Karena Cinta, Rupanya

By Zulfa Rahmatina - 6:19 PM



Dulu, aku pernah bertanya-tanya, kenapa orang tua selalu berjuang atau berkorban lebih untuk anaknya. Misalnya saja kakekku. Waktu masih bersekolah di SDIT, pagi-pagi sekali kakek mengayuh sepedanya menuju rumahku, menungguku yang masih sarapan atau sibuk mengurusi kepang rambut, dan berniat mengantar. Aku senang-senang saja dan menghargai usahanya. Tapi akhir-akhir ini saat kembali memikirkannya, aku berpikir bukankah dia bisa saja lebih memilih di rumah? Membaca koran pagi, dan menyesap secangkir kopi. Apa tidak menyiksa diri, padahal fisiknya sudah tidak seenergik saat ia terombang-ambil dalam kapal saat perjalanan haji. Kakek tidak perlu repot-repot mengunjungiku. Toh, ada Abi yang mengantarku sembari berangkat bekerja. Lebih cepat pula, karena tidak menggunakan sepeda. Tapi aku lebih memilih berangkat bersama kakekku. Aku bahkan bercerita kepada teman-temanku kalau hari itu kakek yang mengantarku. Alasannya tentu, karena aku mencintai kakekku. Kuyakin, begitu pula ia.

Soal berkorban, hal yang sama dilakukan orang tuaku. Salah satu contoh kecil, Abi dan Ummi, jika ada acara di luar seperti rapat, selalu lebih memilih menyisihkan makanan rapat untuk dibawa pulang agar bisa dinikmati aku dan adik-adikku di rumah. Kenapa tidak memakannya saja? Toh snack tersebut memang disediakan untuk menunjang kelancaran acara, bukan? Kadang, logika memang tidak bisa bekerja tanpa logistik. Ya, walaupun kebanyakan logistik juga nggak baik. Kenapa mereka malah memikirkan kami yang di rumah? Padahal di rumah juga tak kurang persediaan makanan.

Lambat laun, ketika hari demi hari mengajarkanku berupa bahagia, mengenalkanku pada derita luka-luka, menjumpakanku dengan kesulitan, aku menjaga diriku untuk selalu berjuang, bagaimana pun keadaannya. Ketika ingatan tentang orang tua terlintas, tekad itu semakin menguat dan aku berupaya semakin keras. Apa yang terjadi dengan diriku? Aku bisa saja melampiaskan semua kepenatan dengan bermain, kan? Aku bisa saja ikut arus seperti yang dilakukan muda-mudi saat ini, mengunjungi tempat-tempat populer, hingga membeli makanan-makanan mahal yang memenuhi feeds Instagram—entah bagaimana unsur halal dan thayyib-nya. Aku bisa saja malas-malasan kuliah dengan dalih agar aku tidak gila karena terlalu banyak tekanan, bukan malah menambah tekanan hidupku di luar perkuliahan dengan mengambil beberapa tanggung jawab seperti mengikuti organisasi atau komunitas yang bergerak di bidang sosial. Tapi aku melakukan sebaliknya. Ketika mengingat orang tua, aku mengusahakan yang terbaik. Ketika kucari-cari alasannya, rupanya hanya satu, karena aku mencintai mereka. Ya, karena cinta. Sesederhana itu. Cinta membuatku mengusahakan yang terbaik. Cinta menuntutku mempersembahkan bakti terbaik.

Aku juga jadi menemukan jawaban mengapa di masa-masa kuliah, aku yang dominan introvert ini menjerumuskan diriku dalam lembaga pers mahasiswa, unit kegiatan mahasiswa tingkat kampus yang selain mengharuskanku bersosialisasi dengan banyak anggota lintas jurusan, juga memiliki jam kerja sangat sibuk. Kerja redaksi rupanya bukan main menyita waktu. Terlebih, menjadi pemimpin redaksi membuatku seolah-olah bertransformasi menjadi manusia super. Aku harus mengadakan rapat isu, membuat outline, memantau reporter, melakukan editing, juga mengontrol layouter. Belum lagi jika ada keluhan dari reporter soal narasumber yang sulit dihubungi, lalu fase pasca cetak dan pra cetak yang selain menguras waktu, tenaga, rupanya juga emosi. Bekerja dalam tim benar-benar membutuhkan mental yang kuat.

Sementara dunia organisasi begitu riuh, medan akademikku pun sama. Menjadi mahasiswa Psikologi dengan kesibukan praktikum yang luar biasa beruntun mau tidak mau membuatku harus pandai mengatur waktu. Tak jarang, di kantor redaksi, selain membawa laptop untuk kerja redaksi, kubawa pula setumpuk data-data kasar praktikum dan laporan praktikum untuk kukerjakan sembari menunggu tim layouter melayout. Di akhir pekan, rupanya aku juga membiarkan diriku mengikuti mentoring. Setidaknya menjadi pementor membuatku dapat mengendalikan egoku ketika terhasrat untuk melakukan sesuatu di luar aturan-Nya. Kini saat kupikirkan kembali kenapa aku melakukan itu semua, jawabannya adalah karena aku mencintai diriku. Aku mencintai diriku dan karenanya aku harus bergerak lebih. Aku harus mendidik diriku untuk mengetahui bahwa hidup ini begitu singkat, serta bagaimana mudahnya hari-hari terlewat.

Maka, tak perlu lagi kiranya aku bertanya dan terheran-heran, mengapa Ibrahim mau-mau saja diminta meninggalkan anak dan istri tercinta di padang yang gersang, lantas diminta menyembelih sang putra padahal ia merupakan anak yang didamba-damba. Mengapa Hajar, tabah-tabah saja ditinggalkan sang suami, hanya bersama bayi yang menangis kehausan di padang kerontang, sembari berbisik rela, “Kalau benar ini perintah Allah, tentu Ia takkan pernah menyia-nyiakan hamba-Nya,”. Lalu Hajar tak lelah menapaki bukit Shafa dan Marwa, berlari dari ujung ke ujung tanpa tahu kapan harus berhenti, hingga ditetapkan bilangan sa’i. Mengapa sebelum tampak tanda-tanda, Musa berbicara dengan kawan perjalanannya, ‘aw amdhiya huquba,’ aku akan terus berjalan, bertahun-tahun. Tahun yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn ‘Amr ibn Al-‘Ash sebanyak delapan puluh tahun lamanya.

Mengapa Muhammad, tak mendoakan agar ditimpakan hukuman saja kepada penduduk Thaif yang terang-terangan menolaknya—bahkan menghina, bukan malah kepada Jibril yang menawarkan akan membenturkan dua gunung agar menjadi adzab bagi orang-orang yang tiada adab, beliau justru meminta yang sebaliknya. Mengirim doa yang melintas masa—agar anak-anak turunan mereka, menjadi hamba yang taat beribadah kepada Allah yang dilimpahi barakah.

Bagaimana pula pedih derita siksa yang dirasa keluarga Yassir, Khabbab Ibn Arats yang diperlakukan dengan begitu biadab oleh orang-orang kafir hingga lelehan dagingnya memadamkan nyala bara, Bilal Ibn Rabah dengan tindihan batu dan terik menyengat di legam badannya, hingga yang menyejukkan adalah ringan hatinya muhajirin dan anshar dalam bab berbagi dan mengajarkan menjadi sebaik-baik pemberi. Atas dasar apa mereka begitu mudah melakukannya? Begitu mudah berkorban semata-mata demi mengharap keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Apa yang membuat seseorang rela berkorban entah untuk sesuatu, seseorang, hingga kepada Tuhan? Tentu saja jawabannya, tidak lain adalah karena cinta, rupanya. Cinta adalah satu bagian kecil dari kehidupan yang mempunyai dampak nyata yang besar.


Selasa, 12 Dzulhijjah 1440 H

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar