Mahasiswa Psikologi pasti masyhur dengan kalimat Watson yang
berkata, “Bawakan kepadaku 10 orang anak, dan aku akan menjadikan mereka
sebagaimana sekehendakku.” Sesumbar itu, meski tidak pernah dilakukannya,
dibuktikan dengan hal lain yaitu eksperimen kontroversial dan tidak etis
terhadap si kecil Albert serta tikus putihnya di Johns Hopkins University. John
B. Watson dengan aliran behaviorismnya seolah ingin membuka mata kita bahwa
dengan langkah yang cermat dan tepat—rangsangan terkondisi—pengkondisian klasik
dapat diterapkan di berbagai hal, di berbagai emosi dan perasaan.
Teori tabula rasa—jika saya tidak salah ingat siapa yang lebih
dahulu muncul—susul menyusul untuk saling membenarkan. Kertas putih adalah
putih. Bersih. Suci. Berisi apakah ia nanti, coretan acak atau lukisan tanpa
bercak, tergantung bagaimana kertas itu berada. Di tangan siapa, dalam
lingkungan seperti apa.
Nabi pun turut memberi permisalan dalam berkawan. Jika dengan
penjual minyak wangi, bisa saja kita turut mewangi kasturi. Pun pada pandai
besi. Jika bukan terpercik api, bau sangit sudah pasti membersamai. Semua
seakan-akan saling setuju jika lingkungan memberi pengaruh begitu kuat. Meski
faktor individu dan karakter masing-masing sering dijadikan dalih untuk
mematahkan pendapat ini, saya masih setuju bahwa apa-apa yang melingkupi kita—atau
sesuatu yang membuat kita tertarik—adalah satu alasan besar mengapa kita turut
menjadi bagian di dalamnya.
Sampai di sini, mari kita kaitkan benang merah dari semua ini. Jika
lingkungan begitu penting, maka hal ini pula yang perlu diperhatikan ketika
ingin memperbarui peradaban. Generasi Islam yang gemilang bisa melihat Mehmed
II sebagai teladannya. Al Fatih kecil yang rupanya dikeluhkan ayahnya, Sultan
Murad II, sebagai anak kecil yang tidak mau belajar itu rupanya menjadi
pembukti nubuwwah mengenai sebaik-baik pemimpin dengan sebaik-baik pasukan
penakluk Konstantinopel. Apa pasal? Lingkungan. Tak hanya diam, Muhammad Al
Fatih menjadi besar karena sang ayah mencarikan Al Fatih lingkungan yang tepat.
Ialah Sultan Murad II, Ahmad bin Ismail al-Kurani, dan Aq Syamsuddin ‘lingkungan’
yang tepat itu. Mereka membuat anak yang tidak istimewa di masa kecilnya,
menjadi seseorang yang besar dengan revolusi spiritual berkat lingkungan yang
tepat.
Konon, penelitian yang dikepalai oleh psikolog sosial David
McCleland mengungkap bahwa etos sebuah bangsa tergantung pada cerita yang
merasuki alam khayal kanak-kanak. Maka bukankah sudah saatnya bagi kita mengembalikan kebanggaan kita pada pahlawan-pahlawan dengan sosok
nyata yang meraksasa di langit sejarah? Bukan lagi pahlawan rekaan yang mengada-ada. Sementara sudah jelas-jelas, “Generasi ini,” kata Imam Malik, “Tidak akan baik, kecuali
dengan apa-apa yang membuat generasi awalnya menjadi baik.”
Sebagai generasi Islam, kita tentu harus berkaca pada generasi-generasi terbaik. Maka disebutkan dalam Lapis-Lapis Keberkahan, sudah seharusnya sosok yang sigap, tenang dan terukur akan melihat Abu ‘Ubaidah sebagai cermin permatanya. Maka pribadi yang pendiam, tekun, dan tak suka kemasyhuran akan melihat Sa’id bin Zaid sebagai cermin permatanya. Maka sosok yang tangkas, perwira dan pendoa akan melihat Sa’d bin Abi Waqqash sebagai cermin permatanya. Maka bagi pribadi mandiri, telaten, dan sederhana akan melihat Abdurrohman bin Auf. Sosok pelindung, cekatan, dan jantan akan melihat Az-Zubair ibn Al-‘Awwam. Dan pribadi yang tabah, tangguh dan bersemangat akan melihat Thalhah ibn ‘Ubaidillah sebagai cermin permatanya.
Sebagai generasi Islam, kita tentu harus berkaca pada generasi-generasi terbaik. Maka disebutkan dalam Lapis-Lapis Keberkahan, sudah seharusnya sosok yang sigap, tenang dan terukur akan melihat Abu ‘Ubaidah sebagai cermin permatanya. Maka pribadi yang pendiam, tekun, dan tak suka kemasyhuran akan melihat Sa’id bin Zaid sebagai cermin permatanya. Maka sosok yang tangkas, perwira dan pendoa akan melihat Sa’d bin Abi Waqqash sebagai cermin permatanya. Maka bagi pribadi mandiri, telaten, dan sederhana akan melihat Abdurrohman bin Auf. Sosok pelindung, cekatan, dan jantan akan melihat Az-Zubair ibn Al-‘Awwam. Dan pribadi yang tabah, tangguh dan bersemangat akan melihat Thalhah ibn ‘Ubaidillah sebagai cermin permatanya.
Itulah mengapa untuk menyiapkan generasi terbaik, mari terlebih dahulu
menjadi generasi yang baik itu. Dengan ikhtiar terbaik, belajar yang baik,
mencintai hal-hal baik, menyegerakan yang baik, makan minum yang baik, serta
bersenang-senang dengan baik. Pada akhirnya, hanya ada dua pilihan yang tersedia jika menginginkan hal tersebut terjadi. Pilihan itu ialah; bergerak atau
tergantikan. Jadi, siapkah kita mewakafkan diri di Jalan Allah dan bersama-sama mengembalikan peradaban serta generasi
terbaik ummat ini?
0 komentar