source: deviantart.com |
Aku
hampir tidak mempunyai ingatan tentang memiliki hewan peliharaan, kecuali ikan
hias seharga seribuan yang kubeli di depan gerbang sekolah—lalu tak lama kemudian mati.
Dulu sekali saat aku masih kecil, abi sempat memiliki peternakan burung puyuh petelur
lumayan besar. Pamanku membuat alat penetas telur berbentuk persegi panjang dan aku masih ingat perasaanku ketika memantau kapan telur-telur puyuh di bawah lampu kuning temaram itu akan menetas. Ketika
akhirnya telur burung puyuh kami menetas, aku merasakan kegembiraan meluap meski kalau dipikirkan
sekarang, burung puyuh kecil yang baru menetas tanpa bulu atau dengan bulu basah tersebut rasanya terlihat
menjijikkan.
Setelah
dipindahkan ke kandang yang besar dan bertingkat, puyuh-puyuh itu sering menghabiskan makanannya dengan rakus. Aku tidak ingat
berapa banyak abi menghabiskan pakan burung dalam sehari. Yang kutahu, pakan
itu berkarung-karung banyaknya di gudang kami. Setiap pagi sebelum berangkat
bekerja dengan dibantu ummi dan terkadang pamanku juga, abi telaten mengurus
puyuh-puyuhnya seperti membersihkan kandang, mengecek ketersediaan air minum, juga
memberi pakan dan nutrisi.
Ketika
burung-burung puyuh itu semakin besar, mereka bertelur dan telur-telur itu menggelinding
ke tempat yang sudah diatur sedemikian rupa. Dari seluruh tahap perkembangan
burung puyuh kami, aku paling merasa excited pada fase ini. Telur-telur
puyuh itu sangat banyak dan aku menawarkan diri untuk menjadi sang pemungut telur sembari berjanji akan melakukannya dengan hati-hati. Selain mengagumi
banyaknya telur puyuh yang berhasil aku kumpulkan, rasanya menyenangkan bisa
membuat telur ceplok mini atau menunggu ummi membuatkan sate telur puyuh manis sebagai
bekal sekolahku.
Ingatan
lain tentang hewan peliharaan adalah peliharaan kakekku. Di rumahnya, kakek
memiliki kolam lele, burung hantu, burung kakak tua, ayam, kucing, monyet, hingga
cheetah kecil yang tak lama setelah kedatangannya lalu mati—aku tidak paham di
mana beliau bisa mendapatkannya. Namun, dari beragam peliharaannya itu, aku
sungguh mendapat kesan yang buruk. Monyet betina yang diberi nama Jambul itu
pernah menyerangku ketika aku akan bermanja-manja dengan kakekku. Tidak masuk akal ketika bahkan aku tidak menatapnya, apalagi mengganggu. Kata ummi, dia cemburu. Selain itu,
aku juga merasa risih dengan kucing-kucing kakekku yang terlalu banyak—di lain sisi,
karena tragedi dicakar monyet tadi, aku juga jadi takut digigit kucing.
Hingga
sekarang, rasanya aku merasa sayang jika menghabiskan waktuku yang berharga untuk beramah-tamah dengan kucing. Ketika masa Strata-1 dan aku masih mengontrak dengan
teman-temanku, aku bisa menjadi sangat kesal jika ada kucing milik teman satu kontrakan yang masuk ke kamar. Seperti beberapa waktu yang lalu. Ketika aku sedang tidur siang,
seekor kucing kuning milik Bilal, sepupuku, tiba-tiba duduk di kursi belajarku,
tepat di samping kasurku. Suaranya yang mengeong membuatku terperanjat dan aku
bangun dengan kondisi hati yang sangat buruk. Dadaku berdebar-debar karena
kaget sembari terheran-heran. Otakku memproses beragam alasan soal mengapa kucing tersebut bisa sampai masuk ke dalam
kamarku, dan berada tepat di sisiku yang sedang terlelap.
Keesokan
harinya ketika akan berjalan-jalan di pagi hari selepas subuh, abi mendapati bahwa kucing kuning tersebut mati. Sebuah
mobil melindasnya dan bangkainya tercecer. Keluargaku secara spontan berkata
jika mungkin saja kemarin kucing tersebut mengeong di sampingku untuk bepamitan—mendengarnya
membuat bulu kudukku meremang. Sementara itu, Bilal, anak laki-laki kecil yang saat
ini sedang duduk di tahun ketiganya di SDIT itu begitu terpukul ketika
mengetahui kabar tersebut. Selepas kematian kucing itu, aku sering melihatnya
duduk melamun di belakang rumah. Ibunya melaporkan pada kami bahwa ia sering mendapati Bilal meneteskan air mata secara tiba-tiba karena mengingat kucingnya. Dia begitu
emosional sampai kesulitan tidur dan sering mengalami mimpi buruk. Di pertengahan
malam, pernah kudengar suara tangisnya meraung-raung, disusul suara ayahnya
yang bertanya kepada Bilal di mana ia bisa membeli dan mendapatkan kucing yang
baru.
Bilal, kata sepupuku yang lain, juga menuangkan kesedihannya dengan menuliskan surat untuk kucing tersebut berisi doa dan harapan-harapan baik. Surat itu ditempelkan di kamarnya, dan ketika melihatnya kembali, dia selalu tak sampai hati. Hari-hari menyedihkan itu berlangsung selama beberapa waktu hingga Allaah mendatangkan tiga anak kucing beserta induknya—sesuatu yang berangsur-angsur mengembalikan keceriaan Bilal seperti sedia kala. Kucing Bilal, yang saat ini sering sekali main ke dapurku saat aku sedang meracik sesuatu, kini berjumlah lima. Namanya Bleky, sebagai kepala keluarga. Mama Tompel, ibundanya. Serta Kaka, Moli-moli, dan Febri, anak-anaknya. Kemarin sore, dua pasang kelinci berwarna hitam dan putih juga resmi menjadi hewan peliharaannya. Mereka bernama Sakura dan Sasuke.
Bilal, kata sepupuku yang lain, juga menuangkan kesedihannya dengan menuliskan surat untuk kucing tersebut berisi doa dan harapan-harapan baik. Surat itu ditempelkan di kamarnya, dan ketika melihatnya kembali, dia selalu tak sampai hati. Hari-hari menyedihkan itu berlangsung selama beberapa waktu hingga Allaah mendatangkan tiga anak kucing beserta induknya—sesuatu yang berangsur-angsur mengembalikan keceriaan Bilal seperti sedia kala. Kucing Bilal, yang saat ini sering sekali main ke dapurku saat aku sedang meracik sesuatu, kini berjumlah lima. Namanya Bleky, sebagai kepala keluarga. Mama Tompel, ibundanya. Serta Kaka, Moli-moli, dan Febri, anak-anaknya. Kemarin sore, dua pasang kelinci berwarna hitam dan putih juga resmi menjadi hewan peliharaannya. Mereka bernama Sakura dan Sasuke.
Karena selama pandemi ini aku terus-terusan berada di rumah dan sepupu-sepupu kecilku juga
sering bertandang ke rumahku, aku jadi lebih intens berinteraksi dengan mereka.
Ketika mengetahui kondisi Bilal, aku sedikit geli tapi juga kasihan. Sembari
berusaha mengembangkan empatiku kepada duka cita yang tengah dirasakannya, aku juga berusaha keras menahan ledakan tawaku setiap kali orang-orang dari keluarga besar kami kebetulan tahu
dan lantas menceritakan bagaimana berdukanya Bilal karena ditinggal mati kucingnya. Pasalnya,
aku tidak pernah mendapati hal tersebut pada diriku, atau pada adik-adik
kandungku. Adik laki-lakiku pernah pula mengalami kehilangan kelinci peliharaannya, tapi dia tidak seemosional itu. Sementara kesedihanku karena duka cita yang paling dalam adalah ketika
ditinggalkan oleh kakekku, dan itu, tentu saja tidak bisa disejajarkan dengan
kehilangan hewan peliharaan.
Tapi rupanya aku salah.
Tapi rupanya aku salah.
Kita
memiliki neraca kesedihan yang berbeda-beda. Ketika suatu peristiwa membuat
kesedihanku memuncak di angka sembilan, peristiwa yang sama mungkin hanya
berada pada taraf ke lima dalam skala emosi kesedihanmu—atau mungkin tidak
terdapat emosi tersebut sama sekali. Begitu juga dengan emosi-emosi yang lain.
Ketika syarat bahagiamu ada di angka sepuluh, bahagiaku mungkin hanya berada di
syarat ke tujuh. Di beberapa teknik terapi psikologi, kami biasa menggunakan emotional rating scale untuk mengetahui ada di taraf berapa kesulitan tersebut dipersepsikan oleh klien.
Setiap mempelajari hasil anamnesa klien, rating scale adalah salah satu hal yang membawaku pada kesadaran bahwa tidak ada ukuran yang pasti untuk sebuah emosi—atau pada hal-hal yang lain. Masing-masing kita memiliki neraca yang berbeda-beda dan hal tersebut ada bukan untuk kita samakan. Sejak awal, ukuran kita tidak sama dan dengan hal itu, sudah selayaknya kita tidak mengukur ukuran orang lain, dengan ukuran kita—atau sebaliknya. Perbedaan yang ada membutuhkan hati yang luas agar kita mampu memaknai keberagaman, memahami bagaimana seharusnya keselarasan, juga kesadaran untuk tidak memaksakan kehendak diri dan orang. Tak perlu pula membesar-besarkan sesuatu karena takaran kita juga tidak serupa.
Setiap mempelajari hasil anamnesa klien, rating scale adalah salah satu hal yang membawaku pada kesadaran bahwa tidak ada ukuran yang pasti untuk sebuah emosi—atau pada hal-hal yang lain. Masing-masing kita memiliki neraca yang berbeda-beda dan hal tersebut ada bukan untuk kita samakan. Sejak awal, ukuran kita tidak sama dan dengan hal itu, sudah selayaknya kita tidak mengukur ukuran orang lain, dengan ukuran kita—atau sebaliknya. Perbedaan yang ada membutuhkan hati yang luas agar kita mampu memaknai keberagaman, memahami bagaimana seharusnya keselarasan, juga kesadaran untuk tidak memaksakan kehendak diri dan orang. Tak perlu pula membesar-besarkan sesuatu karena takaran kita juga tidak serupa.
Setelah menyadari hal ini, aku sangat berharap bisa menjadi manusia yang lebih bijaksana. Semoga kamu juga, ya!
0 komentar