Perjalanan

By Zulfa Rahmatina - 7:47 AM

Lupakan urusan KRS. Lupakan tentang integritas yang ditanyakan oleh orang-orang yang integritasnya patut dipertanyakan. Lupakan ikhtiar sekelompok kecil kami untuk mendapatkan hak. Lupakan soal rencana yang kami ambil diam-diam. Lupakan mereka yang hanya bisa diam dan menyalahkan. Lupakan.

Pagi ini, setelah rencana kami berkali-kali batal, umi mengajakku mengunjungi temannya di desa tetangga. Tepat lepas subuh. Padahal aku sudah menyurukkan tubuh di balik selimut, berniat kembali memejamkan mata di hawa yang sangat gigil. 

Aku tidak keberatan. Hanya saja, hawa yang dingin membuatku masih ingin berada di kamar temaram, berlama-lama dengan selimut yang lembut. Tetapi mengingat aku tidak akan lama lagi di rumah dan mendengar cerita umi tentang siapa yang akan dikunjunginya, tubuhku refleks berganti gamis, memakai kaoskaki, tidak lupa kacamata yang harus kupakai karena aku akan berkendara. 

Ia, bukan orang besar. Bukan beberapa teman ummahat umi yang kukenal, yang biasa mengisi halaqah-halaqah. Bukan juga teman ummahat yang biasa menggodaku dengan pertanyaan, "Kapan?"
Singkatnya, aku tidak mengenal orang ini. 

"Teman SD," kata umi. Ia adalah seorang janda dengan tiga anak yang masih kecil, dan ditinggal suaminya di musim hujan ini. Meninggal, tersambar petir. Aku sampai ricuh bertanya banyak hal mengenai informasi ini pada umi. Kok bisa? Sedang apa? Bapaknya kerja apa? Ibunya? Anaknya umur berapa? 

"Kalau kita mengingat orang-orang lemah di antara kita, Allah juga akan mengingat kita, kan?" Perkataan umi yang kudengar dari balik selimut itulah yang mengantarkanku keluar rumah. Melewati persawahan luas dengan gunung-gunung yang belum berteman dengan semburat matahari. Membuat tubuhku semakin kaku karena udara dingin kencang di sekitar motor dan di sela dedaunan cemara.

Alas tipis itu diletakkan begitu saja di atas tanah sebagai tempat tidur. Ada pria bersarung yang masih tertelungkup. Sisi kiri rumah itu tidak berdinding. Orang-orang yang semakin asing bagiku berlalu-lalang melewati kami. 

"Apa mereka saudaramu?" Umi bertanya.
"Kami menggunakan sumur bersama-sama," jawaban itu sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.

Aku tertunduk. Mengingat kembali saat aku mengeluhkan kamarku yang sempit. Saat aku mengusulkan pada abi untuk memperluas jendela kamarku. Di rumah itu bahkan, aku tidak mendapati jendela. Hanya bagian yang tak berdinding. Ruang tamu mereka menyatu dengan ruang tengah. Ukurannya bahkan tidak ada separuhnya dari ruang tengah kami. Ada satu bilik yang menyuarakan tangis seorang balita saat murottal yang diputar di masjid terdekat berhenti. Aku semakin tertunduk. Sesekali melirik ibu paruh baya yang matanya memerah di samping umi. Suaranya seringkali tercekat. Berulang ia mengusap matanya dengan selendang. 

Aku menunduk semakin dalam. Apa yang selama ini sudah kulakukan? Tertekan dan marah. Merasa kecewa. Sedih berkepanjangan. Memang apa yang sedang menimpaku? Aku memang tidak akan pernah membiarkan hidupku mengalir seperti air. Karena barangkali, mereka yang membiarkan hidupnya mengalir seperti air tidak sadar bahwa air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. 

Aku selalu memperjuangkan sesuatu. Aku selalu mengusahakan apa yang ingin kuusahakan. Tapi apakah yang kulakukan ini adalah sesuatu yang benar? Di rumah kecil itu, semua egoku poranda. Semua cita menjadi seperti anai. Semua usaha yang kulakukan seperti sia-sia. Semua jalan yang sudah berhasil kulewati menjadi sesuatu yang semu. Aku lagi-lagi, masih menunduk. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar