Yo, hisashiburi, assalamualaikum, Kendal… setelah
berbulan-bulan tidak menginjakkan kaki di tanahmu, dini hari tadi, kira-kira
jam 2 pagi, berpayung pekat langit akhirnya aku kembali menapakkan kaki di
tanahmu dengan ngantuk berat! Hehe.
Perjalanan kemarin benar-benar
berbeda. Seperti, ada banyak yang masih tertinggal di Jakarta, yang membuatku
enggan pergi, dan memilih menetap di sana, lama-lama… ah, tapi… sudahlah…
Di kereta, mataku bengkak. Pesan whatsapp
dari teman-teman, juga foto-foto acara haflah siang kemarin, penyebabnya. Doa yang
dikirim teman-teman, lagu dari Edcoustic, Sebiru Hari Ini, yang dipakai Aisyah
dalam video maker-nya juga terngiang-ngiang dan semakin membuat hatiku basah.
“Zulfaaa, jangan lupa baca doa,
banyak dzikir. Hati-hati…”
“Ma’akissalamaah wattaufiq… astaudi’ullah
aladzi la tadzii’u wa da’iuh yaa Zulfa,”
“Jangan sampai ketiduran! Sini chattingan
aja,”
“Sholat udah? Bawa bekal nggak? Duduk
dekat siapa? Nyaman?”
Dan… banyak lagi pesan-pesan yang
lain.
Juga, A’yun yang berulang kali
menelpon, sekedar menemaniku yang jenuh menunggu kereta datang. Pasalnya,
keretaku berangkat jam 19.45, sementara aku sudah sampai di Stasiun Pasar Senen
dari sebelum jam 4 sore! Bukan apa-apa, selain mendung, bersama dengan teman di
perjalanan menuju stasiun sepertinya hal yang menyenangkan. Ya, temanku juga
akan pulang, ke Pekalongan. Tetapi, jadwal keberangkatannya adalah jam 4 sore.
Setelah dia pergi, tentu saja aku
sendiri. Aku lalu menyapa mbak-mbak berjilbab paris di sebelahku yang ternyata
orang Kediri. Ia seorang perawat di klinik, yang memutuskan untuk pulang
selamanya dan tidak akan pernah kembali lagi ke Jakarta.
“Aku nggak kuat,” kata dia. “sama
pergaulan di sini.”
Dan dia pun mulai bercerita banyak. Tentang
dirinya, yang dulu juga bersekolah di Madrasah Aliyah, tentang bosnya yang
memberi pesangon padahal gaji baru saja turun, juga statusnya, yang ternyata adalah mualaf. Maa syaa
Allah.
Di
sela perbincangan kami, seorang lelaki berpenampilan—maaf—kampungan,
mengusikku. Ia adalah orang yang melempar senyum kepadaku dan temanku tadi,
setelah kita baru saja sampai di stasiun. Kali itu, ia duduk di depanku dan
depan mbak-mbak tadi, lalu mulai bertingkah sok kenal. Tentu saja aku jengah! Kukatakan
kepada mbak di sebelahku jika orang itu terlihat mencurigakan. Mendengarnya, ia
segera membenahi barangnya, membantuku menyeret koper dan mengajakku pindah di
ruang tunggu.
Saat
kami bergegas, kudengar lelaki itu berteriak dengan Bahasa Jawa, meminta kami
untuk tetap duduk dan tidak pergi.
Selang
sepuluh menit, di pintu ruang tunggu, kepala lelaki itu menyembul. Ia masuk dan
duduk dua-tiga bangku di belakang kami. Yang jelas, aku tidak sudi menoleh dan
mbak Kediri lah informannya. Berulang aku beristighfar dan benar-benar hampir
menangis. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan beberapa jam ke depan ketika
jadwal keberangkatan kereta ke Kediri—yang tentunya akan memisahkanku dengan
mbak-mbak tadi—mulai dekat.
Akhirnya,
sebelum berangkat, mbak Kediri meminta pin BB-ku. Lagi, dia menyeret koperku
dan mengajakku pindah ke tempat yang lebih ramai. Beribu doa kulangitkan ketika
akhirnya, aku mendapat tempat duduk, di depan bapak-bapak yang sejak dari tadi,
asyik dengan mushafnya. Setidaknya, aku berada di kursi paling depan di mana
ada orang yang ingin berbuat macam-macam, pasti akan ada banyak orang yang
melihatnya.
Mbak
baik hati itu kemudian pamit dan mengatakan untuk selalu menghubunginya jika
ada apa-apa. Aku melepasnya dengan haru. Setelah itulah, telepon berulang dari
A’yun, mulai menemani senjaku.
Juga pesan whatsapp yang telah menumpuk ketika
paket data kembali kunyalakan.
♥
Tidak ada satu pun orang yang
kukenal ketika aku turun dari kereta. Sosok abi pun bahkan tidak kujumpai. Aku tidak
kesal, hanya saja… aku ingin sekali pergi ke toilet. Di perjalanan tadi, untuk
meredakan isak, aku minum terlalu banyak.
Di tengah penantian, abi datang
dengan senyum. Ternyata beliau sudah menunggu daritadi. Dan juga baru keluar dari toilet. Seperti biasa setelah aku mencium punggung tangannya, ia
mengecup pipi kanan-kiriku. Ritual yang sungguh, selalu kutunggu. Abi bergegas
membawa koperku dan kami keluar stasiun.
Dengan mata dan kepala yang semakin
berat, aku mencari-cari mobil abi. Ah ya, tadi ummi menelpon, mobil di rumah
sedang rewel dan kemungkinan abi memakai motor untuk menjemputku. Tapi motor
abi? Aku celingukan. Hanya ada beberapa motor, dan mobil Katana yang dipenuhi
stiker.
