Menjaring Bahagia

By Zulfa Rahmatina - 11:08 AM



Why Does Happiness Matter?
Apa yang kita cari dalam hidup ini?

Semakin dewasa, lingkaran pertemanan kita rasanya semakin sempit. Dulu, melepas seragam dan berganti baju untuk bermain bersama teman sepulang sekolah adalah hal yang ditunggu-tunggu. Waktu begitu cepat ketika kita melakukan hal-hal yang menyenangkan. Meneriakkan yel-yel kelompok, mengulurkan tali temali, atau menerbangkan layang-layang hingga nyaring adzan dari surau berkumandang, adalah beberapa hal sederhana yang cukup membuat hati kembang.

Sekarang, semua terasa berbeda. Kesenangan menjadi sebuah barang langka. Di perjalanan, deret-deret mobil berkejaran menjadi yang paling lesat. Di pekerjaan, para pegawai saling berlomba ingin segera naik pangkat. Di pertemanan, capaian kehidupan juga seperti menentukan kedudukan tingkat. Rasanya, berhubungan dengan orang menjadi hal yang menjemukan.

Relasi boleh jadi bertambah ragam, tapi di luar kepentingan, orang-orang yang mau mengerti dan memahami bahkan mungkin saja tidak sebanyak hitungan jari tangan. Kita susah payah mengejar standar orang lain, padahal bukan begitu cara hidup berjalan. Di hidup ini, ada hal-hal yang sekeras apapun kita upayakan, tidak akan pernah tergapai. Ada juga hal-hal yang tidak kita kejar, justru bertubi-tubi datang. Kita mudah tenggelam oleh kesedihan dan kewalahan menanganinya. Kita mencari-cari bahagia, tanpa memahami maknanya.

Dalam istilah psikologi, kebahagiaan biasa disebut sebagai subjective well-being yang merupakan evaluasi seseorang terhadap kepuasan hidup dan emosinya, apakah memiliki emosi yang positif atau negatif (Diener, Lucas, & Oishi, 2005). Kebahagiaan adalah keadaan emosi positif yang didefinisikan secara subjektif oleh setiap orang. Sebagaimana Kamus Internasional Ketiga Webster, “Kebahagiaan adalah keadaan kesejahteraan yang dicirikan oleh kekekalan yang relatif, emosi yang sangat menyenangkan yang berkisar dari nilai dari kesenangan hingga kegembiraan yang dalam dan intens dalam hidup, serta keinginan alami untuk kelanjutannya.”

Adapun konsep umum Islam, kebahagiaan adalah tentang perasaan yang bersemayam di hati, ditandai dengan ketenangan pikiran, ketenangan rasa, kesejahteraan, dan keadaan yang nyaman. Hal itu datang sebagai hasil dari perilaku yang benar, baik lahir maupun batin, dan diilhami oleh iman yang kuat. Seperti sabda Rasulullah saw, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan sejati, adalah kekayaan jiwa,” [Shahih Muslim]

Kebaikan menurut Qur’an, adalah ketika kita mengerjakan kebajikan. Tidak pandang apakah kita laki-laki atau perempuan. Syaratnya, kita mengerjakan kebaikan dalam keadaan beriman. Benar, bahagia memiliki syarat, yang dengan syarat itu, Allah akan berikan kepada kita kehidupan yang baik, serta balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah kita kerjakan [Quran, 16:97].

Manfaat kebahagiaan
Kebahagiaan rupanya memang sesuatu yang patut kita kejar karena banyak memiliki manfaat. Beberapa di antaranya menimbulkan efek seperti;
Efek psikologis: Kebahagiaan menyebabkan perluasan dan relaksasi fisik dan mental manusia.
Efek fisik: Kebahagiaan tidak hanya menyembuhkan banyak penyakit yang menyebabkan masalah di abad ini, tetapi juga dapat menghentikan pertumbuhan kanker menjadi tidak aktif.
Efek sosial dan perilaku: Kebahagiaan menyebabkan naiknya harga diri manusia dan berada dalam keseimbangan.

Bahagia: Frekuensi bukan Intensitas
Sebuah penelitian psikologi menunjukkan bahwa durasi dan frekuensi rasa senang lebih berperan pada kebahagiaan daripada intensitas rasa senang itu sendiri (Diener, Sandvik, & Pavot, 2009). Dengan kata lain, banyak dan sering merasa senang lebih baik daripada sedikit walaupun yang sedikit itu rasanya sangat menyenangkan Jadi, alih-alih memikirkan sesuatu yang besar dan sangat bermakna untuk kebahagiaan, lebih baik kita memikirkan hal sederhana yang membuat senang namun dengan frekuensi yang tinggi. Syarat bahagia adalah dengan merendahkan syarat itu sendiri. Kita tidak perlu sesuatu yang sangat besar untuk dapat bahagia. Karena hal-hal kecil di sekitar kita yang membuat bahagia, sejatinya telah cukup untuk diri kita.

Meskipun kebahagiaan mungkin salah satu hal terpenting dalam hidup, sains masih belum bisa menjelaskan banyak tentangnya. Konsepnya sendiri sulit dipahami. Bagi sebagian orang, kebahagiaan berarti kekayaan; bagi orang lain, itu berarti suatu kedudukan, kekuasaan atau kendali; dan ketenangan bagi yang lainnya. Meskipun faktor-faktor ini adalah alat menuju kebahagiaan, itu bukanlah tujuan. Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia tidak berasal dari salah satu faktor yang disebutkan di atas, dan bagi seorang mukmin, kebahagiaan memiliki arti yang sangat berbeda. Bagi seorang muslim, kebahagiaan yang tertinggi adalah kebahagiaan di akhirat.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas, Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang tujuan hidupnya adalah akhirat, Allah menjadikan kekayaan di antara matanya, mengumpulkan batinnya, dan kehidupan duniawi akan datang kepadanya dengan keadaan hina. Dan barangsiapa tujuan hidupnya adalah kehidupan duniawi, Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak akan mendapatkan apa pun dari kehidupan duniawi kecuali apa yang telah ditulis untuknya.” [Tirmidzi].

 

Sesederhana itu syaratnya ketika kita mengetahui tujuan akhir bagi bahagia kita. Kebahagiaan adalah ketika kita mampu menjalankan apa-apa yang diperintahkanNya, dan menjauhi apa-apa yang dilarangNya.


Referensi:

Diener, E., Lucas, R. E., & Oishi, S. (2005). Subjective well-being: The science of happiness and life satisfaction. In Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (Eds.), Handbook of positive psychology. (pp 63-73). New York: Oxford University Press, Inc.
Diener, E., Sandvik, E., & Pavot, W. (2009). Happiness is the frequency, not the intensity, of positive versus negative affect. In Assessing well-being (pp. 213-231). Springer, Dordrecht.
Saadati, M. R., Amin, S. F., Salimi, D., Saadati, F., & Salimi, V. (2015). A study about place of happiness in Islam.
Abde, A. N. Y., & Salih, K. (2015). The literature of happiness “with reference of the philosophy of happiness in Islam.”. Journal of Islamic Studies and Culture3(2), 179-194.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar