Hisashiburi, Kendal!

By Zulfa Rahmatina - 7:26 PM


            Yo, hisashiburi, assalamualaikum, Kendal… setelah berbulan-bulan tidak menginjakkan kaki di tanahmu, dini hari tadi, kira-kira jam 2 pagi, berpayung pekat langit akhirnya aku kembali menapakkan kaki di tanahmu dengan ngantuk berat! Hehe.
            Perjalanan kemarin benar-benar berbeda. Seperti, ada banyak yang masih tertinggal di Jakarta, yang membuatku enggan pergi, dan memilih menetap di sana, lama-lama… ah, tapi… sudahlah…
            Di kereta, mataku bengkak. Pesan whatsapp dari teman-teman, juga foto-foto acara haflah siang kemarin, penyebabnya. Doa yang dikirim teman-teman, lagu dari Edcoustic, Sebiru Hari Ini, yang dipakai Aisyah dalam video maker-nya juga terngiang-ngiang dan semakin membuat hatiku basah.
            “Zulfaaa, jangan lupa baca doa, banyak dzikir. Hati-hati…”
            “Ma’akissalamaah wattaufiq… astaudi’ullah aladzi la tadzii’u wa da’iuh yaa Zulfa,”
            “Jangan sampai ketiduran! Sini chattingan aja,”
            “Sholat udah? Bawa bekal nggak? Duduk dekat siapa? Nyaman?”
            Dan… banyak lagi pesan-pesan yang lain.
            Juga, A’yun yang berulang kali menelpon, sekedar menemaniku yang jenuh menunggu kereta datang. Pasalnya, keretaku berangkat jam 19.45, sementara aku sudah sampai di Stasiun Pasar Senen dari sebelum jam 4 sore! Bukan apa-apa, selain mendung, bersama dengan teman di perjalanan menuju stasiun sepertinya hal yang menyenangkan. Ya, temanku juga akan pulang, ke Pekalongan. Tetapi, jadwal keberangkatannya adalah jam 4 sore.
            Setelah dia pergi, tentu saja aku sendiri. Aku lalu menyapa mbak-mbak berjilbab paris di sebelahku yang ternyata orang Kediri. Ia seorang perawat di klinik, yang memutuskan untuk pulang selamanya dan tidak akan pernah kembali lagi ke Jakarta.
            “Aku nggak kuat,” kata dia. “sama pergaulan di sini.”
            Dan dia pun mulai bercerita banyak. Tentang dirinya, yang dulu juga bersekolah di Madrasah Aliyah, tentang bosnya yang memberi pesangon padahal gaji baru saja turun, juga  statusnya, yang ternyata adalah mualaf. Maa syaa Allah.
Di sela perbincangan kami, seorang lelaki berpenampilan—maaf—kampungan, mengusikku. Ia adalah orang yang melempar senyum kepadaku dan temanku tadi, setelah kita baru saja sampai di stasiun. Kali itu, ia duduk di depanku dan depan mbak-mbak tadi, lalu mulai bertingkah sok kenal. Tentu saja aku jengah! Kukatakan kepada mbak di sebelahku jika orang itu terlihat mencurigakan. Mendengarnya, ia segera membenahi barangnya, membantuku menyeret koper dan mengajakku pindah di ruang tunggu.
Saat kami bergegas, kudengar lelaki itu berteriak dengan Bahasa Jawa, meminta kami untuk tetap duduk dan tidak pergi.
Selang sepuluh menit, di pintu ruang tunggu, kepala lelaki itu menyembul. Ia masuk dan duduk dua-tiga bangku di belakang kami. Yang jelas, aku tidak sudi menoleh dan mbak Kediri lah informannya. Berulang aku beristighfar dan benar-benar hampir menangis. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan beberapa jam ke depan ketika jadwal keberangkatan kereta ke Kediri—yang tentunya akan memisahkanku dengan mbak-mbak tadi—mulai dekat.
Akhirnya, sebelum berangkat, mbak Kediri meminta pin BB-ku. Lagi, dia menyeret koperku dan mengajakku pindah ke tempat yang lebih ramai. Beribu doa kulangitkan ketika akhirnya, aku mendapat tempat duduk, di depan bapak-bapak yang sejak dari tadi, asyik dengan mushafnya. Setidaknya, aku berada di kursi paling depan di mana ada orang yang ingin berbuat macam-macam, pasti akan ada banyak orang yang melihatnya.
Mbak baik hati itu kemudian pamit dan mengatakan untuk selalu menghubunginya jika ada apa-apa. Aku melepasnya dengan haru. Setelah itulah, telepon berulang dari A’yun, mulai menemani senjaku.
 Juga pesan whatsapp yang telah menumpuk ketika paket data kembali kunyalakan.
            Tidak ada satu pun orang yang kukenal ketika aku turun dari kereta. Sosok abi pun bahkan tidak kujumpai. Aku tidak kesal, hanya saja… aku ingin sekali pergi ke toilet. Di perjalanan tadi, untuk meredakan isak, aku minum terlalu banyak.
            Di tengah penantian, abi datang dengan senyum. Ternyata beliau sudah menunggu daritadi. Dan juga baru keluar dari toilet. Seperti biasa setelah aku mencium punggung tangannya, ia mengecup pipi kanan-kiriku. Ritual yang sungguh, selalu kutunggu. Abi bergegas membawa koperku dan kami keluar stasiun.
            Dengan mata dan kepala yang semakin berat, aku mencari-cari mobil abi. Ah ya, tadi ummi menelpon, mobil di rumah sedang rewel dan kemungkinan abi memakai motor untuk menjemputku. Tapi motor abi? Aku celingukan. Hanya ada beberapa motor, dan mobil Katana yang dipenuhi stiker.
            Eh? Katana… yang dipenuhi stiker? Aku berdecak kecil. Ini pasti…
            “Nunggu Dek Zaki bentar. Lagi cari minum,”
         Apa kubilang. Abi meminta adik sepupuku, yang usianya terpaut beberapa tahun di atasku, untuk menemaninya menjemput. Aku meringis melihat Katana yang lebih penuh dengan stiker—sejak dari terakhir kali aku melihatnya—yang berulang kali dimodif dan diajak bermain lumpur bersama pemiliknya.
            Kupastikan, ngantukku akan segera hilang ketika aku menaikinya. Dulu, waktu aku masih satu kampus dengan adikku ini, dan ketika aku diboncengnya, jantungku selalu hampir copot dan dia hanya tertawa-tawa ketika aku memarahinya dan memintanya untuk memelankan laju motor. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perjalanan pagi buta ini bersamanya ketika dari keremangan, sepupuku yang berbalut jaket, kulihat berjalan ke arah kami sambil tersenyum lebar.
            “Mabuk nggak, Mbak?” dia mengangkat koperku dan membuka pintu belakang mobil.
            Kujawab dengan enggan. “Sorry ya, nggak pernah.”
            Dan tawa kecilnya pun mulai berderai.
            Aku menutup mataku dan menggigit bibir bawahku kuat-kuat ketika laju mobil mulai oleng. Jalan raya sudah ramai oleh truk-truk pengangkut sayur dari gunung, yang akan mengantarkan hasil buminya ke pasar terbesar di daerah kami.
            “Baru-baru ini, Pakdhe. Kalau nggak biasa ya kaget,” seloroh sepupuku, saat Abi menanyainya tentang keadaan mobil—yang kutaksir pasti kondisinya mengkhawatirkan. Didengar dari penyebutan bagian-bagian mobil yang tidak kupahami—yang bergerak tidak sesuai dengan kemudi yang dijalankan adikku.
            Entah kenapa, saat abi menawariku duduk di depan, aku langsung mengiyakan. Aku sedikit menyesal karena jantungku berdegub lebih kencang saat adikku mulai menyalip satu per satu mobil. Saat itu, kantukku benar-benar hilang. Dan aku tidak tidur hingga sebelum subuh.
            Aroma pagi yang benar-benar berbeda. Berulang kali aku bangun, berbincang sejenak dengan amah yang akan berangkat kerja, menyapa khodimah-khodimah yang menjaga sepupu-sepupu kecilku, bercanda dengan Bilal yang sekarang tampak kurus dan sangat cerewet, lalu tidur lagi… dan dengan mata yang berat aku melangkahkan kaki dan berdiri menghampiri sosok yang memanggil namaku.
            “Zulfa…? Itu Zulfa, bukan?”
            “Hmm…”
          Sosok itu mengangsurkan plastik hitam ke arahku, dan kakiku otomatis menyeretku hingga depan kulkas. Aku memasukkan bungkusan itu.
            “Emang nggak denger salam tadi?”
            “Enggak.”
           Aku kembali merebahkan tubuhku di kasur. Dan saat tubuhku jatuh, tiba-tiba saja aku tersadar!
           Kyaaa!!! Demi apa!!? Sosok tadi adalah Mas Agung. Kami berpisah sejak aku SMP karena dia melanjutkan sekolah ke Yaman setelah menyelesaikan pendidikannya di Ngruki. Bertahun-tahun… dan aku tidak pernah melihat bagaimana wajahnya dewasa ini.
          Kucium jemari tanganku. Sedikit bau amis. Aku berdecak. Itu pasti lele. Kemarin, di facebook, aku bercanda dengan pakdheku dan mengatakan ingin juga mendapat jatah lele yang beberapa bulan ini mulai dipeliharanya. Dan pakdhe tidak pernah menganggap kata-kata itu sebagai candaan. Ia mengutus Mas Agung untuk mengantarkannya.
            Aku mengerang pelan. Kuingat-ingat kembali bagaimana sosok Mas Agung tadi. Tapi aku sama sekali tak menangkap bayangannya di otakku dengan jelas. Puhh… kondisi bangun tidurku memang tidak pernah bisa diharapkan!
            Yosha. Hisashiburi, Kendal… mari kembali bersama-sama merajut mimpi.




  • Share:

You Might Also Like

6 komentar

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Horidee, zulfa chan..
    Have an awesome holiday :D
    and I waiting your next story ;)

    ReplyDelete
  3. Hey hey... glad to find your comment in my post! :*
    Gitu dong... jangan jadi silent reader terus... :D
    Kalau ngefans bilang aja. XD


    Butuh meet up... baru pisah berapa hari udah kangen berat.. hiks, hiks. 😭😭😭

    اني احبك فى الله...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hhehee.. kalo mau comment suka gagal terus :(
      Kan aku pernah bilang, comment lewat hp suka trouble..
      Entah kenapa, baru kali ini commentku berhasil :')
      Alhamdulillah 'alaa kulli ni'matihi..
      Ahabbakilladzii ahbabtinii lahu :*

      Delete
  4. Ayuuunnn... kamu fast respond banget! Wow! What an amazing Oppo! XD

    Maa syaa Allah <3 :*

    Gimana jadinya? Pulang kapan? Masih pengen ke lawang sewu? :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha.. pulang siang nanti in sya Allah
      Jadi laah.. Tapi nunggu taqiyya balik ke semarang dulu :D

      Delete