Setiap Ramadhan, lebih-lebih saat malam raya, ada sesak yang harus kudekap
sedemikian rupa. Tak ada suara takbirmu yang membahana. Tak ada rumah yang
kukunjungi lama-lama. Tak ada pekik tawa yang tertahan saat kita bersama
mengintai burung hantu yang bertengger di ranting pohon petai depan rumahmu.
Tak ada lagi janji-janji yang kita buat bersama. Esoknya, aku tahu bahwa di
shaf terdepan, tak akan kutemukan lagi sosokmu yang tengah memberi khutbah
fitri dan mengimami shalat kami. Segala hal yang kini mengingatkanku tentangmu,
rasanya terlalu menyakitkan. Apakah artinya selama ini aku belum ikhlas?
Maka dengan doa, begitu aku bisa menemuimu, Mbah. Sementara kita sudah tidak lagi di alam yang sama. Ini kubah masjid tempat kau kerap menghabiskan waktumu. Tempat kau kerap mengajar dan menjadikannya pusat ilmu, tidak hanya untuk anak-anak, tetapi juga orang-orang seusiamu. Kubah ini baru dibuat, aku lupa kapan tepatnya. Bersamaan dengan itu, taman kecil di sudut timur masjid yang dulu kau rawat dengan sangat baik sudah dipugar dan dijadikan lahan parkir. Sebenarnya, banyak hal yang berubah selepas kepergianmu. Masjid yang mengalami perluasan, perbaikan jalanan yang kita lewati dengan sepeda onta dan kain pengikat kakiku agar tidak masuk jeruji. Kebiasaan penduduk desa ini. Termasuk tentu saja bagaimana berubahnya cara gadis kecilmu melihat dunianya, merasai debar-debar yang dulu tak pernah dirasakannya, atau bagaimana ia kini merangkai cita dan doa-doa.
Malam itu, saat kakak sepupu menjemputku di boarding dan mengabarkan kematianmu, aku sungguh terkejut. Aku ingat teman-temanku tengah menggelar pentas seni dan kebahagiaan yang beberapa waktu lalu kurasakan, serta merta berganti menjadi duniaku yang runtuh. Emosi kita rupanya hanya seperti kapas putih yang sebentar-sebentar mudah luluh. Aku baru pertama kali merasakan kehilangan karena kematian dan itu kematianmu, orang yang begitu menyayangiku—orang yang begitu kusayangi. Kau tahu, itulah kali pertama aku sungguh membencimu, atau lebih tepat jika kukatakan pertama kalinya aku membenci diriku? Aku benci ketika kuingat kapan terakhir kali aku berbincang denganmu hanyalah melalui saluran telepon dan kau mengucap janji yang tidak bisa kau penuhi hingga kini karena kau terlanjur pergi.
Aku benci kenapa sebelum hari
itu, tidak banyak waktu untuk lebih lama mendekap tubuhmu hingga kulitku
merasai keringatmu. Aku benci kenapa tidak lebih lama bergelayut di punggung
dengan juntai sorban hijau zamrud dan misk semerbak yang biasa kau kenakan. Aku
benci kenapa menangis dan menahanmu untuk tidak pergi ke masjid di sepertiga
malam. Aku benci kenapa tidak mendengarkanmu untuk banyak hal. Aku benci diriku
yang kekanak-kanakan. Aku benci untuk waktu kita yang singkat, sementara aku
masih ingin mendengarmu berkisah tentang Nabi dan para sahabat. Tapi, segalanya
memang tidak akan pernah bisa sama seperti saat-saat lalu. Hanya satu yang
barangkali tetap sama setiap kenangan akanmu melintas. Yaitu bahwa ghirah Islam
tidak boleh luntur, seberubah apa pun dunia di sekitar kita.
Kehidupan bagaikan roda, beribu zaman terus berputar.
Namun satu tak akan pudar, cahaya Allah tetap membahana.
0 komentar