Neraca Kesedihan

By Zulfa Rahmatina - 11:50 AM


source: deviantart.com

Aku hampir tidak mempunyai ingatan tentang memiliki hewan peliharaan, kecuali ikan hias seharga seribuan yang kubeli di depan gerbang sekolah—lalu tak lama kemudian mati. Dulu sekali saat aku masih kecil, abi sempat memiliki peternakan burung puyuh petelur lumayan besar. Pamanku membuat alat penetas telur berbentuk persegi panjang dan aku masih ingat perasaanku ketika memantau kapan telur-telur puyuh di bawah lampu kuning temaram itu akan menetas. Ketika akhirnya telur burung puyuh kami menetas, aku merasakan kegembiraan meluap meski kalau dipikirkan sekarang, burung puyuh kecil yang baru menetas tanpa bulu atau dengan bulu basah tersebut rasanya terlihat menjijikkan.

Setelah dipindahkan ke kandang yang besar dan bertingkat, puyuh-puyuh itu sering menghabiskan makanannya dengan rakus. Aku tidak ingat berapa banyak abi menghabiskan pakan burung dalam sehari. Yang kutahu, pakan itu berkarung-karung banyaknya di gudang kami. Setiap pagi sebelum berangkat bekerja dengan dibantu ummi dan terkadang pamanku juga, abi telaten mengurus puyuh-puyuhnya seperti membersihkan kandang, mengecek ketersediaan air minum, juga memberi pakan dan nutrisi.

Ketika burung-burung puyuh itu semakin besar, mereka bertelur dan telur-telur itu menggelinding ke tempat yang sudah diatur sedemikian rupa. Dari seluruh tahap perkembangan burung puyuh kami, aku paling merasa excited pada fase ini. Telur-telur puyuh itu sangat banyak dan aku menawarkan diri untuk menjadi sang pemungut telur sembari berjanji akan melakukannya dengan hati-hati. Selain mengagumi banyaknya telur puyuh yang berhasil aku kumpulkan, rasanya menyenangkan bisa membuat telur ceplok mini atau menunggu ummi membuatkan sate telur puyuh manis sebagai bekal sekolahku.

Ingatan lain tentang hewan peliharaan adalah peliharaan kakekku. Di rumahnya, kakek memiliki kolam lele, burung hantu, burung kakak tua, ayam, kucing, monyet, hingga cheetah kecil yang tak lama setelah kedatangannya lalu mati—aku tidak paham di mana beliau bisa mendapatkannya. Namun, dari beragam peliharaannya itu, aku sungguh mendapat kesan yang buruk. Monyet betina yang diberi nama Jambul itu pernah menyerangku ketika aku akan bermanja-manja dengan kakekku. Tidak masuk akal ketika bahkan aku tidak menatapnya, apalagi mengganggu. Kata ummi, dia cemburu. Selain itu, aku juga merasa risih dengan kucing-kucing kakekku yang terlalu banyak—di lain sisi, karena tragedi dicakar monyet tadi, aku juga jadi takut digigit kucing.

Hingga sekarang, rasanya aku merasa sayang jika menghabiskan waktuku yang berharga untuk beramah-tamah dengan kucing. Ketika masa Strata-1 dan aku masih mengontrak dengan teman-temanku, aku bisa menjadi sangat kesal jika ada kucing milik teman satu kontrakan yang masuk ke kamar. Seperti beberapa waktu yang lalu. Ketika aku sedang tidur siang, seekor kucing kuning milik Bilal, sepupuku, tiba-tiba duduk di kursi belajarku, tepat di samping kasurku. Suaranya yang mengeong membuatku terperanjat dan aku bangun dengan kondisi hati yang sangat buruk. Dadaku berdebar-debar karena kaget sembari terheran-heran. Otakku memproses beragam alasan soal mengapa kucing tersebut bisa sampai masuk ke dalam kamarku, dan berada tepat di sisiku yang sedang terlelap. 

Keesokan harinya ketika akan berjalan-jalan di pagi hari selepas subuh, abi mendapati bahwa kucing kuning tersebut mati. Sebuah mobil melindasnya dan bangkainya tercecer. Keluargaku secara spontan berkata jika mungkin saja kemarin kucing tersebut mengeong di sampingku untuk bepamitan—mendengarnya membuat bulu kudukku meremang. Sementara itu, Bilal, anak laki-laki kecil yang saat ini sedang duduk di tahun ketiganya di SDIT itu begitu terpukul ketika mengetahui kabar tersebut. Selepas kematian kucing itu, aku sering melihatnya duduk melamun di belakang rumah. Ibunya melaporkan pada kami bahwa ia sering mendapati Bilal meneteskan air mata secara tiba-tiba karena mengingat kucingnya. Dia begitu emosional sampai kesulitan tidur dan sering mengalami mimpi buruk. Di pertengahan malam, pernah kudengar suara tangisnya meraung-raung, disusul suara ayahnya yang bertanya kepada Bilal di mana ia bisa membeli dan mendapatkan kucing yang baru. 

Bilal, kata sepupuku yang lain, juga menuangkan kesedihannya dengan menuliskan surat untuk kucing tersebut berisi doa dan harapan-harapan baik. Surat itu ditempelkan di kamarnya, dan ketika melihatnya kembali, dia selalu tak sampai hati. Hari-hari menyedihkan itu berlangsung selama beberapa waktu hingga Allaah mendatangkan tiga anak kucing beserta induknya—sesuatu yang berangsur-angsur mengembalikan keceriaan Bilal seperti sedia kala. Kucing Bilal, yang saat ini sering sekali main ke dapurku saat aku sedang meracik sesuatu, kini berjumlah lima. Namanya Bleky, sebagai kepala keluarga. Mama Tompel, ibundanya. Serta Kaka, Moli-moli, dan Febri, anak-anaknya. Kemarin sore, dua pasang kelinci berwarna hitam dan putih juga resmi menjadi hewan peliharaannya. Mereka bernama Sakura dan Sasuke. 

Karena selama pandemi ini aku terus-terusan berada di rumah dan sepupu-sepupu kecilku juga sering bertandang ke rumahku, aku jadi lebih intens berinteraksi dengan mereka. Ketika mengetahui kondisi Bilal, aku sedikit geli tapi juga kasihan. Sembari berusaha mengembangkan empatiku kepada duka cita yang tengah dirasakannya, aku juga berusaha keras menahan ledakan tawaku setiap kali orang-orang dari keluarga besar kami kebetulan tahu dan lantas menceritakan bagaimana berdukanya Bilal karena ditinggal mati kucingnya. Pasalnya, aku tidak pernah mendapati hal tersebut pada diriku, atau pada adik-adik kandungku. Adik laki-lakiku pernah pula mengalami kehilangan kelinci peliharaannya, tapi dia tidak seemosional itu. Sementara kesedihanku karena duka cita yang paling dalam adalah ketika ditinggalkan oleh kakekku, dan itu, tentu saja tidak bisa disejajarkan dengan kehilangan hewan peliharaan.

Tapi rupanya aku salah.

Kita memiliki neraca kesedihan yang berbeda-beda. Ketika suatu peristiwa membuat kesedihanku memuncak di angka sembilan, peristiwa yang sama mungkin hanya berada pada taraf ke lima dalam skala emosi kesedihanmu—atau mungkin tidak terdapat emosi tersebut sama sekali. Begitu juga dengan emosi-emosi yang lain. Ketika syarat bahagiamu ada di angka sepuluh, bahagiaku mungkin hanya berada di syarat ke tujuh. Di beberapa teknik terapi psikologi, kami biasa menggunakan emotional rating scale untuk mengetahui ada di taraf berapa kesulitan tersebut dipersepsikan oleh klien.

Setiap mempelajari hasil anamnesa klien, rating scale adalah salah satu hal yang membawaku pada kesadaran bahwa tidak ada ukuran yang pasti untuk sebuah emosi—atau pada hal-hal yang lain. Masing-masing kita memiliki neraca yang berbeda-beda dan hal tersebut ada bukan untuk kita samakan. Sejak awal, ukuran kita tidak sama dan dengan hal itu, sudah selayaknya kita tidak mengukur ukuran orang lain, dengan ukuran kita—atau sebaliknya. Perbedaan yang ada membutuhkan hati yang luas agar kita mampu memaknai keberagaman, memahami bagaimana seharusnya keselarasan, juga kesadaran untuk tidak memaksakan kehendak diri dan orang. Tak perlu pula membesar-besarkan sesuatu karena takaran kita juga tidak serupa. 

Setelah menyadari hal ini, aku sangat berharap bisa menjadi manusia yang lebih bijaksana. Semoga kamu juga, ya!


  • Share:

You Might Also Like

0 komentar