This Shall Pass, No Matter How

By Zulfa Rahmatina - 4:38 PM


Terima kasih ya, sudah bertahan sejauh ini.
Terima kasih untuk baik-baik saja saat membaca kata demi kata setelah ini. Meski mungkin saja saat ini, ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum bisa kita temukan jawabannya. Tapi tak apa, semua akan dimudahkan menuju takdirnya. Termasuk jawaban-jawaban atas pertanyaan kita.

Beberapa waktu ini, aku banyak menemukan kesulitan yang tersebar di linimasa Twitter. Pun, pada teman-teman yang sudah kuakrabi dengan baik di dunia nyata. Di Twitter, rasa-rasanya mengungkapkan penderitaan yang kita alami memiliki ruang penerimaan yang lebih baik daripada sosial media yang lain. Tak heran jika di Twitter banyak teman yang tidak sungkan untuk meluapkan kegelisahan akan perkuliahan daring, akan kesulitan untuk berkumpul dengan keluarga saat tengah berkonflik di masa pandemi, akan kebosanan yang memuncak, akan kritikan kepada pemerintah, akan harapan-harapan yang membusuk, hingga kekhawatiran mengenai keberlangsungan hidup karena ekonomi dan finansial yang lumpuh. Beberapa waktu lalu, berlatarbelakang dari hal-hal tersebut, kami membuka ruang terapi untuk orang-orang yang mengalami kesulitan di masa pandemi. Tidak serta merta membantu dan menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi, tentu saja. Tapi semoga mereka mengerti, bahwa ketika menghadapi ini, mereka tidak sedang sendiri …

Selama pandemi, aku justru tidak nyaman berada di sosial media lain selain Twitter. Entah mengapa. Sosial media lain menurutku sangat toxic. Tak tahu apakah karena platform tersebut diciptakan demikian, atau mungkin karena penggunanya saja. Rasanya sulit untuk menemukan empati di sana. Orang-orang sibuk dengan dirinya sendiri. Sibuk dengan pikirannya, sibuk dengan capaiannya, sibuk dengan fisiknya, sibuk membanggakan banyak hal lampau yang telah terjadi. Mengumbar rencana-rencana duniawi setelah pandemi. Bepergian ke mall yang biasa dikunjungi, mencicip kuliner yang digemari, menonton film yang dinanti, mengunjungi teman-teman yang dikasihi. Tidak salah, sih. Tapi sebentar, selain memikirkan kesenangan duniawai saja, apa situasi ini tidak memberi banyak pelajaran? Apakah tidak untuk bertafakur? Apakah jadi semakin mempersempit sudut pandang sehingga membuat kita terhalang melihat orang-orang yang kurang beruntung, mengingat pada siapa kuasa atas panjang pendeknya umur, sampai pada hal-hal memaknai setiap apa yang kita miliki? Memang tak perlu rasanya mengumbar amal diri. Tapi untuk hal-hal baik, kenapa tidak diimbangi? Ada banyak sekali yang telah terjadi saat pandemi ini, Termasuk, separuh Ramadan yang telah kita lewati.

Ramadan ini, semua sedang menjalani Ramadan yang berbeda kukira. Tak ada kajian di masjid jelang berbuka, tak ada riuh tawa atau tangis anak-anak kecil yang kadangkala mengganggu kekhusyukan shalat tarawih karena beberapa masjid mulai melarang balita untuk ikut serta dalam jamaah mempertimbangkan bahwa mungkin, masih rentan dan belum kuat saja imun tubuhnya. Di beberapa tempat, keramaian senja menunggu waktu buka puasa menjadi sesuatu yang kini langka. Di pesan masuk ponsel, ajakan berbuka bersama juga menjadi sesuatu yang perlahan demi perlahan mulai sirna. Di daerah kami, tak ada semarak festival anak saleh.

Ramadanku juga berbeda. Tidak ada daurah. Tidak ada majelis tempat duduk menyimak ilmu sembari memperbanyak dzikir. Tidak ada lingkaran-lingkaran yang memiliki beragam topik bincang yang tahun-tahun sebelumnya memenuhi Ramadanku. Tidak ada agenda berbuka puasa dengan organisasi A, komunitas B, lingkaran pertemanan C—yang beberapa di antaranya kadang kutolak mempertimbangkan kemudahan melakukan kewajiban-kewajiban yang seharusnya, atau prioritas penting selanjutnya. Tidak ada juga itikaf yang tempo hari sudah kami agendakan untuk dijalankan pada suatu masjid di Kota Solo.

Ramadan keluargaku, jelas tampak bedanya. Rajab lalu, Ummi mengirimiku pesan dengan nada khawatir. Tahun lalu, setelah lulus, aku banyak menghabiskan Ramadan di rumah meski hampir dua minggu di antaranya, aku berada di Solo, menghabiskan Ramadan pada sebuah pesantren asing di pinggir Kota Sragen sebagai tim penelitian dari seorang dosen dan mahasiswa S3. Tapi kehadiranku benar-benar terasa di rumah selain karena aku sudah tidak disibukkan dengan perkuliahan dan beberapa pekerjaan yang bisa kulakukan di rumah. Ramadan ini, Ummi mengkhawatirkan akan Ramadan yang sepi. Aku sibuk dengan padatnya perkuliahan profesi. Adik laki-lakiku yang saat ini menjadi salah satu pengurus imaarotus syu’un thullab di pesantrennya memiliki agenda Ramadan penuh di pesantren dan akan pulang ke rumah di malam lebaran, atau esoknya. Adikku yang lain, sedang berjuang menuntaskan hafalan Qur’annya di Malang, dan—sebelum akhirnya menjadi angkatan corona—sedang mempersiapkan Ujian Nasional. 

Ternyata benar ini menjadi Ramadan yang sepi, tetapi membuat rumah kami semarak. Anak-anak Abi pulang lebih cepat dari perkiraan sebelumnya dan tidak ada satu pun dari kami yang menyangka. Siapa pula yang mengira situasi akan menjadi seperti ini? Kita berencana, tapi Allah tetap sebaik-baik perencana. Kita memiliki segunung harap, dan pada segala asa hanya Allah sebaik-baik penentu sementara kita harus banyak bersiap. Atas situasi ini, syukurku seharusnya membumbung, bukan merangkak. Selalu ada hal baik atas peristiwa yang Allah beri.

Ketika pikiran kita saat ini begitu penuh akan banyak pertanyaan, aku jadi teringat sebuah kisah. Bahwa pernah suatu masa, akhirnya, kalimat itu meluncur meski tertahan. Kalimat yang lahir dari pedihnya derita, dari sesaknya uji dan coba, dari ngilunya torehan luka, “Maata nasrullah?”
Berkecamuk rasanya dada. Beban tak tertahankan, ujian sungguh menyesakkan, dan semua ini, sepertinya sudah cukup keterlaluan. Ya, bilakah datangnya pertolongan?

Rasulullah saw, sebagai sosok di mana aduan itu ditujukan, bergeming. Lukanya sama, sesaknya serupa, sudut matanya, di malam-malam yang dingin, mungkin lebih deras linang airnya. Tapi sosok tersebut tidak jua berkata, tidak lantas memanjatkan pinta lantunan doa, yang mudah saja bagi ia pemakbulannya. Sosok teduh itu, memandang satu per satu wajah di hadapannya, “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian, disisir kepalanya dengan sisir besai panas. Kepalanya tampak tempurung, kulit dan dagingnya mengelupas,” suara agung itu bergetar, “tapi sungguh, kalian adalah orang yang tergesa-gesa,”

Kalimat yang diucapkan dengan lirih santun itu begitu menyentak. Sahabat tergugu. Kekalutan hati yang tadi dirasa, luluh berganti dengan kepasrahan yang utuh. Jiwa-jiwa suci mereka kembali penuh. Teringat bahwa janji-Nya adalah sebuah keniscayaan meski harus ditempuh dengan upaya yang berpeluh-peluh.


Maka kita tahu, bahwa setiap kita pasti diuji. Setiap kita diberi kekhawatiran dan rasa takut. Tapi Ia sungguh Maha Bijaksana. Di hari-hari terakhir bulan suci ini, semoga kita bisa memaksimalkan diri kita meraih keridhaaNya. Semoga kita masih berkesempatan untuk meningkatkan ketaqwaan dan menjadi agen penebar kebaikan. Bagaimana pun situasinya, this shall pass. Setiap Ramadan akan selalu meninggalkan kenangannya.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar