Lalunya Waktu-waktu

By Zulfa Rahmatina - 8:19 AM

Menyibak lembar kalender, mataku terbelalak. Bilangan bulan bergulir mendekati capaian akhir. Secepat itu! Melihat berapa tulisanku selama tahun ini, aku semakin dibuat terkejut. Apa saja yang sudah kulakukan selama ini?

Sepertinya baru kemarin aku menaiki Kopaja, melewati Kebayoran, datang ke sebuah media nasional. Bertemu mereka. Bertemu dengannya. Tersenyum saat melihatnya berbinar saat menceritakan malam puisi yang digemarinya. Menggeleng kecil saat ia memintaku hadir suatu saat nanti, pada malam-malam puisi. “Tidak bisa, aku perempuan,” lirihku padanya.

Baru beberapa saat yang lalu juga, rasanya. Berdesak-desakan dengan para pekerja di suatu senja, tertidur dan melewati stasiun Tanah Abang, stasiun tujuan. Lalu mencari kereta listrik ke daerah Sudimara. Menekuri kitab-kitab berbahasa Arab, mengikuti dauroh, menghadiri halaqah-halaqah …

Dan tiba-tiba aku sudah tidak lagi menjalankan semua rutinitas tadi.
Tiba-tiba aku sampai di suatu tempat yang asing.
Tempat yang membuatku menjadi asing dengan diriku sendiri.

Apa yang akan kulakukan di sini? Aku hanya ingin belajar. Aku memutuskan tidak memiliki waktu khusus untuk membuat hal-hal remeh seperti menjalin pertemanan. Memperkenalkan diri, adaptasi… ah, itu sungguh-sungguh sesuatu yang membosankan, kau tahu? Berapa kali dalam hidup, aku harus melakukannya? Seperti tidak ada hal lain yang lebih menarik.

Membuat sebuah hubungan persahabatan. Kurasa sudah cukup. Aku memiliki mereka yang sabar mengingatkan ketika arah langkahku sudah mulai berbeda. Aku memiliki mereka yang tak alpa menanyakan kabar imanku. Aku juga sudah merasa puas mendengar kisah singkatnya. Kisah tentang malam puisi-puisinya. Aku juga … merasa cukup dengannya yang suatu kali mengulum senyum saat berpapasan di suatu senja.

Dan semuanya kini berbeda. Sungguh tidak sama. Aku memutuskan, tidak lagi membuang waktuku untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Menghabiskan hariku dengan meliput, menulis berita, menyusun makalah. Menyeduh kopi di malam buta. Membaca buku-buku psikologi. Mengunjungi perpustakaan. Betapa menyenangkan!

Dan betapa aku selalu dibuat terkejut. Ketika dalam perjalanan ini—meski aku tidak pernah memintanya—Allah lebih banyak mempertemukanku dengan orang-orang yang begitu baik. Dengan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama. Dengannya yang ketika namanya membasahi hatiku, cepat-cepat kurapal doa. Doa-doa kebaikan.

Dan waktu terus saja berlalu. Merangkum kisah-kisahku. Memutar skenario Allah. Membiarkanku menjalankan peran. Dan lagi-lagi, aku hanya bergantung pada doa-doa kebaikan. Pada syukur yang dalam atas segala pemberian.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar