“Jadi,
Zulfa, kamu sebenarnya penganut apa?”
Aku bertampang seperti orang bodoh
saat tanya itu terlontar dari mulut temanku. Ada geli yang tersembunyi karena
pilihan kata yang dipakai temanku, juga sedih dan miris di waktu yang sama. Aku
sudah tahu arah pembicaraan ini.
“Ada temanku, yang penasaran
denganmu.” Tanpa menunggu tanggapanku, temanku melanjutkan katanya. Ia juga
pernah menjelaskan, jika temannya itu sering membaca blog-ku. “Yah, jilbabmu
besar. Tapi kamu gabung dengan komunitas-komunitas yang ada… ikhwannya.”
Seketika, aku paham apa yang
dimaksudnya.
“Sebenarnya, aku juga penasaran…”
Aku mengangguk paham. Menimbang
sejenak. Selama ini, aku memang sering tidak peduli dengan apa yang dikatakan
orang. Tapi, saat tanya ini terlontar, aku jadi berpikir, apakah aku harus
benar-benar memihak salah satu? Kalau ingin jujur, sebenarnya aku tahu tidak
sedikit orang yang menyimpan pertanyaan ini untukku.
Maka, biarlah aku menjelaskannya.
C’mon.
Aku besar bersama lingkungan umum, dan tumbuh dengan empiris yang agamis. Orang
tua, saudara-saudara… masyarakat. Dengan penuh kemajemukan dan beragam
golongan, tentu.
Aku juga berteman dengan semua
orang. Teman-teman muslim, non muslim, bahkan aku mempunyai banyak teman
atheis. Tapi, biar kutekankan, aku bersahabat dengan orang-orang shalih. Hanya
orang-orang shalih…
Pernah aku mengeluhkan hal ini
kepada salah seorang sepupu. Seorang teman dengan firqoh A, kepadaku, dengan
terang-terangan menyudutkan firqoh B. Menyesalkan pola pikir yang dipahami
firqoh B. Mengeluhkan betapa mereka benar-benar konvensional, bahkan beberapa
ada yang mengatakan radikal.
Lain waktu, teman dari firqoh B,
mengatakan hal serupa tentang firqoh A, kepadaku. Dan aku selalu menjadi
pendengar yang baik. Mengatakan hal-hal yang perlu tanpa memihak salah satu
dari keduanya.
Sepupuku tertawa. Juga saat aku
mengatakan, aku berada di lingkungan orang-orang yang sangat fanatik sekali.
Seperti, tidak mau menghadiri kajian, jika pemateri bukanlah ustadz dengan
firqoh yang sama.
Menurutnya, teman-temanku berlaku
seperti itu kepadaku, karena aku tidak bersikap dan tidak berpihak. Ia juga
mengatakan kalau dirinya, sering berada di posisi yang sama denganku, dan ia
menikmatinya.
“Buat hiburan aja. Selama belum ke
arah hal-hal yang bikin males,”
Debat kusir. Yeah, I see. Itu hal
yang membosankan sekali!
Untuk kesekian kalinya, aku
berpikir. Benarkah seseorang itu harus memihak? Dan, apa pentingnya?
Aku menghormati pemahaman salah satu
kelompok tentang bagaimana pandangannya tentang pakaian seorang muslim, dan aku
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Aku sangat membutuhkan tarbiyah, dan
aku bergabung dan dididik dalam lingkaran-lingkaran. Aku mendukung aksi-aksi
yang memperjuangkan Islam. Aku mengamini penegakan syariat Islam. Aku melangitkan
do’a kepada para jundullah yang menghancurkan musuh-musuh Allah dan menjadikan
syahid sebagai cita-cita tertinggi dalam perjalanan.
Jadi, harus ke manakah aku berpihak?
Aku memihak semuanya? Tentu tidak. Di setiap kesatuan, di sebuah golongan, di
tiap pribadi-pribadi, tidak ada yang sempurna. Tidak ada… Dan itu adalah
keniscayaan yang tidak perlu lagi diperdebatkan.
