In frame: Shalahuddin As Sauqi Alwi |
“Siapa yang menangis kemarin?” tanyaku pada dua remaja laki-laki di depanku. Hening. Kuulang pertanyaan. “Ya, Diki menangis,” akunya setelah mencoba mengelak, “tapi sebentar.” Cepat-cepat dia menambahi. Kugigit bibir bawahku untuk menahan senyum. Aku bukan tidak tahu jika tempo hari di saluran telepon, dia menangis dan mengadukan dadanya yang sakit. Saat bercerita padaku, Ummi gusar. Ya, Ummi tahu Diki hanya mengalami homesick dan menurutnya aku harus segera menemuinya, lantas menguatkan hatinya. Dan aku sungguh tahu, sakit di dadanya itu pasti karena dadanya sudah terlalu sesak dipukul-pukul rindu. Tenang saja, Sayang, tidak ada jarak yang jauh bagi sebuah doa.
___
Belakangan di beranda media sosial, banyak praktisi, penulis, bahkan ibu-ibu rumah tangga yang menyuarakan kapan sebaiknya anak masuk ke pesantren. Ada yang berpendapat, sebaiknya mengutamakan kemampuan finansial saja. Tidak memasukkan anak ke lembaga pendidikan yang biayanya melebihi pendapatan, sebab nanti dzolim, dan ilmunya tidak berkah. Tentu saja saya sepakat, bahwa tawakkal ada setelah ikhtiar. Tapi hitung-hitungan Allah tidak sama dengan hitung-hitungan manusia. Ingatlah ketika seorang ibu tunggal berkata pada putranya, “Nak, tuntutlah ilmu. Sa akfika bi mighzaly,” dengan alat tenun ini, ibu akan mencukupi semua kebutuhanmu. Sehingga selain bekerja, dan nasihat-nasihat yang senantiasa mengalir mengiringi perjalanan anaknya itu, kelak kita dengar nama besar Sufyan Ats Tsauri, putra dari seorang ibu yang luar biasa. Cukup finansial saja tidak menjamin keberkahan serta merta diperoleh.
Ada yang menebalkan inti dari memasukkan ke pesantren adalah
mengenai tugas orang tua untuk mengantarkan anak agar menjadi mukallaf tepat
pada waktunya, yaitu orang yang telah dikenai taklif atau bebanan syari’at
secara sempurna, dan sudah dianggap atau sudah dituntut untuk menjadi manusia
dewasa. Ada yang memaparkan usia ketika Anas bin Malik, As Syafi'i meninggalkan
ibunda untuk membersamai orang-orang yang bertaqwa dan mengambil ilmu darinya, sebagai pertimbangan orang tua untuk melakukan hal yang sama.
Ada yang meributkan usia bonding atau kelekatan anak dengan orang tua,
meributkan persepsi tentang kemandirian, tentang lingkungan yang baik, tentang
kondisi psikis anak, tentang kemungkinan masa depan, serta berbagai hal
lainnya.
Menurut hemat saya—yang tentu saja belum punya anak, tetapi in syaa
Allah sudah belajar sedikit tentang ilmu dien dan psikologi—hal paling vital
yang mungkin sering terlupa dari orang tua adalah bermusyawarah dengan anak.
Kita kadang terlalu yakin apa yang kita putuskan adalah yang terbaik,
lebih-lebih mendasarkan pada betapa sudah panjangnya kita mengarungi lika-liku
kehidupan daripada yang telah dilalui seorang anak. Jika benar seperti ini,
sudahilah. Mulailah melibatkan anak dalam setiap urusan dan pengambilan keputusan. Apalagi
keputusan tersebut berpengaruh besar terhadap diri dan kehidupannya. Kita
mungkin bisa bertanya sekolah seperti apa yang diinginkannya, apa alasannya
memilih sekolah tersebut, bisa kita tanya pula rencana masa depannya. Di momen
itu, kita bisa menawarkan sekolah yang kita ingin dia menuntut ilmu di
dalamnya. Memaparkan baik dan buruknya. Lantas di akhir, kita bisa bersama-sama
mengambil keputusan dengan bijak dan diterima dengan kelapangan dan ketetapan
hati yang sama.
Bukan soal mahal dan murahnya biaya, bukan soal jauh dan dekatnya
jarak, bukan soal kisaran usia. Tapi lebih bagaimana kita menentukan lembaga
pendidikan untuk anak, selaras dengan tujuan dan niat awal kita. Sehingga
selain mempercayakan penuh anak terutama kepada Allah, lembaga pendidikan
pilihan kita tersebut mampu bersama-sama mencapai tujuan utama kita untuk
mencetak generasi terbaik dengan tauladan generasi-generasi terbaik di masanya.
Bukankah begitu?
0 komentar