Luka itu Pedih, dan Kita Selalu Bisa Kembali Pulih

By Zulfa Rahmatina - 6:11 PM

Satu tahun yang lalu di bulan Januari, saya sedang menjalani masa-masa sulit di mana dada saya begitu sesak dan malam-malam panjang terlewati tanpa tidur yang nyenyak. Saya tidak sedang patah hati saat itu. Tapi mengetahui tanggal ketika saya harus mempresentasikan—juga mempertanggung jawabkan—hasil penelitian skripsi yang saya tekuni beberapa bulan terakhir di depan tiga penguji, rupanya cukup mampu membuat hari-hari menuju tanggal tersebut menjadi hari yang mencekam. Saya gugup dan cemas, ekspektasi berlebih dari teman-teman soal kemampuan saya tidak membantu sedikit pun sementara respon tubuh saya adalah dada yang sesak dan hampir setiap hari saya tidak memiliki kualitas tidur yang baik.

Tahun ini, di bulan yang sama, ternyata hati saya menjadi lebih ringan. Melihat hasil studi satu semester terakhir di laman daring dengan santai bersama ummi tengah malam—setelah kami melewatkan perbincangan panjang—dengan sedikit celetukan, membuat lebih banyak tulisan tanpa dipublikasikan—di blog ini, bebas memilih apa yang ingin saya lakukan, mengetahui siapa-siapa yang menjadi sebenar-benar teman, melewatkan jeda blok psikodiagnostik dengan bermain bersama keponakan, mencoba resep baru, mengunjungi kerabat, membaca beberapa buku bermutu, dan banyak hal-hal menyenangkan lain sebagai daftar perjalanan awal tahun ini. Meski, tidak sedikit pula kegagalan yang datang bersama dengan hitungan kebahagiaan yang muncul. Seperti ketika saya merasa gagal melawan emosi saya ketika tahu saya dibicarakan dengan sangat buruk di depan orang-orang yang saya kenal dengan baik, atau ketika mengetahui nomor telepon saya diblokir oleh seseorang yang sebelumnya mengatakan hal-hal baik tentang saya di hadapan yang lain. Hanya masalah sepele, saya dijauhi dan kehilangan teman—apa lebih baik disebut kenalan saja? Kegagalan emosional rasanya terasa lebih menyakitkan. Tenang saja, tapi di sini bagian mengejutkannya.

Suatu ketika saat seorang teman dari jurusan Kedokteran mengunjungi kamar kos kecil saya untuk membungkus sebuah kado pernikahan, ia secara tak sengaja memperhatikan seonggok buku oranye di antara tumpukan buku-buku teks psikologi saya. Sebuah buku populer dari seorang blogger ternama. Sedikit tertawa, dia bertanya pendapat saya mengenai buku itu dan mengakhiri kalimatnya dengan, “Aku tadinya ingin beli, tetapi setelah kupikir aku sudah bodo amat, rasanya jadi tidak perlu,” saya ikut tertawa. Bersama dengan kawan tersebut di banyak program kerja rasanya cukup untuk membuat kami mengenal tabiat satu sama lain dengan baik—setidaknya daripada orang lain yang hanya mengetahui feeds media sosial kami dan berjumpa di beberapa pertemuan dalam kelas perkuliahan.

Bagian ini yang ingin saya katakan dari awal: secara mengejutkan, saya menyepakati banyak hal yang ditulis oleh Mark Manson dalam buku pertamanya yang memiliki penjualan terlaris versi New York Times dan Globe and Mail: The Subtle Art of Not Giving a F*ck. Sebuah seni untuk bersikap bodo amat, ketika diterjemahkan. Rasanya, menyepakati konsep bodo amat yang ditawarkan Mark kepada salah satu pembacanya yang konservatif sepertiku terasa sangat mustahil. Tapi begitulah takdir bekerja. Begitu segala dalam hidup berlaku. Hidup adalah tentang tidak mengetahui apa pun dan kemudian melakukan sesuatu, apa pun yang terjadi.

Saya menyepakati pemikiran Mark ketika ia memaparkan tentang nilai-nilai yang buruk. Ketakutan untuk gagal, kebanyakan datang karena kesalahan dalam memilih nilai-nilai yang buruk. Seperti ketika mengukur diri kita dengan, “Membuat siapa pun yang saya temui, menyukai diri saya,” kecemasan akan datang karena kegagalan seratus persen ditentukan oleh tindakan orang lain, bukan tindakan diri kita sendiri. Kita tidak memiliki kendali; karena penghargaan diri kita ada pada penilaian orang lain. Lain halnya menurut Mark, jika kita mengadopsi ukuran “Memperbaiki kehidupan sosial saya,” kita dapat menghidupi nilai yaitu “menjalin hubungan baik dengan orang lain” entah apa pun tanggapan orang lain tentang diri kita. Sebab, penilaian diri kita berdasar pada perilaku dan kebahagiaan kita sendiri. Nilai-nilai yang buruk, melibatkan tujuan eksternal yang nyata-nyata berada di luar kendali kita.    

Hal lain yang saya sepakati dari Mark, masih tentang nilai, adalah jika kita berorientasi pada proses. Jika ukuran nilai ‘sukses dengan standar duniawi’ adalah ‘membeli rumah dan mobil yang bagus’ dan kita menghabiskan waktu 20 tahun dengan bekerja keras untuk mewujudkannya, begitu hal-hal tersebut berhasil diraih, ukuran tadi tidak ada artinya lagi. Tujuan-tujuan konvensional seperti lulus kuliah, membeli rumah di tepi danau, menurunkan berat badan 6 kilogram, mengoleksi barang-barang branded, mencetak angka paling tinggi di suatu kelas, memiliki popularitas, dan mendapat pasangan yang rupawan, mungkin membantu, ketika kita sedang mengejar keuntungan jangka pendek dan singkat, namun jika menjadi panduan lintasan keseluruhan hidup kita, tujuan-tujuan itu begitu payah.

Saya merasa seperti tengah berbincang dengan Mark di suatu kedai. Ia memesan secangkir kopi hitam dan saya memilih susu murni dengan sedikit gula. Kami berbicang dan bersepakat bahwa bagian menyenangkan dari suatu proses, adalah deritanya. Mark menceritakan tentang hasil penelitian di tahun 1950-an oleh seorang psikolog Polandia, Kazimierz Dabrowski, soal para penyintas Perang Dunia II dan bagaimana mereka menghadapi pengalaman traumatik pasca-perang tersebut. Sebagaimana yang dikaji oleh Dabrowski mengenai para penyintas, dia mengamati sesuatu yang mengejutkan dan luar biasa. Persentase yang cukup besar di antara para penyintas meyakini jika derita dari pengalaman di masa perang, meskipun menyakitkan dan tentu saja membuat trauma, sebenarnya telah membuat mereka jauh lebih baik, lebih bertanggung jawab, dan ya, bahkan menjadi orang yang lebih bahagia. Disebutkan juga dalam penelitian tersebut, banyak orang yang menggambarkan hidup mereka sebelum perang sebagai orang yang sangat berbeda: kurang bersyukur dan tidak menghargai orang-orang yang mereka cintai, malas-malasan dan ditelan masalah remeh, menyia-nyiakan apa yang mereka terima. Pasca-perang, mereka lebih percaya diri, lebih yakin pada diri mereka sendiri, lebih bersyukur, dan tidak dirisaukan dengan hal sepele dan kerikil kecil dalam hidup.

Usai Mark bercerita, kemudian saya juga mengabarkan sebuah kisah yang melintasi abad. Mula-mula, kuawali dari kisah keluarga Yassir. Demi mempertahankan ‘tujuannya’ mereka dengan rela disiksa begitu pedih di tengah terik Makkah kala itu. Selanjutnya, ada Bilal yang dadanya ditindih batu besar di tengah panas yang membahang, Salman Al Farisi yang patah hati, dan Muhammad yang bersedih hati melihat jasad paman yang disayangi koyak di bagian hati. Orang-orang tersebut, nyatanya, tidak semakin lemah. Justru semakin kuat, kokoh, dan bertekad. Ada berbagai macam parut luka emosional yang terjadi di dunia ini. Namun, hanya beberapa yang berhasil memanfaatkan luka tersebut untuk mengubah diri mereka dengan cara yang positif dan kuat.


Seperti yang diungkap Dabrowski, rasa takut, kecemasan, serta kesedihan tidak selalu menjadi kondisi mental yang tidak diinginkan atau tidak membantu; melainkan, itu sering mewakili derita selayaknya kita butuhkan demi perkembangan jiwa kita. Menyangkal luka, sama dengan menyangkal potensi kita sendiri. Seperti ketika rasa sakit fisik membentuk tulang dan otot yang lebih kuat, sakit emosional mendorong kita untuk mengembangkan ketangguhan emosional yang lebih besar, rasa percaya diri yang lebih kuat, belas kasih yang meningkat, dan secara umum hidup yang lebih bahagia. Sekali lagi, tidak mengapa jika hari ini tidak sebaik hari kemarin. Semua orang pernah mengalaminya. Kita semua kelelahan. Kita kecewa. Kita gagal. Kita merasa begitu payah. Hati kita patah berkali-kali. Dan itu tidak apa-apa. Luka itu pedih, dan kita selalu bisa kembali pulih.   


------
Buku yang ditulis Mark Manson secara luar biasa sungguh membuat saya menjadi begitu bodo amat, bahkan ketika saya merupakan salah satu orang yang sangat terkenal berhati-hati merawat buku. Alih-alih mencorat-coret atau membubuhi kalimat demi kalimatnya dengan polpen berwarna, saya justru bodo amat melipat halaman-halaman di buku ini ketika tangan saya tidak sedang mampu menjangkau alat tulis. Akibatnya, begitu banyak halaman terlipat dan itu bukan sebagai penanda akhir bacaan saya—tapi karena bagian tersebut, memang bagus saja.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar