Pemanis Buatan? Pentingkah?

By Zulfa Rahmatina - 9:24 AM

            Agenda pertama dari liburan kali ini, adalah berbelanja kain. Agenda random, sebenarnya. Bermula dari seloroh asalku ke budhe, yang mengajaknya jalan-jalan, melihat kain. Ternyata, selain buku, ada hal lain yang bisa menggorok habis urat-urat dompetku. Yahh, tapi, bukankah, ilmu dan syurga, tidak pernah murah?
            Seperti biasa, aku bingung jika dihadapkan banyak pilihan. Meski, dari rumah, aku sudah mempunyai tujuan. Kain Delta, warna hitam, panjang dua meter. Dan… pinpon! Butik-butik itu kompak berkata, habis. Tidak ada.
            Aku lalu ditawarkan bahan abaya Arab, Dobby, Sutera Cina, Siffon, atau… lagi-lagi Wolfis. Hingga pada toko yang ketiga, dan karena dahaga menyergap, aku menyerah. Kami kembali ke toko pertama dengan membawa pulang dua meter kain hitam berbahan Wolfis.
            “Cappucino cincau, ya, Budhe?” ujarku, sebelum masuk ke ATM, saat ditanya aku akan meminum apa untuk membasuh haus.
            Budhe mengangguk, mengiyakan. Dan memberiku selembar uang sepuluh ribuan, lalu menunggu tak jauh dari pasar, bersama motornya.
            Aku berjalan ke arah sayap kanan pasar Weleri, tempat penjual cappuccino cincau itu, berkumpul. Peminat cappuccino cincau, sore itu, lumayan banyak. Aku harus mengantri terlalu lama karena di sudut yang berbeda, penjual cappuccino yang lain sedang berbenah. Tanda dagangannya laris, habis.
            Yang sedikit mengejutkanku, adalah harga yang ditawarkan. Seingatku, sebelum kepergianku ke Jakarta, usai libur lebaran kemarin, harga cappuccino cincau masih standar dengan cappuccino cincau-cappucino cincau di tempat lain. Lima ribu rupiah. Tapi kali itu, di sudut mana pun cappuccino cincau itu dijual, harga yang diberikan sama: Empat ribu rupiah.
            Aku tidak tahu bagaimana sistem cappuccino cincau ini. Tapi jika waralaba, bukankah tidak boleh seenaknya mengganti hal yang sudah diputuskan? Aku dengan antusias, lalu menerima kembalian selembar uang dua ribu rupiah, dan bergegas menuju tempat Budheku menunggu.
☼☼
            Aku memejamkan mata dan menjulur-julurkan lidah. Berniat meludahkan air yang membasahi pangkal lidahku, hingga memenuhi lambung. Manis sekali!
                   “Manis sekali!” aku mengeluh.
           Budheku masih dengan santai, menyeruput cappuccino cincau-nya. “Pemanis buatan. Menekan harga, memang.” Agaknya, dahaga telah sangat dahsyat merasukinya. Aku pun sama. Tapi tidak sepertinya, aku tidak meneruskan meminum cappuccino cincau, yang tidak lebih baik dari cappuccino buatan ibu kosku di Jakarta.
            Rasa dari pemanis buatan tadi, menyulut denyut di kepalaku dengan cepat. Sama ketika aku meminum es teh dari penjual di sekitar Istiqlal, yang membuat kepalaku sangat pusing karena pemanis yang digunakan.
☼☼
            “Tadi motor kita macet di tengah rel! Demi apa!!!” aku bercerita histeris pada Pakdhe yang biasa menanggapi perkataanku dengan gurauan.
            “Zulfa teriak-teriak di jalan. Budhe, aku belum nikah!” Budhe menimpali, menambah bumbu di sana-sini, tertawa riuh. Disambut tawa Pakdhe, dan cengiran khas Mas Agung yang keluar dari dapur dengan tangan penuh sekotak es krim pisang dan susu putih kental manis, mangkuk kecil dan sendok, juga apel yang sudah dikupas dan diiris-iris kecil.
            Aku mendesis.
            “Tapi, dapet kan, kainnya?”
            “Ya dapet, sih. Tapi terpaksa.”
            “Kok? Hahaha.”
          Lagi, aku lalu mengeluhkan cappuccino cincau yang penuh pemanis itu. Sebuah cerita pun kembali terulang.
          “Taruh aja, situ. Entar pasti habis. Daripada mubadzir.” Meski dengan dahi berkernyit, aku menuruti perkataan Mas Agung.
            “Iya, Mas Agung kan, suka yang manis-manis,” celetuk Budhe dari dapur.
☼☼
            Pemanis buatan? Perlukah?
            Setiap ikatan, dan hubungan. Pemanis memang hal yang sangat dibutuhkan. Tapi buatan?
       Dulu, aku sering memasukkannya dalam proses belajarku berinteraksi. Beberapa saudara, merasa asing denganku. Aku hanya terus di dalam rumah, membaca buku, atau menambah minus di mataku dengan berkutat lama di depan layar laptop. Hanya jika dipanggil lah, aku keluar. Sekadar menampakkan muka, tanpa berbuat apa-apa.
     Dalam kerja tim, aku juga lebih memilih mengerjakan semuanya sendiri, tanpa bantuan. Aku akan lebih puas, meski teman-teman juga tidak keberatan—dan malah senang—lalu sama halnya dengan diriku, memuji hasil karyaku, ummi mengingatkan. Jangan seperti itu. Itu namanya, sombong.
        Aku tidak suka diganggu. Termasuk oleh pertanyaan-pertanyaan sepele, yang sebenarnya adalah bentuk kepedulian dan perhatian orang lain kepadaku. Dulu, menurutku, itu mengganggu sekali! Untuk itu, karena aku tidak suka dengan hal semacam itu, aku memperlakukan orang lain sebagaimana aku ingin diperlakukan. Aku jarang menegur sekitar. Bahkan untuk menanyakan kabar. Dan hal-hal kecil lainnya. Ternyata… apa yang aku lakukan adalah salah.
      Dulu, aku kesulitan tiap kali bertemu dengan orang baru. Apa yang harus aku lakukan? Berinteraksi dengan orang banyak memang melelahkan. Dengan setiap pribadi yang berbeda, aku lebih suka membaca dan mengamati mereka dari kejauhan, daripada menyapa. Aku lebih nyaman, dengan mereka yang berkepribadian serupa. Yang mempunyai kegemaran sama. Lalu mengacuhkan yang lainnya. Tapi, lagi-lagi, ummi menyadarkan. Bukan seperti itu.
            Bukan seperti itu, beberapa suara dari orang-orang terdekat, mulai berdatangan.
         Aku lalu memutuskan untuk mengubah cara pandangku terhadap interaksi sosial. Dari yang semula tak peduli, perlahan aku membuka diri. Menegur orang di sebelahku, berbincang. Bergabung dengan komunitas—yang membuatku lebih banyak bertemu orang-orang. Mengurangi intensitas kegiatanku yang tidak mempertemukanku dengan dunia luar. Berkumpul dalam lingkaran…
            Ternyata, mereka lebih bisa menerima pribadiku yang sekarang. Meski aku masih saja tidak pandai menjaga hati-hati mereka. Dan dengan jujur, mengatakan tidak suka, langsung kepada yang bersangkutan, jika sikap mereka membuatku jengah, dan gerah. Tanpa berpikir jika kelak akan ada hati yang terkoyak. Untuk sifat yang ini, aku sudah lebih berhati-hati.
            Pemanis buatan? Meski awalnya, aku sengaja mencipta basa-basi, sekarang, aku lebih prefer menunjukkan diriku yang sebenarnya. Tanpa menggunakan pemanis buatan. Tanpa ada yang ditutupi. Dan syukurku melangit, ketika dipertemukan dengan orang-orang yang menerimaku, secacat apapun, lakuku.
            Aku tak ubahnya hanya wanita dengan hati berlubang-lubang seperti spons. Meski merasa mampu melakukan segala hal sendiri, sahabat-sahabat shalihatku mengingatkan, untuk selalu berbagi beban.  
            Mereka tulus, tanpa pemanis buatan. Mereka menawarkan persahabatan yang suci. Yang alami. Tanpa tambahan di sana-sini. Tanpa perlu dipoles dengan beragam warna-warni. Mereka mengingatkan, jika terlaku khilaf. Mereka menguatkan, ketika pundak terlalu berat memikul segalanya sendirian. Mereka menggenggam erat tangan, meluruskan, ketika arah jalanku mulai berbelok. Mereka membantu meneguhkan pijakan, ketika aku tergelincir. Dan tanpa pemanis buatan, mereka mengenalkanku pada candu yang baru…
                Aku berlepas diri dari pemanis buatan, dan belajar banyak dari mereka.
☼☼
            Senja memudar, ketika tawa kami, terhenti oleh syahdu adzan. Dan dering dari ponselku. Panggilan dari Ummi, yang mengkhawatirkanku, karena belum pulang padahal malam sudah menjelang. Aku memang tidak mengatakan padanya jika kami lebih dahulu pulang ke rumah Budhe. Mas Agung dan Pakdhe sudah bersiap ke masjid. Aku ikut berbenah.
            Cappuccino cincau itu masih berada di atas meja. Permukaannya dipenuhi bulir-bulir embun yang menetes, membasahi meja kayu panjang.

            Kutekankan, aku tidak akan lagi berurusan dengan pemanis buatan

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar

  1. Replies
    1. Fikri, terima kasih sudah komen, ya... :))
      Aku udah baca blog Fikri juga. Tapi aku selalu kesulitan buat komen... ga tau kenapa :(
      Fikri terus baca-baca blogku dan komen yaa... :"))

      Delete