Terima kasih ya, sudah bertahan sejauh ini.
Terima kasih untuk baik-baik saja saat
membaca kata demi kata setelah ini. Meski mungkin saja saat ini, ada banyak
pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa kita temukan jawabannya. Tapi tak apa,
semua akan dimudahkan menuju takdirnya. Termasuk jawaban-jawaban atas
pertanyaan kita.
Beberapa waktu ini, aku banyak menemukan
kesulitan yang tersebar di linimasa Twitter. Pun, pada teman-teman yang sudah
kuakrabi dengan baik di dunia nyata. Di Twitter, rasa-rasanya mengungkapkan
penderitaan yang kita alami memiliki ruang penerimaan yang lebih baik daripada
sosial media yang lain. Tak heran jika di Twitter banyak teman yang tidak
sungkan untuk meluapkan kegelisahan akan perkuliahan daring, akan kesulitan
untuk berkumpul dengan keluarga saat tengah berkonflik di masa pandemi, akan
kebosanan yang memuncak, akan kritikan kepada pemerintah, akan harapan-harapan
yang membusuk, hingga kekhawatiran mengenai keberlangsungan hidup karena
ekonomi dan finansial yang lumpuh. Beberapa waktu lalu, berlatarbelakang dari
hal-hal tersebut, kami membuka ruang terapi untuk orang-orang yang mengalami
kesulitan di masa pandemi. Tidak serta merta membantu dan menyelesaikan
permasalahan yang mereka hadapi, tentu saja. Tapi semoga mereka mengerti, bahwa ketika
menghadapi ini, mereka tidak sedang sendiri …
Selama pandemi, aku justru tidak nyaman
berada di sosial media lain selain Twitter. Entah mengapa. Sosial media lain
menurutku sangat toxic. Tak tahu apakah karena platform tersebut
diciptakan demikian, atau mungkin karena penggunanya saja. Rasanya sulit untuk
menemukan empati di sana. Orang-orang sibuk dengan dirinya sendiri. Sibuk
dengan pikirannya, sibuk dengan capaiannya, sibuk dengan fisiknya, sibuk
membanggakan banyak hal lampau yang telah terjadi. Mengumbar rencana-rencana
duniawi setelah pandemi. Bepergian ke mall yang biasa dikunjungi, mencicip
kuliner yang digemari, menonton film yang dinanti, mengunjungi teman-teman yang
dikasihi. Tidak salah, sih. Tapi sebentar, selain memikirkan kesenangan
duniawai saja, apa situasi ini tidak memberi banyak pelajaran? Apakah tidak
untuk bertafakur? Apakah jadi semakin mempersempit sudut pandang sehingga
membuat kita terhalang melihat orang-orang yang kurang beruntung, mengingat
pada siapa kuasa atas panjang pendeknya umur, sampai pada hal-hal memaknai
setiap apa yang kita miliki? Memang tak perlu rasanya mengumbar amal diri. Tapi
untuk hal-hal baik, kenapa tidak diimbangi? Ada banyak sekali yang telah
terjadi saat pandemi ini, Termasuk, separuh Ramadan yang telah kita lewati.
Ramadan ini, semua sedang menjalani Ramadan
yang berbeda kukira. Tak ada kajian di masjid jelang berbuka, tak ada riuh tawa
atau tangis anak-anak kecil yang kadangkala mengganggu kekhusyukan shalat
tarawih karena beberapa masjid mulai melarang balita untuk ikut serta dalam
jamaah mempertimbangkan bahwa mungkin, masih rentan dan belum kuat saja imun
tubuhnya. Di beberapa tempat, keramaian senja menunggu waktu buka puasa menjadi
sesuatu yang kini langka. Di pesan masuk ponsel, ajakan berbuka bersama juga
menjadi sesuatu yang perlahan demi perlahan mulai sirna. Di daerah kami, tak
ada semarak festival anak saleh.
Ramadanku juga berbeda. Tidak ada daurah.
Tidak ada majelis tempat duduk menyimak ilmu sembari memperbanyak dzikir. Tidak
ada lingkaran-lingkaran yang memiliki beragam topik bincang yang tahun-tahun sebelumnya
memenuhi Ramadanku. Tidak ada agenda berbuka puasa dengan organisasi A,
komunitas B, lingkaran pertemanan C—yang beberapa di antaranya kadang kutolak
mempertimbangkan kemudahan melakukan kewajiban-kewajiban yang seharusnya, atau prioritas
penting selanjutnya. Tidak ada juga itikaf yang tempo hari sudah kami agendakan
untuk dijalankan pada suatu masjid di Kota Solo.
Ramadan keluargaku, jelas tampak bedanya.
Rajab lalu, Ummi mengirimiku pesan dengan nada khawatir. Tahun lalu, setelah
lulus, aku banyak menghabiskan Ramadan di rumah meski hampir dua minggu di
antaranya, aku berada di Solo, menghabiskan Ramadan pada sebuah pesantren asing
di pinggir Kota Sragen sebagai tim penelitian dari seorang dosen dan mahasiswa
S3. Tapi kehadiranku benar-benar terasa di rumah selain karena aku sudah tidak
disibukkan dengan perkuliahan dan beberapa pekerjaan yang bisa kulakukan di
rumah. Ramadan ini, Ummi mengkhawatirkan akan Ramadan yang sepi. Aku sibuk
dengan padatnya perkuliahan profesi. Adik laki-lakiku yang saat ini menjadi
salah satu pengurus imaarotus syu’un thullab di pesantrennya memiliki
agenda Ramadan penuh di pesantren dan akan pulang ke rumah di malam lebaran,
atau esoknya. Adikku yang lain, sedang berjuang menuntaskan hafalan Qur’annya
di Malang, dan—sebelum akhirnya menjadi angkatan corona—sedang mempersiapkan
Ujian Nasional.
Ternyata benar ini menjadi Ramadan yang
sepi, tetapi membuat rumah kami semarak. Anak-anak Abi pulang lebih cepat dari
perkiraan sebelumnya dan tidak ada satu pun dari kami yang menyangka. Siapa
pula yang mengira situasi akan menjadi seperti ini? Kita berencana, tapi Allah
tetap sebaik-baik perencana. Kita memiliki segunung harap, dan pada segala asa
hanya Allah sebaik-baik penentu sementara kita harus banyak bersiap. Atas situasi
ini, syukurku seharusnya membumbung, bukan merangkak. Selalu ada hal baik atas
peristiwa yang Allah beri.
Ketika pikiran kita saat ini begitu penuh
akan banyak pertanyaan, aku jadi teringat sebuah kisah. Bahwa pernah suatu
masa, akhirnya, kalimat itu meluncur meski tertahan. Kalimat yang lahir dari
pedihnya derita, dari sesaknya uji dan coba, dari ngilunya torehan luka, “Maata
nasrullah?”
Berkecamuk rasanya dada. Beban tak
tertahankan, ujian sungguh menyesakkan, dan semua ini, sepertinya sudah cukup
keterlaluan. Ya, bilakah datangnya pertolongan?
Rasulullah saw, sebagai sosok di
mana aduan itu ditujukan, bergeming. Lukanya sama, sesaknya serupa, sudut
matanya, di malam-malam yang dingin, mungkin lebih deras linang airnya. Tapi
sosok tersebut tidak jua berkata, tidak lantas memanjatkan pinta lantunan doa,
yang mudah saja bagi ia pemakbulannya. Sosok teduh itu, memandang satu per satu
wajah di hadapannya, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, disisir
kepalanya dengan sisir besai panas. Kepalanya tampak tempurung, kulit dan
dagingnya mengelupas,” suara agung itu bergetar, “tapi sungguh, kalian adalah
orang yang tergesa-gesa,”
Kalimat yang diucapkan dengan lirih santun
itu begitu menyentak. Sahabat tergugu. Kekalutan hati yang tadi dirasa, luluh
berganti dengan kepasrahan yang utuh. Jiwa-jiwa suci mereka kembali penuh.
Teringat bahwa janji-Nya adalah sebuah keniscayaan meski harus ditempuh dengan
upaya yang berpeluh-peluh.
Maka kita tahu, bahwa setiap kita pasti
diuji. Setiap kita diberi kekhawatiran dan rasa takut. Tapi Ia sungguh Maha
Bijaksana. Di hari-hari terakhir bulan suci ini, semoga kita bisa memaksimalkan
diri kita meraih keridhaaNya. Semoga kita masih berkesempatan untuk
meningkatkan ketaqwaan dan menjadi agen penebar kebaikan. Bagaimana pun situasinya,
this shall pass. Setiap Ramadan akan selalu meninggalkan kenangannya.
0 komentar