I’m a Muslim and Proud

By Zulfa Rahmatina - 5:49 AM


“Jadi, Zulfa, kamu sebenarnya penganut apa?”
 Aku bertampang seperti orang bodoh saat tanya itu terlontar dari mulut temanku. Ada geli yang tersembunyi karena pilihan kata yang dipakai temanku, juga sedih dan miris di waktu yang sama. Aku sudah tahu arah pembicaraan ini.
“Ada temanku, yang penasaran denganmu.” Tanpa menunggu tanggapanku, temanku melanjutkan katanya. Ia juga pernah menjelaskan, jika temannya itu sering membaca blog-ku. “Yah, jilbabmu besar. Tapi kamu gabung dengan komunitas-komunitas yang ada… ikhwannya.”
 Seketika, aku paham apa yang dimaksudnya.
 “Sebenarnya, aku juga penasaran…”
  Aku mengangguk paham. Menimbang sejenak. Selama ini, aku memang sering tidak peduli dengan apa yang dikatakan orang. Tapi, saat tanya ini terlontar, aku jadi berpikir, apakah aku harus benar-benar memihak salah satu? Kalau ingin jujur, sebenarnya aku tahu tidak sedikit orang yang menyimpan pertanyaan ini untukku.
    Maka, biarlah aku menjelaskannya.
   C’mon. Aku besar bersama lingkungan umum, dan tumbuh dengan empiris yang agamis. Orang tua, saudara-saudara… masyarakat. Dengan penuh kemajemukan dan beragam golongan, tentu.
   Aku juga berteman dengan semua orang. Teman-teman muslim, non muslim, bahkan aku mempunyai banyak teman atheis. Tapi, biar kutekankan, aku bersahabat dengan orang-orang shalih. Hanya orang-orang shalih…
   Pernah aku mengeluhkan hal ini kepada salah seorang sepupu. Seorang teman dengan firqoh A, kepadaku, dengan terang-terangan menyudutkan firqoh B. Menyesalkan pola pikir yang dipahami firqoh B. Mengeluhkan betapa mereka benar-benar konvensional, bahkan beberapa ada yang mengatakan radikal.
            Lain waktu, teman dari firqoh B, mengatakan hal serupa tentang firqoh A, kepadaku. Dan aku selalu menjadi pendengar yang baik. Mengatakan hal-hal yang perlu tanpa memihak salah satu dari keduanya.
            Sepupuku tertawa. Juga saat aku mengatakan, aku berada di lingkungan orang-orang yang sangat fanatik sekali. Seperti, tidak mau menghadiri kajian, jika pemateri bukanlah ustadz dengan firqoh yang sama.
            Menurutnya, teman-temanku berlaku seperti itu kepadaku, karena aku tidak bersikap dan tidak berpihak. Ia juga mengatakan kalau dirinya, sering berada di posisi yang sama denganku, dan ia menikmatinya.
        “Buat hiburan aja. Selama belum ke arah hal-hal yang bikin males,”
        Debat kusir. Yeah, I see. Itu hal yang membosankan sekali!
       Untuk kesekian kalinya, aku berpikir. Benarkah seseorang itu harus memihak? Dan, apa pentingnya?
            Aku menghormati pemahaman salah satu kelompok tentang bagaimana pandangannya tentang pakaian seorang muslim, dan aku menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Aku sangat membutuhkan tarbiyah, dan aku bergabung dan dididik dalam lingkaran-lingkaran. Aku mendukung aksi-aksi yang memperjuangkan Islam. Aku mengamini penegakan syariat Islam. Aku melangitkan do’a kepada para jundullah yang menghancurkan musuh-musuh Allah dan menjadikan syahid sebagai cita-cita tertinggi dalam perjalanan.
            Jadi, harus ke manakah aku berpihak? Aku memihak semuanya? Tentu tidak. Di setiap kesatuan, di sebuah golongan, di tiap pribadi-pribadi, tidak ada yang sempurna. Tidak ada… Dan itu adalah keniscayaan yang tidak perlu lagi diperdebatkan.
Di sebuah dauroh yang kuikuti, seorang teman berkata, jika ada yang mengira jika aku ini adalah HTI. Meski, saat itu, aku tidak menyinggung sedikit pun soal khilafah. Di tempat yang berbeda, ada yang menyebutku Jihadis. Ditilik dari beberapa gelintir latar belakang saudaraku, yang memperjuangkan pemahaman itu, juga tempat-tempat mereka menuntut ilmu. Lain waktu, ada yang mengatakan aku Salafi. Ketika, aku banyak menghadiri kajian-kajian mereka. Memiliki banyak teman dari kelompok tersebut. Juga, mengenakan jilbab besar. Tak sedikit yang menyebutku PKS. Saat aku mengatakan, jika aku tidak bisa lepas dari tarbiyah. Dan aku benar-benar membutuhkannya. Juga pada waktu aku mengidolakan penulis-penulis dengan pemahaman mereka.
Ada yang salah dengan sikapku? Jika iya, di kesempatan ini, perkenankanlah aku meminta maaf kepada semua yang kecewa akan sikapku. Seorang muslim yang plin-plan, dan tidak baik, mungkin?
Tapi… memang beginilah aku. Aku adalah aku. Bukan kamu, atau mereka. Aku tidak membatasi dengan siapapun aku bergaul, selama dalam ikatan itu, kami dapat mendatangkan manfaat. Soal pertemananku dengan orang atheis, dan non muslim, lebih sering kami bertukar ilmu dan informasi. Beberapa teman Jepang-ku bahkan dengan sangat giat belajar Bahasa Indonesia dan Arab, dan mencoba bercakap-cakap bersamaku dengannya. Aku juga sering mencatat kalimat-kalimat mereka, yang suatu saat akan berguna untuk draft tulisanku.
Tak jarang, aku meminta mereka bercerita, tentang negara mereka, tentang budayanya, tentang bagaimana pandangan mereka terhadap orang Islam…. Bagaimana kehidupan muslim di negara mereka, dan sebagainya… seringkali, kadang aku merasa, penghormatan mereka terhadapku sebagai orang muslim, bahkan lebih baik daripada teman-teman muslimku sendiri. Yang tak jarang menaruh curiga dan prasangka terhadap sesama.
Soal keikutsertaanku dengan komunitas-komunitas yang terdapat lawan jenis di dalamnya, hmm… kurasa, keikutsertaanku dengan beberapa komunitas itu hanya berkenaan dengan dunia literasiku. Aku mengakui, tidak hanya satu dua, komunitas serupa yang kuikuti. Aku banyak bertemu dengan lawan jenis, di dunia literasi. Di dunia penerbitan.
Jika ada yang menganggap sikapku ini adalah salah, jika keikutsertaanku ini melukai beberapa pihak, tolong dengarkan beberapa patah dulu penjelasanku. Aku masih menghormati syariat. Aku masih mengingat apa itu ikhtilat, dan bagaimana khalwat. Sama seperti muslim yang lain, aku juga masih selalu berdoa agar Allah, Yang Maha Pembolak-balik hati, senantiasa meneguhkan hatiku terhadap dien yang mulia ini. Menjagaku dari berjalan di arah yang salah. Melindungiku dari godaan-godaan syaithan yang terkutuk.
Aku terus berusaha menjaga pergaulanku sebagai muslimah yang mengenal al-Qur’an dan mengerti hadits. Dan jika sikapku ini masih salah, semoga Allah mengampuniku. Dan aku berharap agar teman-teman berkenan menyebut namaku dalam tiap-tiap doa teman-teman.
Dan jika sikapku ini masih saja dianggap salah, semoga, hanya aku akhwat berjilbab besar yang berkelakuan seperti ini. Bukan, bukan untuk menyakiti kalian dengan sikap dan jilbabku. Bukan seperti itu…. Jilbab tidak pernah menjanjikan tentang keshalihan seseorang, bukan? Aku hanya ingin, jilbab yang kukenakan, kelak, di saat Allah bertanya tentang apa yang kulakukan dengan tubuhku, ia dapat menjadi saksi, bahwa aku telah selalu berusaha menjaganya. Aku hanya ingin, jilbab selalu menemaniku dalam berproses menjadi shalihat. Sejauh ini, hijab juga telah banyak membantuku dalam menentukan sikap.
Dan jika, aku masih saja dipandang salah… semoga di belahan bumi Allah yang lain, aku banyak menemukan muslimah-muslimah yang berjilbab besar… atau bahkan, bercadar, mungkin? Sebagai penulis-penulis yang menggentarkan musuh-musuh Allah sebab tintanya. Sebagai pembawa pena-pena Allah dan memutuskan memilih jalan ini sebagai jalan juangnya.
Jika aku masih terus salah, semoga Allah mengampunimu. Dan semoga engkau mengingatku dalam doamu.
Sampai di sini, aku masih bertanya-tanya, adakah aku tetap harus memihak salah satu?
 -------------------------
Ketika aku menyebut diriku PKS, yang lain akan menuduhku sebagai pro demokrasi… Walau sebenarnya, bukan itu tujuanku.
Atau ketika aku bicara bahwa aku HTI, yang lain akan bilang, aku tidak mengimani adzab kubur, turunnya Al Mahdi, bahkan tidak mengambil hadits ahad, padahal aku bukan seperti itu.
Dan ketika aku mengaku Jamaah Tabligh, oh, no! Yang lain mencibirku, karena aku meninggalkan anak istriku sendirian, padahal tujuanku dakwah.
Ketika aku mengklaim diriku SALAFY, yang lain berteriak “JANGAN SUKA MEMBID’AH-BID’AHKAN ORANG LAIN!!!”  
Padahal aku tahu mana yang benar dan mana yang salah. Aku hanya ingin membetulkan.
Aku memutuskan…
Untuk berhenti sejenak...
Menertawakan mereka yang merasa benar dengan jalannya masing-masing.
Berfikir sejenak, mengapa ini bisa terjadi? Bahkan di sini, tidak ada lagi ukhuwwah islamiyah!
Yang ada hanya ukhuwwah PKS-iyah, ukhuwah HTI-iyah, ukhuwah Salafy-iyah, ukhuwah JT-iyah dan semua ukhuwah.
Ashobiyah lainnya yang jelas-jelas merupakan PERPECAHAN…
Semua perdebatan yang katanya mencari “PENCERAHAN”  Bisakah dirasakan “PENCERAHAN”nya?
Saya sama sekali tidak bisa merasakannya… Bagaimana dengan Anda?
Aku malu pada Rosulullah saw, karena aku sendiri tidak berdaya…
Aku seorang MUSLIM.
Ya, seorang MUSLIM.
Seorang mutarobby yang fikrahnya dipupuk oleh Tarbiyah, tapi aku bukan PKS…
Dan mencoba mencontoh apa yang dilakukan salafusshalih, tapi aku bukan SALAFY…
Dengan kegemilangan Islam dan khilafah sebagai tujuan, aku bukan HTI…

