Orang Bilang, Ayah Teroris

By Zulfa Rahmatina - 11:15 AM

Mukhlas rahimahullah dan keluarga

Aku dinikahkan dalam usia muda, sangat muda malahan. Sembilan belas di ambang dua puluh tahun. Teman-teman sekolah masih sibuk bergelut di bangku kuliah. Tidak berarti aku tidak mendapat rezeki kecerdasan dari Ilahi. Bukan pula bermakna aku anak pintar … biasa-biasa saja.

Awalnya hanya pertanyaan Ayah tentang siapa nanti suamiku. Aku menanggapi dengan gaya zaman anak modern, “Ingin cari sendiri!”. Namun Ayah ngotot dan berargumen bahwa mencari dan menentukan suami anak perempuannya adalah tugasnya sebagai ayah. Kami sempat perang argumen, bahkan sempat juga membuat Ibu panik. Akhirnya, aku mengalah. Pasalnya, argumen Ayah dikuatkan dengan kalamullah dan sabda Rasulullah SAW. Tetapi kuikat “kekalahan” itu dengan syarat.

“Pertama, dia mestilah berilmu, dan kedua, nanti saya tidak dilarang untuk bekerja.”

“Okey!!” mantap Ayah menyambut dengan menyungging senyum menang. Ibu mengurut dada.

---

Itulah salah satu penggalan kisah di sub bab Suami Seharum Wangi Kesturi dalam buku Orang Bilang Ayah Teroris karya Paridah Abas, istri Ali Ghufron alias Mukhlas terpidana mati kasus bom Bali. Melalui sekapur sirih dari penerbit, diketahui kemudian pandangan sang suami saat suatu ketika, Ghufron pulang dari Malaysia. Ia bercerita ihwal pernikahannya dengan gadis negeri Jiran. Kisahnya berbunga-bunga, mengekspresikan kebahagiaan yang sangat. Dengan modal US$100, hasil ganti rugi barangnya yang hilang di pesawat saat pulang dari Pakistan, ia melamar gadis belia atas saran ayah si gadis.


Kepada Ali Ghufron, ayah si gadis punya alasan kenapa memilih dirinya; yang tidak ganteng, yang hanya cah ndeso dari negeri pengekspor TKI itu. Menurutnya, anak gadisnya cerdas; berwatak keras; dan hanya tunduk dengan ilmu. Karenanya, ia harus bersuamikan orang yang memiliki ilmu. Dan Ali Ghufron dinilai memenuhi syarat itu. Begitulah, Ali Ghufron kemudian memiliki keyakinan bahwa masa awal menikah adalah masa emas (golden age) untuk mewarnai sang istri. Karenanya, 3 hari setelah pernikahan, ia pamit kepada mertua untuk berpindah dari rumah yang telah mereka sediakan, menuju rumah kontrakan yang kelewat sederhana.


Ali Ghufron kemudian mengurung diri untuk mentarbiyah “santriwati” baru itu selama sebulan. Ia hanya keluar untuk shalat lima waktu, belanja, dan silaturahmi. Ia tidak bekerja mencari nafkah karena persediaan belanja masih cukup. Baginya, yang paling penting ketika itu hanya “mewarnai” istrinya. Terjadilah interaksi yang intens. Ali Ghufron menerapkan tarbiyah pada banyak aspek; fikriyyah, ruhiyyah, diniyyah. Ada pelajaran akidah, ibadah, minhajul hayah, dan materi lain.


Transfer “energi” itu berlangsung relatif cepat. Si istri yang katanya penggemar tulisan A Hassan dan suka berdebat itu menjadi memahami arah dan tujuan hidup sang suami, termasuk segala risikonya. Ia jadi lebih memahami hak dan kewajibannya; kapan harus mendengar dan taat; kapan harus bermusyawarah; apa rahasia yang boleh ia tahu dan tidak boleh tahu; kapan ia boleh menahan kepergian suami dan kapan mesti merelakan; sahabat suami yang mana yang mesti ia tahu dan mana yang tidak mesti tahu; kapan boleh menyatakan ketidaksukaan pada suami; kapan ia boleh menuntut suami; dan kapan harus bersabar.


Pertama kali membaca buku ini adalah saat saya berada di asrama waktu berada di tsanawiyyah. Suatu ketika, pada saat liburan, saya menemukan buku ini di tumpukan rak buku. Ummi yang mengaku mendapatkannya hadiah dari seorang sahabat mengizinkan saya memiliki buku ini. Karenanya Ummi menuliskan nama saya di depan halaman buku (yang halamannya sudah sobek) juga di belakang buku ketika tahu saya akan membawanya ke asrama. Jadilah buku itu bergilir hingga ke ustadzah-ustadzah terdekat saya yang pada saat itu saya khawatiri akan memandang remeh buku itu karena merasa kami tidak memiliki ideologi yang sama.


Bocah yang saat membaca pertama kali saja sudah terkagum-kagum itu nyatanya bertambah kekagumannya ketika membaca ulang di usia ini, di kondisi ini, ketika kemudian saya sedikit mengantongi ilmu-ilmu Psikologi—khususnya parenting, yang akhir-akhir ini gemar sekali saya menambah referensi wawasan otak saya—juga koleksi saya—melalui buku-buku sirah dan karya-karya Mohamad Fauzil Adhim hingga Ayah Edy. Jika disebut resensi, inilah resensi itu. Jika disebut ulasan, tak banyak yang bisa saya ulas di sini selain karena saya khawatir jika panjang tulisan ini nantinya akan lebih banyak dari buku itu sendiri sebab begitu melimpah apa yang bisa saya pelajari darinya.


Lupakan keriuhan kasus Bom Bali dan argumen-argumen tentang siapa yang benar dan salah. Saya tidak akan membahas itu. Yang perlu kalian korek kembali dalam ingatan, bahwa saat Mukhlas akhirnya dibui, Paridah saat itu juga terkena kasus pelanggaran keimigrasian, di negeri yang asing, dengan orang-orang asing (Ketika Mukhlas ditangkap, Paridah dan anak-anaknya berada di Klaten sedangkan keluarga Mukhlas asli Tenggulun, Lamongan). Jadi, mari kita bayangkan kondisi tersebut. Ketika ia seorang diri. Ketika banyak wartawan yang ‘memburu’ dirinya sendiri, atau ketika ia disangkut-sangkutkan dengan kasus sang suami.


Paridah membuka tulisannya dengan ketegangan pasca interogasi, melompat menelusuri bagian-bagian rumah lengkap dengan perabot serta jendela yang ditutup karena sering ‘dijenguk’ anak-anak tetangga, kemudian kembali di depan anak-anak yang menatapnya penuh rasa ingin tahu terhadap apa yang Ummi—juga abinya—alami di polsek. Bagaimana Paridah mampu menjawab rasa penasaran kelima—saat itu masih lima—anaknya membuat hati saya begitu tersentuh dan semakin yakin jika ketika itu saya sedang membaca tulisan dari seorang wanita yang tangguh, sabar dan cerdas. Bagaimana tidak, menurutmu apakah mudah menerangkan kepada anak-anak kecil—usia sulungnya saat itu baru belasan tahun—tentang ideologi abi mereka? Apakah perbincangan di polsek adalah konsumsi anak-anak? Bagaimana mengatasi stigma sebagai istri teroris—juga anak teroris bagi anak-anak mereka. Menurutmu semua itu mudah?


Tapi tanpa berbohong, Paridah melewati semuanya. Terlebih ketika si tengah ‘mengingatkan’ nasehat yang suatu ketika diberikan sang Abi bahwa, “Siapa yang mendiamkan kesalahan, atau kemaksiatan, sama dengan syaithan bisu,” ‘Peringatan’ itu terlontar dari bibir anaknya ketika Paridah hanya diam saat si sulung dan abang menjelaskan kepada si bungsu (2 tahun) yang melihat potongan foto Mukhlas di koran, dijelaskan oleh kakak-kakaknya saat itu, Abi sedang melancong di Bali dan polisi yang mengapitnya adalah bodyguard Abi! Dengan sabar, ia lantas menerangkan apa-apa yang bisa diketahui dan tidak oleh anak seumur adiknya kepada si tengah.


