Dulu,
aku pernah bertanya-tanya, kenapa orang tua selalu berjuang atau berkorban
lebih untuk anaknya. Misalnya saja kakekku. Waktu masih bersekolah di SDIT,
pagi-pagi sekali kakek mengayuh sepedanya menuju rumahku, menungguku yang masih
sarapan atau sibuk mengurusi kepang rambut, dan berniat mengantar. Aku
senang-senang saja dan menghargai usahanya. Tapi akhir-akhir ini saat kembali
memikirkannya, aku berpikir bukankah dia bisa saja lebih memilih di rumah?
Membaca koran pagi, dan menyesap secangkir kopi. Apa tidak menyiksa diri,
padahal fisiknya sudah tidak seenergik saat ia terombang-ambil dalam kapal saat
perjalanan haji. Kakek tidak perlu repot-repot mengunjungiku. Toh, ada Abi yang
mengantarku sembari berangkat bekerja. Lebih cepat pula, karena tidak
menggunakan sepeda. Tapi aku lebih memilih berangkat bersama kakekku. Aku
bahkan bercerita kepada teman-temanku kalau hari itu kakek yang mengantarku.
Alasannya tentu, karena aku mencintai kakekku. Kuyakin, begitu pula ia.
Soal
berkorban, hal yang sama dilakukan orang tuaku. Salah satu contoh kecil, Abi
dan Ummi, jika ada acara di luar seperti rapat, selalu lebih memilih
menyisihkan makanan rapat untuk dibawa pulang agar bisa dinikmati aku dan
adik-adikku di rumah. Kenapa tidak memakannya saja? Toh snack tersebut memang
disediakan untuk menunjang kelancaran acara, bukan? Kadang, logika memang tidak
bisa bekerja tanpa logistik. Ya, walaupun kebanyakan logistik juga nggak baik.
Kenapa mereka malah memikirkan kami yang di rumah? Padahal di rumah juga tak
kurang persediaan makanan.
Lambat
laun, ketika hari demi hari mengajarkanku berupa bahagia, mengenalkanku pada
derita luka-luka, menjumpakanku dengan kesulitan, aku menjaga diriku untuk
selalu berjuang, bagaimana pun keadaannya. Ketika ingatan tentang orang tua
terlintas, tekad itu semakin menguat dan aku berupaya semakin keras. Apa yang
terjadi dengan diriku? Aku bisa saja melampiaskan semua kepenatan dengan
bermain, kan? Aku bisa saja ikut arus seperti yang dilakukan muda-mudi saat
ini, mengunjungi tempat-tempat populer, hingga membeli makanan-makanan mahal
yang memenuhi feeds Instagram—entah bagaimana unsur halal dan thayyib-nya.
Aku bisa saja malas-malasan kuliah dengan dalih agar aku tidak gila karena
terlalu banyak tekanan, bukan malah menambah tekanan hidupku di luar
perkuliahan dengan mengambil beberapa tanggung jawab seperti mengikuti
organisasi atau komunitas yang bergerak di bidang sosial. Tapi aku melakukan
sebaliknya. Ketika mengingat orang tua, aku mengusahakan yang terbaik. Ketika
kucari-cari alasannya, rupanya hanya satu, karena aku mencintai mereka. Ya,
karena cinta. Sesederhana itu. Cinta membuatku mengusahakan yang terbaik. Cinta
menuntutku mempersembahkan bakti terbaik.
Aku
juga jadi menemukan jawaban mengapa di masa-masa kuliah, aku yang dominan
introvert ini menjerumuskan diriku dalam lembaga pers mahasiswa, unit kegiatan
mahasiswa tingkat kampus yang selain mengharuskanku bersosialisasi dengan
banyak anggota lintas jurusan, juga memiliki jam kerja sangat sibuk. Kerja
redaksi rupanya bukan main menyita waktu. Terlebih, menjadi pemimpin redaksi
membuatku seolah-olah bertransformasi menjadi manusia super. Aku harus
mengadakan rapat isu, membuat outline, memantau reporter, melakukan
editing, juga mengontrol layouter. Belum lagi jika ada keluhan dari reporter soal
narasumber yang sulit dihubungi, lalu fase pasca cetak dan pra cetak yang
selain menguras waktu, tenaga, rupanya juga emosi. Bekerja dalam tim
benar-benar membutuhkan mental yang kuat.