Dan aku tahu,
Dimana aku berpijak, di situ ladang dakwahku…
Tanpa harus menjelek-jelekkan orang lain. Karena aku seorang MUSLIM.

Astaghfirullahal ‘adziim…
Astaghfirullahal ‘adziim…
Astaghfirullahal ‘adziim…


            Saya tidak tahu siapa penulis tulisan di atas. Beberapa tahun yang lalu, tulisan itu sudah banyak tersebar. Dan disebar. Semoga Allah memberi kebaikan yang banyak kepada penulis, yang mengajak kita bermuhasabah, dan menyadari, jika keterpecahan ini begitu menyakitkan.
            Hingga paragraf ini, saya masih bertanya-tanya, masihkah saya harus memihak salah satu? Dan mengumumkan pada dunia, di mana keterpihakan saya?

Aku adalah aku.
Soal siapa yang paling hebat,
siapa yang paling kuat,
siapa yang paling taat…

Itu sesuatu yang membosankan.

  • Share:

You Might Also Like

5 komentar

  1. ماشاء الله.. ياأختي المحبوبة
    عسى الله أن يحفظك و يباركك و يسعدك في الدنيا والآخرة
    اللهم إنا نسألك الجنة و نستجير بك من النار
    Remember that !! احفظ الله يحفظك

    ReplyDelete
    Replies

    1. آميــــــــــــــــــــن يَا رَبَّ العَالَمِينْ

      Delete
    2. I think., kita memang harus memihak..bagaimana mungkin ada dua pendapat yang bersebrangan lalu kita pilih dua-duanya?, maka lihat apa yang menjadi landasan kedua pendapat tersebut..dan pilih yang sesuai dengan Alquran dan hadist yang shahih..
      Memihak dengan berdasar ilmu, bukan fanatisme golongan..

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Adapun tentang bergaul landasannya adalah akhlak, dengan tidak merendahkan orang lain., karena kita ga pernah tahu bagaimana akhir kehidupan setiap orang bukan?

    ReplyDelete