Paridah menyelipkan, bagaimana mereka mendidik anak-anaknya untuk mengatasi masalah dengan pikiran, bukan air mata. Bagaimana mereka menyodorkan surat kabar dan beragam bacaan sedari dini kepada anak-anak agar mereka tahu kondisi ummat sehingga anak-anak lebih menghafal dan mengantongi nama-nama tokoh lebih banyak daripada yang tertulis di buku-buku pelajaran. Bagaimana mereka mengizinkan anak-anaknya bertanya apa saja kepada ummi abinya tentu dengan adab-adab yang harus diperhatikannya, mengkaji pertanyaan yang akan diajukan, situasi saat bertanya, termasuk kondisi orang yang akan ditanya. Bagaimana kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan keluarga tersebut di waktu luang, bagaimana perhatian mereka terhadap Qur’an dan pendidikan, lebih-lebih akhlak, membuatku tak henti berdecak. Seperti di awal, semua ini tentulah tak lepas dari shibgah (celupan) seorang Ali Ghufron, sebagai suami, sebagai ayah, sebagai pribadi yang mengerti untuk apa setiap hidup dan mati.


Di suatu kesempatan, Paridah mengatakan, “Ternyata suamiku bukan sembarang manusia. Ia mempunyai arah, tujuan dan cita-cita yang sangat mulia. Ternyata suamiku bukan sekadar binatang ternak berdasi, yang kerjanya hanya menghabiskan nasi dan mengumbar nafsu birahi,”. Ia juga menerangkan bahwa pernikahannya didasarkan atas prinsip yang sama, yaitu melahirkan generasi sebagaimana yang dikatakan Sayyid Quthb, Jilun Qur'anun Farid (generasi Qurani yang unik). Maka tak heran, mengapa Paridah saat itu akhirnya mantap menerima pinangan Ali Ghufron, lelaki ‘biasa-biasa saja’ itu. Lelaki biasa-biasa yang kemudian namanya menggemparkan bahkan publik internasional. 


Dalam kasus yang sama, tak perlu juga ditanya agaknya, mengapa Suciwati mampu mengiringi perjalanan perjuangan seorang aktivis HAM, Munir Said Thalib. Tak perlu menduga-duga mengapa Gulbahar berbesar hati menerima Mehmed II, yang kemudian dikenal sebagai Al Fatih Konstantinopel. Tak perlu mereka-reka jalan peristiwa ketika bisa saja Najmudin Ayyub menyegerakan menikah, namun ia berkenenan ‘menunggu’ sehingga kegelisahan akan Al Quds berikut penantian yang lama terhadap pendamping hidup yang tepat itu memberikan keberkahan baginya yaitu seorang istri yang mampu menggenggam tangannya menuju syurga dan dari rahimnya lahirlah seorang kesatria: Shalahuddin Al Ayyubi, Al Fatihnya Palestina. Tak usahla terheran-heran mengapa Bunda Hajar rela ditinggalkan Ibrahim di padang yang gersang dengan keyakinannya, “Kalau benar ini perintah Allah, tentulah Ia takkan pernah menyia-nyiakan hamba-Nya!”


Setiap kita adalah cerminan, dan jawaban terbaik dari menyatunya dua hati adalah kesamaan visi atau ghoyah (tujuan). Ya, bukankah kesamaan tujuan adalah awal untuk memulai perjalanan? Mari kita garis bawahi lebih jelas. Visi dua hati tersebut, tentu saja harus berlandaskan iman. Sebab, “Jika pernikahan hanya dilandasi dengan rasa saling mencintai,” begitu pesan Umar ibn Khaththab, “lantas di mana kedudukan iman?” Pertemuan kebaikan, tidak hanya saling menyatukan keduanya saja, tapi menghasilkan dari pertemuan itu, kebaikan yang lain. Pejuang, hanya akan dipertemukan dengan pejuang. Hanya akan dilahirkan oleh para pejuang, dan melahirkan pejuang lain. Betapa menakjubkan bukan kolaborasi yang dilakukan oleh orang-orang baik? Jadi, apa visi hidupmu? Apa visi pernikahanmu? Jawab saja di dalam hati. Tidak usah diumbar-umbar di akun media sosialmu, tidak perlu semua orang tahu. Jaga kemuliaanmu sebagai muslimah. Biarkan dia syahdu dalam doamu, atau, salurkan saja dia dengan cara yang baik dan tepat! :)

  • Share:

You Might Also Like

1 komentar

  1. Maaf, mau bertanya. Cara mendapatkan buku itu dimana?

    Terimakasih atas tanggapannya.

    ReplyDelete