Sementara
dunia organisasi begitu riuh, medan akademikku pun sama. Menjadi mahasiswa
Psikologi dengan kesibukan praktikum yang luar biasa beruntun mau tidak mau
membuatku harus pandai mengatur waktu. Tak jarang, di kantor redaksi, selain
membawa laptop untuk kerja redaksi, kubawa pula setumpuk data-data kasar
praktikum dan laporan praktikum untuk kukerjakan sembari menunggu tim layouter
melayout. Di akhir pekan, rupanya aku juga membiarkan diriku mengikuti
mentoring. Setidaknya menjadi pementor membuatku dapat mengendalikan egoku
ketika terhasrat untuk melakukan sesuatu di luar aturan-Nya. Kini saat
kupikirkan kembali kenapa aku melakukan itu semua, jawabannya adalah karena aku
mencintai diriku. Aku mencintai diriku dan karenanya aku harus bergerak lebih. Aku
harus mendidik diriku untuk mengetahui bahwa hidup ini begitu singkat, serta
bagaimana mudahnya hari-hari terlewat.
Maka,
tak perlu lagi kiranya aku bertanya dan terheran-heran, mengapa Ibrahim mau-mau
saja diminta meninggalkan anak dan istri tercinta di padang yang gersang,
lantas diminta menyembelih sang putra padahal ia merupakan anak yang
didamba-damba. Mengapa Hajar, tabah-tabah saja ditinggalkan sang suami, hanya
bersama bayi yang menangis kehausan di padang kerontang, sembari berbisik rela,
“Kalau benar ini perintah Allah, tentu Ia takkan pernah menyia-nyiakan
hamba-Nya,”. Lalu Hajar tak lelah menapaki bukit Shafa dan Marwa, berlari dari
ujung ke ujung tanpa tahu kapan harus berhenti, hingga ditetapkan bilangan sa’i.
Mengapa sebelum tampak tanda-tanda, Musa berbicara dengan kawan perjalanannya,
‘aw amdhiya huquba,’ aku akan terus berjalan, bertahun-tahun. Tahun yang
diriwayatkan oleh Abdullah ibn ‘Amr ibn Al-‘Ash sebanyak delapan puluh tahun
lamanya.
Mengapa
Muhammad, tak mendoakan agar ditimpakan hukuman saja kepada penduduk Thaif yang
terang-terangan menolaknya—bahkan menghina, bukan malah kepada Jibril yang
menawarkan akan membenturkan dua gunung agar menjadi adzab bagi orang-orang
yang tiada adab, beliau justru meminta yang sebaliknya. Mengirim doa yang
melintas masa—agar anak-anak turunan mereka, menjadi hamba yang taat beribadah kepada
Allah yang dilimpahi barakah.
Bagaimana
pula pedih derita siksa yang dirasa keluarga Yassir, Khabbab Ibn Arats yang
diperlakukan dengan begitu biadab oleh orang-orang kafir hingga lelehan
dagingnya memadamkan nyala bara, Bilal Ibn Rabah dengan tindihan batu dan terik
menyengat di legam badannya, hingga yang menyejukkan adalah ringan hatinya
muhajirin dan anshar dalam bab berbagi dan mengajarkan menjadi sebaik-baik
pemberi. Atas dasar apa mereka begitu mudah melakukannya? Begitu mudah berkorban
semata-mata demi mengharap keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Apa yang membuat
seseorang rela berkorban entah untuk sesuatu, seseorang, hingga kepada Tuhan? Tentu
saja jawabannya, tidak lain adalah karena cinta, rupanya. Cinta adalah satu
bagian kecil dari kehidupan yang mempunyai dampak nyata yang besar.
Selasa,
12 Dzulhijjah 1440 H
0 komentar