Eh? Katana… yang dipenuhi stiker? Aku
berdecak kecil. Ini pasti…
“Nunggu Dek Zaki bentar. Lagi cari
minum,”
Apa kubilang. Abi meminta adik
sepupuku, yang usianya terpaut beberapa tahun di atasku, untuk menemaninya
menjemput. Aku meringis melihat Katana yang lebih penuh dengan stiker—sejak dari terakhir
kali aku melihatnya—yang berulang kali dimodif dan diajak bermain lumpur
bersama pemiliknya.
Kupastikan, ngantukku akan segera
hilang ketika aku menaikinya. Dulu, waktu aku masih satu kampus dengan adikku
ini, dan ketika aku diboncengnya, jantungku selalu hampir copot dan dia hanya
tertawa-tawa ketika aku memarahinya dan memintanya untuk memelankan laju motor.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perjalanan pagi buta ini bersamanya
ketika dari keremangan, sepupuku yang berbalut jaket, kulihat berjalan ke arah kami sambil tersenyum
lebar.
“Mabuk nggak, Mbak?” dia mengangkat
koperku dan membuka pintu belakang mobil.
Kujawab dengan enggan. “Sorry ya,
nggak pernah.”
Dan tawa kecilnya pun mulai berderai.
♥
Aku menutup mataku dan menggigit
bibir bawahku kuat-kuat ketika laju mobil mulai oleng. Jalan raya sudah ramai
oleh truk-truk pengangkut sayur dari gunung, yang akan mengantarkan hasil
buminya ke pasar terbesar di daerah kami.
“Baru-baru ini, Pakdhe. Kalau nggak
biasa ya kaget,” seloroh sepupuku, saat Abi menanyainya tentang keadaan mobil—yang
kutaksir pasti kondisinya mengkhawatirkan. Didengar dari penyebutan bagian-bagian
mobil yang tidak kupahami—yang bergerak tidak sesuai dengan kemudi yang
dijalankan adikku.
Entah kenapa, saat abi menawariku duduk di depan, aku
langsung mengiyakan. Aku sedikit menyesal karena jantungku berdegub lebih kencang saat adikku mulai menyalip satu per satu mobil. Saat itu, kantukku benar-benar hilang. Dan aku tidak tidur
hingga sebelum subuh.
♥
Aroma pagi yang benar-benar berbeda.
Berulang kali aku bangun, berbincang sejenak dengan amah yang akan berangkat
kerja, menyapa khodimah-khodimah yang menjaga sepupu-sepupu kecilku, bercanda
dengan Bilal yang sekarang tampak kurus dan sangat cerewet, lalu tidur lagi…
dan dengan mata yang berat aku melangkahkan kaki dan berdiri menghampiri sosok
yang memanggil namaku.
“Zulfa…? Itu Zulfa, bukan?”
“Hmm…”
Sosok itu mengangsurkan plastik
hitam ke arahku, dan kakiku otomatis menyeretku hingga depan kulkas. Aku memasukkan
bungkusan itu.
“Emang nggak denger salam tadi?”
“Enggak.”
Aku kembali merebahkan tubuhku di
kasur. Dan saat tubuhku jatuh, tiba-tiba saja aku tersadar!
Kyaaa!!! Demi apa!!? Sosok tadi
adalah Mas Agung. Kami berpisah sejak aku SMP karena dia melanjutkan sekolah ke
Yaman setelah menyelesaikan pendidikannya di Ngruki. Bertahun-tahun… dan aku
tidak pernah melihat bagaimana wajahnya dewasa ini.
Kucium jemari tanganku. Sedikit bau
amis. Aku berdecak. Itu pasti lele. Kemarin, di facebook, aku bercanda dengan
pakdheku dan mengatakan ingin juga mendapat jatah lele yang beberapa bulan ini
mulai dipeliharanya. Dan pakdhe tidak pernah menganggap kata-kata itu sebagai
candaan. Ia mengutus Mas Agung untuk mengantarkannya.
Aku mengerang pelan. Kuingat-ingat
kembali bagaimana sosok Mas Agung tadi. Tapi aku sama sekali tak menangkap
bayangannya di otakku dengan jelas. Puhh…
kondisi bangun tidurku memang tidak pernah bisa diharapkan!
Yosha. Hisashiburi, Kendal… mari
kembali bersama-sama merajut mimpi.
6 komentar
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteHoridee, zulfa chan..
ReplyDeleteHave an awesome holiday :D
and I waiting your next story ;)
Hey hey... glad to find your comment in my post! :*
ReplyDeleteGitu dong... jangan jadi silent reader terus... :D
Kalau ngefans bilang aja. XD
Butuh meet up... baru pisah berapa hari udah kangen berat.. hiks, hiks. 😭😭😭
اني احبك فى الله...
Hhehee.. kalo mau comment suka gagal terus :(
DeleteKan aku pernah bilang, comment lewat hp suka trouble..
Entah kenapa, baru kali ini commentku berhasil :')
Alhamdulillah 'alaa kulli ni'matihi..
Ahabbakilladzii ahbabtinii lahu :*
Ayuuunnn... kamu fast respond banget! Wow! What an amazing Oppo! XD
ReplyDeleteMaa syaa Allah <3 :*
Gimana jadinya? Pulang kapan? Masih pengen ke lawang sewu? :D
Hahaha.. pulang siang nanti in sya Allah
DeleteJadi laah.. Tapi nunggu taqiyya balik ke semarang dulu :D