Media sosial saat ini riuh oleh gambar-gambar para aktivis yang
menyuarakan kegelisahan rakyat belakangan ini. Di sisi lain, keriuhan itu
beralih pada satu dua sosok perwakilan mahasiswa yang wajahnya lantas memenuhi
layar kaca, lantas menjadi pencarian teratas di linimasa, lantas diulik
kehidupannya, hingga aktivitas-aktivitas hariannya. Sebagian berkata pada yang
memuja-muja mereka, jangan terlena. Berlebihan. Biasa-biasa saja. Dulu, para
pendahulunya juga sama. Mahasiswa berprestasi dan pendiri suatu organisasi. Pergerakannya
bahkan mampu menumbangkan kekuasaan tirani. Tapi kini?
Kini, memang kenapa? Tidak ada yang bisa membaca masa depan. Aku justru
melihat dari sisi lain. Menurutku, nggak ada yang salah dengan mengidolakan
kebaikan. Justru, ini merupakan kabar yang menyenangkan. Karena setidaknya,
dari peristiwa ini, kita bisa melihat pergeseran definisi keren menurut
millennial sekarang—dilihat dari representasi sosok yang sedang viral. Bahwa saat
ini, keren berarti shalih, berprestasi, santun, cerdas, kritis, logis, hafizh
(ganteng dan romantis jadi urusan belakangan, ya ga sii?). Tapi kan, menjadi
shalih(at), berprestasi, santun, cerdas, kritis, logis, ngerti Qur'an dan kenal
hadits gitu memang tugas dan kewajiban seorang muslim. Bukankah begitu? Menempatkan
ukuran-ukuran kebaikan di setiap aspek kehidupan, menurutku memang jadi hal
yang krusial. Termasuk dalam hal memilih pasangan.
Di suatu kelas filsafat, dosenku secara menyentak berkata dengan
santun, bahwa adalah sebuah penghinaan kalau perempuan dinikahi karena
kecantikannya. Kalau saat ini kamu sedang menjalin hubungan dengan seseorang
dan alasan utamamu adalah paras, apa yang akan kamu lakukan jika secara tiba-tiba wajahnya
rusak dan ia menjadi buruk rupa? Apa kamu masih memiliki cinta yang sama untuknya? Atau rasa itu pudar seiring keindahan parasnya menghilang? Tolong tanyakan pada hatimu, dan jujur pada dirimu. Kalau kamu banyak
digemari sesama hanya karena fisik semata, jangan buru-buru bangga dan besar
kepala. Kecantikan dan ketampanan adalah ‘being’, sesuatu yang memang sudah berasal dari ‘sananya’. Sama sekali bukan karena kehebatanmu. Tapi kehebatan-Nya. Apa kamu yakin, alasanmu
menyukainya, bisa mengantarmu untuk mencintai yang menciptakannya dengan porsi
yang sama?
Kekayaan, kecantikan, dan nasab, adalah being. Beda dengan ‘becoming’ yakni perilaku, kasih sayang, idealism, pola pikir, dan hal-hal lain yang menunjukkan pribadi kita karena tempaan dari berbagai pengalaman. Sekarang, semakin terang kan, bahwa segala sesuatu sebaiknya diputuskan dengan neraca kebaikan. Semoga kita senantiasa memiliki niat-niat baik, dan didekatkan dengan hal-hal baik. Panjang umur, kebaikan!
Kekayaan, kecantikan, dan nasab, adalah being. Beda dengan ‘becoming’ yakni perilaku, kasih sayang, idealism, pola pikir, dan hal-hal lain yang menunjukkan pribadi kita karena tempaan dari berbagai pengalaman. Sekarang, semakin terang kan, bahwa segala sesuatu sebaiknya diputuskan dengan neraca kebaikan. Semoga kita senantiasa memiliki niat-niat baik, dan didekatkan dengan hal-hal baik. Panjang umur, kebaikan!
--------------
*) Omong-omong untuk yang wisuda hari ini, selamat ya.
Selamat
datang pada masa dimana segala harap dan asa menjadi kesunyian masing-masing.
0 komentar