Di
sebuah dauroh yang kuikuti, seorang teman berkata, jika ada yang mengira jika
aku ini adalah HTI. Meski, saat itu, aku tidak menyinggung sedikit pun soal
khilafah. Di tempat yang berbeda, ada yang menyebutku Jihadis. Ditilik dari
beberapa gelintir latar belakang saudaraku, yang memperjuangkan pemahaman itu,
juga tempat-tempat mereka menuntut ilmu. Lain waktu, ada yang mengatakan aku
Salafi. Ketika, aku banyak menghadiri kajian-kajian mereka. Memiliki banyak
teman dari kelompok tersebut. Juga, mengenakan jilbab besar. Tak sedikit yang
menyebutku PKS. Saat aku mengatakan, jika aku tidak bisa lepas dari tarbiyah.
Dan aku benar-benar membutuhkannya. Juga pada waktu aku mengidolakan
penulis-penulis dengan pemahaman mereka.
Ada
yang salah dengan sikapku? Jika iya, di kesempatan ini, perkenankanlah aku
meminta maaf kepada semua yang kecewa akan sikapku. Seorang muslim yang plin-plan,
dan tidak baik, mungkin?
Tapi…
memang beginilah aku. Aku adalah aku. Bukan kamu, atau mereka. Aku tidak
membatasi dengan siapapun aku bergaul, selama dalam ikatan itu, kami dapat
mendatangkan manfaat. Soal pertemananku dengan orang atheis, dan non muslim,
lebih sering kami bertukar ilmu dan informasi. Beberapa teman Jepang-ku bahkan
dengan sangat giat belajar Bahasa Indonesia dan Arab, dan mencoba
bercakap-cakap bersamaku dengannya. Aku juga sering mencatat kalimat-kalimat
mereka, yang suatu saat akan berguna untuk draft tulisanku.
Tak
jarang, aku meminta mereka bercerita, tentang negara mereka, tentang budayanya,
tentang bagaimana pandangan mereka terhadap orang Islam…. Bagaimana kehidupan
muslim di negara mereka, dan sebagainya… seringkali, kadang aku merasa,
penghormatan mereka terhadapku sebagai orang muslim, bahkan lebih baik daripada
teman-teman muslimku sendiri. Yang tak jarang menaruh curiga dan prasangka
terhadap sesama.
Soal
keikutsertaanku dengan komunitas-komunitas yang terdapat lawan jenis di
dalamnya, hmm… kurasa, keikutsertaanku dengan beberapa komunitas itu hanya
berkenaan dengan dunia literasiku. Aku mengakui, tidak hanya satu dua,
komunitas serupa yang kuikuti. Aku banyak bertemu dengan lawan jenis, di dunia
literasi. Di dunia penerbitan.
Jika
ada yang menganggap sikapku ini adalah salah, jika keikutsertaanku ini melukai
beberapa pihak, tolong dengarkan beberapa patah dulu penjelasanku. Aku masih
menghormati syariat. Aku masih mengingat apa itu ikhtilat, dan bagaimana
khalwat. Sama seperti muslim yang lain, aku juga masih selalu berdoa agar
Allah, Yang Maha Pembolak-balik hati, senantiasa meneguhkan hatiku terhadap
dien yang mulia ini. Menjagaku dari berjalan di arah yang salah. Melindungiku
dari godaan-godaan syaithan yang terkutuk.
Aku
terus berusaha menjaga pergaulanku sebagai muslimah yang mengenal al-Qur’an dan
mengerti hadits. Dan jika sikapku ini masih salah, semoga Allah mengampuniku.
Dan aku berharap agar teman-teman berkenan menyebut namaku dalam tiap-tiap doa
teman-teman.
Dan
jika sikapku ini masih saja dianggap salah, semoga, hanya aku akhwat berjilbab
besar yang berkelakuan seperti ini. Bukan, bukan untuk menyakiti kalian dengan
sikap dan jilbabku. Bukan seperti itu…. Jilbab tidak pernah menjanjikan tentang
keshalihan seseorang, bukan? Aku hanya ingin, jilbab yang kukenakan, kelak, di
saat Allah bertanya tentang apa yang kulakukan dengan tubuhku, ia dapat menjadi
saksi, bahwa aku telah selalu berusaha menjaganya. Aku hanya ingin, jilbab
selalu menemaniku dalam berproses menjadi shalihat. Sejauh ini, hijab juga
telah banyak membantuku dalam menentukan sikap.
Dan
jika, aku masih saja dipandang salah… semoga di belahan bumi Allah yang lain,
aku banyak menemukan muslimah-muslimah yang berjilbab besar… atau bahkan,
bercadar, mungkin? Sebagai penulis-penulis yang menggentarkan musuh-musuh Allah
sebab tintanya. Sebagai pembawa pena-pena Allah dan memutuskan memilih jalan
ini sebagai jalan juangnya.
Jika
aku masih terus salah, semoga Allah mengampunimu. Dan semoga engkau mengingatku
dalam doamu.
Sampai
di sini, aku masih bertanya-tanya, adakah aku tetap harus memihak salah satu?
-------------------------
Ketika
aku menyebut diriku PKS, yang lain akan menuduhku sebagai pro demokrasi… Walau
sebenarnya, bukan itu tujuanku.
Atau
ketika aku bicara bahwa aku HTI, yang lain akan bilang, aku tidak mengimani
adzab kubur, turunnya Al Mahdi, bahkan tidak mengambil hadits ahad, padahal aku
bukan seperti itu.
Dan
ketika aku mengaku Jamaah Tabligh, oh, no! Yang lain mencibirku, karena aku
meninggalkan anak istriku sendirian, padahal tujuanku dakwah.
Ketika
aku mengklaim diriku SALAFY, yang lain berteriak “JANGAN SUKA
MEMBID’AH-BID’AHKAN ORANG LAIN!!!”
Padahal
aku tahu mana yang benar dan mana yang salah. Aku hanya ingin membetulkan.
Aku
memutuskan…
Untuk
berhenti sejenak...
Menertawakan
mereka yang merasa benar dengan jalannya masing-masing.
Berfikir
sejenak, mengapa ini bisa terjadi? Bahkan di sini, tidak ada lagi ukhuwwah islamiyah!
Yang
ada hanya ukhuwwah PKS-iyah, ukhuwah HTI-iyah, ukhuwah Salafy-iyah, ukhuwah
JT-iyah dan semua ukhuwah.
Ashobiyah
lainnya yang jelas-jelas merupakan PERPECAHAN…
Semua
perdebatan yang katanya mencari “PENCERAHAN”
Bisakah dirasakan “PENCERAHAN”nya?
Saya
sama sekali tidak bisa merasakannya… Bagaimana dengan Anda?
Aku
malu pada Rosulullah saw, karena aku sendiri tidak berdaya…
Aku
seorang MUSLIM.
Ya,
seorang MUSLIM.
Seorang
mutarobby yang fikrahnya dipupuk oleh Tarbiyah, tapi aku bukan PKS…
Dan
mencoba mencontoh apa yang dilakukan salafusshalih, tapi aku bukan SALAFY…
Dengan
kegemilangan Islam dan khilafah sebagai tujuan, aku bukan HTI…
Dan
aku tahu,
Dimana
aku berpijak, di situ ladang dakwahku…
Tanpa
harus menjelek-jelekkan orang lain. Karena aku seorang MUSLIM.
Astaghfirullahal ‘adziim…
Astaghfirullahal ‘adziim…
Astaghfirullahal ‘adziim…
Saya tidak tahu siapa penulis
tulisan di atas. Beberapa tahun yang lalu, tulisan itu sudah banyak tersebar.
Dan disebar. Semoga Allah memberi kebaikan yang banyak kepada penulis, yang
mengajak kita bermuhasabah, dan menyadari, jika keterpecahan ini begitu
menyakitkan.
Hingga paragraf ini, saya masih
bertanya-tanya, masihkah saya harus memihak salah satu? Dan mengumumkan pada
dunia, di mana keterpihakan saya?
Aku adalah aku.
Soal siapa yang paling hebat,
siapa yang paling kuat,
siapa yang paling taat…
Itu sesuatu yang membosankan.
5 komentar
ماشاء الله.. ياأختي المحبوبة
ReplyDeleteعسى الله أن يحفظك و يباركك و يسعدك في الدنيا والآخرة
اللهم إنا نسألك الجنة و نستجير بك من النار
Remember that !! احفظ الله يحفظك
Deleteآميــــــــــــــــــــن يَا رَبَّ العَالَمِينْ
I think., kita memang harus memihak..bagaimana mungkin ada dua pendapat yang bersebrangan lalu kita pilih dua-duanya?, maka lihat apa yang menjadi landasan kedua pendapat tersebut..dan pilih yang sesuai dengan Alquran dan hadist yang shahih..
DeleteMemihak dengan berdasar ilmu, bukan fanatisme golongan..
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAdapun tentang bergaul landasannya adalah akhlak, dengan tidak merendahkan orang lain., karena kita ga pernah tahu bagaimana akhir kehidupan setiap orang bukan?
ReplyDelete