” Agaknya,
dahaga telah sangat dahsyat merasukinya. Aku pun sama. Tapi tidak sepertinya, aku
tidak meneruskan meminum cappuccino cincau, yang tidak lebih baik dari cappuccino
buatan ibu kosku di Jakarta.
Rasa dari pemanis buatan tadi,
menyulut denyut di kepalaku dengan cepat. Sama ketika aku meminum es teh dari
penjual di sekitar Istiqlal, yang membuat kepalaku sangat pusing karena pemanis
yang digunakan.
☼☼
“Tadi motor kita macet di tengah rel! Demi apa!!!” aku
bercerita histeris pada Pakdhe yang biasa menanggapi perkataanku dengan
gurauan.
“Zulfa teriak-teriak di jalan. Budhe, aku belum nikah!”
Budhe menimpali, menambah bumbu di sana-sini, tertawa riuh. Disambut tawa
Pakdhe, dan cengiran khas Mas Agung yang keluar dari dapur dengan tangan penuh
sekotak es krim pisang dan susu putih kental manis, mangkuk kecil dan sendok,
juga apel yang sudah dikupas dan diiris-iris kecil.
Aku mendesis.
“Tapi, dapet kan, kainnya?”
“Ya dapet, sih. Tapi terpaksa.”
“Kok? Hahaha.”
Lagi, aku lalu mengeluhkan cappuccino cincau yang penuh
pemanis itu. Sebuah cerita pun kembali terulang.
“Taruh aja, situ. Entar pasti habis. Daripada mubadzir.” Meski
dengan dahi berkernyit, aku menuruti perkataan Mas Agung.
“Iya, Mas Agung kan,
suka yang manis-manis,” celetuk Budhe dari dapur.
☼☼
Pemanis buatan? Perlukah?
Setiap ikatan, dan hubungan. Pemanis
memang hal yang sangat dibutuhkan. Tapi buatan?
Dulu,
aku sering memasukkannya dalam proses belajarku berinteraksi. Beberapa saudara,
merasa asing denganku. Aku hanya terus di dalam rumah, membaca buku, atau
menambah minus di mataku dengan berkutat lama di depan layar laptop. Hanya jika
dipanggil lah, aku keluar. Sekadar menampakkan muka, tanpa berbuat apa-apa.
Dalam kerja tim, aku juga lebih memilih mengerjakan semuanya sendiri, tanpa bantuan. Aku akan lebih puas, meski teman-teman juga tidak keberatan—dan malah senang—lalu sama halnya dengan diriku, memuji hasil karyaku, ummi mengingatkan. Jangan seperti itu. Itu namanya, sombong.
Dalam kerja tim, aku juga lebih memilih mengerjakan semuanya sendiri, tanpa bantuan. Aku akan lebih puas, meski teman-teman juga tidak keberatan—dan malah senang—lalu sama halnya dengan diriku, memuji hasil karyaku, ummi mengingatkan. Jangan seperti itu. Itu namanya, sombong.
Aku
tidak suka diganggu. Termasuk oleh pertanyaan-pertanyaan sepele, yang
sebenarnya adalah bentuk kepedulian dan perhatian orang lain kepadaku. Dulu,
menurutku, itu mengganggu sekali! Untuk itu, karena aku tidak suka dengan hal
semacam itu, aku memperlakukan orang lain sebagaimana aku ingin diperlakukan. Aku
jarang menegur sekitar. Bahkan untuk menanyakan kabar. Dan hal-hal kecil
lainnya. Ternyata… apa yang aku lakukan adalah salah.
Dulu,
aku kesulitan tiap kali bertemu dengan orang baru. Apa yang harus aku lakukan? Berinteraksi
dengan orang banyak memang melelahkan. Dengan setiap pribadi yang berbeda, aku
lebih suka membaca dan mengamati mereka dari kejauhan, daripada menyapa. Aku lebih
nyaman, dengan mereka yang berkepribadian serupa. Yang mempunyai kegemaran
sama. Lalu mengacuhkan yang lainnya. Tapi, lagi-lagi, ummi menyadarkan. Bukan seperti
itu.
Bukan
seperti itu, beberapa suara dari orang-orang terdekat, mulai berdatangan.
Aku lalu memutuskan untuk mengubah
cara pandangku terhadap interaksi sosial. Dari yang semula tak peduli, perlahan
aku membuka diri. Menegur orang di sebelahku, berbincang. Bergabung dengan
komunitas—yang membuatku lebih banyak bertemu orang-orang. Mengurangi intensitas
kegiatanku yang tidak mempertemukanku dengan dunia luar. Berkumpul dalam
lingkaran…
Ternyata, mereka lebih bisa menerima
pribadiku yang sekarang. Meski aku masih saja tidak pandai menjaga hati-hati
mereka. Dan dengan jujur, mengatakan tidak suka, langsung kepada yang
bersangkutan, jika sikap mereka membuatku jengah, dan gerah. Tanpa berpikir
jika kelak akan ada hati yang terkoyak. Untuk sifat yang ini, aku sudah lebih
berhati-hati.
Pemanis buatan? Meski awalnya, aku
sengaja mencipta basa-basi, sekarang, aku lebih prefer menunjukkan diriku yang
sebenarnya. Tanpa menggunakan pemanis buatan. Tanpa ada yang ditutupi. Dan syukurku
melangit, ketika dipertemukan dengan orang-orang yang menerimaku, secacat
apapun, lakuku.
Aku tak ubahnya hanya wanita dengan
hati berlubang-lubang seperti spons. Meski merasa mampu melakukan segala hal
sendiri, sahabat-sahabat shalihatku mengingatkan, untuk selalu berbagi beban.
Mereka tulus, tanpa pemanis buatan. Mereka
menawarkan persahabatan yang suci. Yang alami. Tanpa tambahan di sana-sini. Tanpa
perlu dipoles dengan beragam warna-warni. Mereka mengingatkan, jika terlaku
khilaf. Mereka menguatkan, ketika pundak terlalu berat memikul segalanya
sendirian. Mereka menggenggam erat tangan, meluruskan, ketika arah jalanku
mulai berbelok. Mereka membantu meneguhkan pijakan, ketika aku tergelincir. Dan
tanpa pemanis buatan, mereka mengenalkanku pada candu yang baru…
Aku berlepas diri dari pemanis
buatan, dan belajar banyak dari mereka.
☼☼
Senja memudar, ketika tawa kami,
terhenti oleh syahdu adzan. Dan dering dari ponselku. Panggilan dari Ummi, yang
mengkhawatirkanku, karena belum pulang padahal malam sudah menjelang. Aku memang
tidak mengatakan padanya jika kami lebih dahulu pulang ke rumah Budhe. Mas Agung
dan Pakdhe sudah bersiap ke masjid. Aku ikut berbenah.
Cappuccino cincau itu masih berada
di atas meja. Permukaannya dipenuhi bulir-bulir embun yang menetes, membasahi
meja kayu panjang.
Kutekankan, aku tidak akan lagi
berurusan dengan pemanis buatan.
2 komentar
Ada bahayanya juga ya :)
ReplyDeleteFikri, terima kasih sudah komen, ya... :))
DeleteAku udah baca blog Fikri juga. Tapi aku selalu kesulitan buat komen... ga tau kenapa :(
Fikri terus baca-baca blogku dan komen yaa... :"))