Satu tahun yang
lalu di bulan Januari, saya sedang menjalani masa-masa sulit di mana dada saya
begitu sesak dan malam-malam panjang terlewati tanpa tidur yang nyenyak. Saya
tidak sedang patah hati saat itu. Tapi mengetahui tanggal ketika saya harus mempresentasikan—juga
mempertanggung jawabkan—hasil penelitian skripsi yang saya tekuni beberapa
bulan terakhir di depan tiga penguji, rupanya cukup mampu membuat hari-hari
menuju tanggal tersebut menjadi hari yang mencekam. Saya gugup dan cemas,
ekspektasi berlebih dari teman-teman soal kemampuan saya tidak membantu sedikit
pun sementara respon tubuh saya adalah dada yang sesak dan hampir setiap hari
saya tidak memiliki kualitas tidur yang baik.
Tahun ini, di bulan yang sama, ternyata
hati saya menjadi lebih ringan. Melihat hasil studi satu semester terakhir di
laman daring dengan santai bersama ummi tengah malam—setelah kami melewatkan
perbincangan panjang—dengan sedikit celetukan, membuat lebih banyak tulisan
tanpa dipublikasikan—di blog ini, bebas memilih apa yang ingin saya lakukan,
mengetahui siapa-siapa yang menjadi sebenar-benar teman, melewatkan jeda blok
psikodiagnostik dengan bermain bersama keponakan, mencoba resep baru,
mengunjungi kerabat, membaca beberapa buku bermutu, dan banyak hal-hal
menyenangkan lain sebagai daftar perjalanan awal tahun ini. Meski, tidak
sedikit pula kegagalan yang datang bersama dengan hitungan kebahagiaan yang
muncul. Seperti ketika saya merasa gagal melawan emosi saya ketika tahu saya dibicarakan
dengan sangat buruk di depan orang-orang yang saya kenal dengan baik, atau
ketika mengetahui nomor telepon saya diblokir oleh seseorang yang sebelumnya
mengatakan hal-hal baik tentang saya di hadapan yang lain. Hanya masalah sepele, saya dijauhi dan
kehilangan teman—apa lebih baik disebut kenalan saja? Kegagalan emosional
rasanya terasa lebih menyakitkan. Tenang saja, tapi di sini bagian
mengejutkannya.
Suatu ketika saat seorang teman dari
jurusan Kedokteran mengunjungi kamar kos kecil saya untuk membungkus
sebuah kado pernikahan, ia secara tak sengaja memperhatikan seonggok buku oranye
di antara tumpukan buku-buku teks psikologi saya. Sebuah buku populer dari
seorang blogger ternama. Sedikit tertawa, dia bertanya pendapat saya mengenai
buku itu dan mengakhiri kalimatnya dengan, “Aku tadinya ingin beli, tetapi
setelah kupikir aku sudah bodo amat, rasanya jadi tidak perlu,”
saya ikut tertawa. Bersama dengan kawan tersebut di banyak program kerja
rasanya cukup untuk membuat kami mengenal tabiat satu sama lain dengan baik—setidaknya
daripada orang lain yang hanya mengetahui feeds media sosial kami dan berjumpa
di beberapa pertemuan dalam kelas perkuliahan.
Bagian ini yang ingin saya katakan dari
awal: secara mengejutkan, saya menyepakati banyak hal yang ditulis oleh Mark
Manson dalam buku pertamanya yang memiliki penjualan terlaris versi New York
Times dan Globe and Mail: The Subtle Art of Not Giving a F*ck. Sebuah seni
untuk bersikap bodo amat, ketika diterjemahkan. Rasanya,
menyepakati konsep bodo amat yang ditawarkan Mark kepada salah
satu pembacanya yang konservatif sepertiku terasa sangat mustahil. Tapi
begitulah takdir bekerja. Begitu segala dalam hidup berlaku. Hidup adalah
tentang tidak mengetahui apa pun dan kemudian melakukan sesuatu, apa pun yang
terjadi.
Saya menyepakati pemikiran Mark ketika ia
memaparkan tentang nilai-nilai yang buruk. Ketakutan untuk gagal, kebanyakan
datang karena kesalahan dalam memilih nilai-nilai yang buruk. Seperti ketika
mengukur diri kita dengan, “Membuat siapa pun yang saya temui, menyukai diri
saya,” kecemasan akan datang karena kegagalan seratus persen ditentukan oleh
tindakan orang lain, bukan tindakan diri kita sendiri. Kita tidak memiliki
kendali; karena penghargaan diri kita ada pada penilaian orang lain. Lain
halnya menurut Mark, jika kita mengadopsi ukuran “Memperbaiki kehidupan sosial
saya,” kita dapat menghidupi nilai yaitu “menjalin hubungan baik dengan orang
lain” entah apa pun tanggapan orang lain tentang diri kita. Sebab, penilaian
diri kita berdasar pada perilaku dan kebahagiaan kita sendiri. Nilai-nilai yang
buruk, melibatkan tujuan eksternal yang nyata-nyata berada di luar kendali
kita.
Hal lain yang saya sepakati dari Mark,
masih tentang nilai, adalah jika kita berorientasi pada proses. Jika ukuran
nilai ‘sukses dengan standar duniawi’ adalah ‘membeli rumah dan mobil yang
bagus’ dan kita menghabiskan waktu 20 tahun dengan bekerja keras untuk
mewujudkannya, begitu hal-hal tersebut berhasil diraih, ukuran tadi tidak ada
artinya lagi. Tujuan-tujuan konvensional seperti lulus kuliah, membeli rumah di
tepi danau, menurunkan berat badan 6 kilogram, mengoleksi barang-barang branded,
mencetak angka paling tinggi di suatu kelas, memiliki popularitas, dan mendapat
pasangan yang rupawan, mungkin membantu, ketika kita sedang mengejar keuntungan
jangka pendek dan singkat, namun jika menjadi panduan lintasan keseluruhan
hidup kita, tujuan-tujuan itu begitu payah.
Saya merasa seperti tengah berbincang
dengan Mark di suatu kedai. Ia memesan secangkir kopi hitam dan saya memilih
susu murni dengan sedikit gula. Kami berbicang dan bersepakat bahwa bagian
menyenangkan dari suatu proses, adalah deritanya. Mark menceritakan tentang
hasil penelitian di tahun 1950-an oleh seorang psikolog Polandia, Kazimierz
Dabrowski, soal para penyintas Perang Dunia II dan bagaimana mereka menghadapi
pengalaman traumatik pasca-perang tersebut. Sebagaimana yang dikaji oleh
Dabrowski mengenai para penyintas, dia mengamati sesuatu yang mengejutkan dan
luar biasa. Persentase yang cukup besar di antara para penyintas meyakini jika
derita dari pengalaman di masa perang, meskipun menyakitkan dan tentu saja
membuat trauma, sebenarnya telah membuat mereka jauh lebih baik, lebih
bertanggung jawab, dan ya, bahkan menjadi orang yang lebih bahagia. Disebutkan
juga dalam penelitian tersebut, banyak orang yang menggambarkan hidup mereka
sebelum perang sebagai orang yang sangat berbeda: kurang bersyukur dan tidak
menghargai orang-orang yang mereka cintai, malas-malasan dan ditelan masalah
remeh, menyia-nyiakan apa yang mereka terima. Pasca-perang, mereka lebih
percaya diri, lebih yakin pada diri mereka sendiri, lebih bersyukur, dan tidak
dirisaukan dengan hal sepele dan kerikil kecil dalam hidup.
Usai Mark bercerita, kemudian saya juga
mengabarkan sebuah kisah yang melintasi abad. Mula-mula, kuawali dari kisah
keluarga Yassir. Demi mempertahankan ‘tujuannya’ mereka dengan rela disiksa
begitu pedih di tengah terik Makkah kala itu. Selanjutnya, ada Bilal yang
dadanya ditindih batu besar di tengah panas yang membahang, Salman Al Farisi
yang patah hati, dan Muhammad yang bersedih hati melihat jasad paman yang
disayangi koyak di bagian hati. Orang-orang tersebut, nyatanya, tidak semakin
lemah. Justru semakin kuat, kokoh, dan bertekad. Ada berbagai macam parut luka
emosional yang terjadi di dunia ini. Namun, hanya beberapa yang berhasil
memanfaatkan luka tersebut untuk mengubah diri mereka dengan cara yang positif
dan kuat.
Seperti yang
diungkap Dabrowski, rasa takut, kecemasan, serta kesedihan tidak selalu menjadi
kondisi mental yang tidak diinginkan atau tidak membantu; melainkan, itu sering
mewakili derita selayaknya kita butuhkan demi perkembangan jiwa kita.
Menyangkal luka, sama dengan menyangkal potensi kita sendiri. Seperti ketika
rasa sakit fisik membentuk tulang dan otot yang lebih kuat, sakit emosional
mendorong kita untuk mengembangkan ketangguhan emosional yang lebih besar, rasa
percaya diri yang lebih kuat, belas kasih yang meningkat, dan secara umum hidup
yang lebih bahagia. Sekali lagi, tidak mengapa jika hari ini tidak sebaik hari
kemarin. Semua orang pernah mengalaminya. Kita semua kelelahan. Kita kecewa.
Kita gagal. Kita merasa begitu payah. Hati kita patah berkali-kali. Dan itu
tidak apa-apa. Luka itu pedih, dan kita selalu bisa kembali
pulih.
------
Buku yang ditulis Mark Manson secara luar
biasa sungguh membuat saya menjadi begitu bodo amat, bahkan ketika
saya merupakan salah satu orang yang sangat terkenal berhati-hati merawat buku.
Alih-alih mencorat-coret atau membubuhi kalimat demi kalimatnya dengan polpen berwarna,
saya justru bodo amat melipat halaman-halaman di buku ini
ketika tangan saya tidak sedang mampu menjangkau alat tulis. Akibatnya, begitu
banyak halaman terlipat dan itu bukan sebagai penanda akhir bacaan saya—tapi
karena bagian tersebut, memang bagus saja.
0 komentar