Why Does Happiness Matter?
Apa
yang kita cari dalam hidup ini?
Semakin dewasa, lingkaran pertemanan
kita rasanya semakin sempit. Dulu, melepas seragam dan berganti baju untuk
bermain bersama teman sepulang sekolah adalah hal yang ditunggu-tunggu. Waktu
begitu cepat ketika kita melakukan hal-hal yang menyenangkan. Meneriakkan
yel-yel kelompok, mengulurkan tali temali, atau menerbangkan layang-layang
hingga nyaring adzan dari surau berkumandang, adalah beberapa hal sederhana
yang cukup membuat hati kembang.
Sekarang, semua terasa berbeda.
Kesenangan menjadi sebuah barang langka. Di perjalanan, deret-deret mobil
berkejaran menjadi yang paling lesat. Di pekerjaan, para pegawai saling
berlomba ingin segera naik pangkat. Di pertemanan, capaian kehidupan juga
seperti menentukan kedudukan tingkat. Rasanya, berhubungan dengan orang menjadi
hal yang menjemukan.
Relasi boleh jadi bertambah ragam, tapi
di luar kepentingan, orang-orang yang mau mengerti dan memahami bahkan mungkin
saja tidak sebanyak hitungan jari tangan. Kita susah payah mengejar standar
orang lain, padahal bukan begitu cara hidup berjalan. Di hidup ini, ada hal-hal
yang sekeras apapun kita upayakan, tidak akan pernah tergapai. Ada juga hal-hal
yang tidak kita kejar, justru bertubi-tubi datang. Kita mudah tenggelam oleh
kesedihan dan kewalahan menanganinya. Kita mencari-cari bahagia, tanpa memahami
maknanya.
Dalam istilah psikologi, kebahagiaan biasa
disebut sebagai subjective well-being yang merupakan evaluasi
seseorang terhadap kepuasan hidup dan emosinya, apakah memiliki emosi yang
positif atau negatif (Diener, Lucas, & Oishi, 2005). Kebahagiaan adalah keadaan
emosi positif yang didefinisikan secara subjektif oleh setiap orang.
Sebagaimana Kamus Internasional Ketiga Webster, “Kebahagiaan adalah keadaan
kesejahteraan yang dicirikan oleh kekekalan yang relatif, emosi yang sangat
menyenangkan yang berkisar dari nilai dari kesenangan hingga kegembiraan yang
dalam dan intens dalam hidup, serta keinginan alami untuk kelanjutannya.”
Adapun konsep umum Islam, kebahagiaan
adalah tentang perasaan yang bersemayam di hati, ditandai dengan ketenangan
pikiran, ketenangan rasa, kesejahteraan, dan keadaan yang nyaman. Hal itu
datang sebagai hasil dari perilaku yang benar, baik lahir maupun batin, dan
diilhami oleh iman yang kuat. Seperti sabda Rasulullah saw, “Bukanlah kekayaan
itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan sejati, adalah kekayaan jiwa,”
[Shahih Muslim]
Kebaikan
menurut Qur’an, adalah ketika kita mengerjakan kebajikan. Tidak pandang apakah
kita laki-laki atau perempuan. Syaratnya, kita mengerjakan
kebaikan dalam keadaan beriman. Benar, bahagia memiliki syarat,
yang dengan syarat itu, Allah akan berikan kepada kita kehidupan yang baik,
serta balasan dengan pahala yang lebih baik dari
apa yang telah kita kerjakan [Quran, 16:97].
Manfaat kebahagiaan
Kebahagiaan rupanya memang
sesuatu yang patut kita kejar karena banyak memiliki manfaat. Beberapa di
antaranya menimbulkan efek seperti;
Efek psikologis:
Kebahagiaan menyebabkan perluasan dan relaksasi fisik dan mental manusia.
Efek fisik:
Kebahagiaan tidak hanya menyembuhkan banyak penyakit yang menyebabkan masalah
di abad ini, tetapi juga dapat menghentikan pertumbuhan kanker menjadi tidak
aktif.
Efek sosial dan perilaku:
Kebahagiaan menyebabkan naiknya harga diri manusia dan berada dalam
keseimbangan.
Bahagia: Frekuensi bukan Intensitas
Sebuah penelitian psikologi menunjukkan bahwa durasi
dan frekuensi rasa senang lebih berperan pada kebahagiaan daripada intensitas
rasa senang itu sendiri (Diener, Sandvik, & Pavot, 2009). Dengan kata lain,
banyak dan sering merasa senang lebih baik daripada sedikit walaupun yang
sedikit itu rasanya sangat menyenangkan Jadi, alih-alih memikirkan sesuatu yang
besar dan sangat bermakna untuk kebahagiaan, lebih baik kita memikirkan hal
sederhana yang membuat senang namun dengan frekuensi yang tinggi. Syarat
bahagia adalah dengan merendahkan syarat itu sendiri. Kita tidak perlu sesuatu
yang sangat besar untuk dapat bahagia. Karena hal-hal kecil di sekitar kita
yang membuat bahagia, sejatinya telah cukup untuk diri kita.
Meskipun kebahagiaan
mungkin salah satu hal terpenting dalam hidup, sains masih belum bisa
menjelaskan banyak tentangnya. Konsepnya sendiri sulit dipahami. Bagi sebagian
orang, kebahagiaan berarti kekayaan; bagi orang lain, itu berarti suatu
kedudukan, kekuasaan atau kendali; dan ketenangan bagi yang lainnya. Meskipun
faktor-faktor ini adalah alat menuju kebahagiaan, itu bukanlah tujuan. Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan
manusia tidak berasal dari salah satu faktor yang disebutkan di atas, dan bagi
seorang mukmin, kebahagiaan memiliki arti yang sangat berbeda. Bagi seorang muslim,
kebahagiaan yang tertinggi adalah kebahagiaan di akhirat.
Sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Anas, Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang tujuan hidupnya adalah
akhirat, Allah menjadikan kekayaan di antara matanya, mengumpulkan batinnya,
dan kehidupan duniawi akan datang kepadanya dengan keadaan hina. Dan
barangsiapa tujuan hidupnya adalah kehidupan duniawi, Allah akan mencerai-beraikan
urusannya, menjadikan
kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak akan
mendapatkan apa pun dari kehidupan duniawi kecuali apa yang telah ditulis
untuknya.” [Tirmidzi].
Sesederhana itu syaratnya
ketika kita mengetahui tujuan akhir bagi bahagia kita. Kebahagiaan adalah
ketika kita mampu menjalankan apa-apa yang diperintahkanNya, dan menjauhi
apa-apa yang dilarangNya.
Referensi:
Diener, E., Lucas,
R. E., & Oishi, S. (2005). Subjective well-being: The science of happiness and life satisfaction. In Snyder, C. R., &
Lopez, S. J. (Eds.), Handbook of positive psychology. (pp 63-73).
New York: Oxford University Press, Inc.
Diener, E.,
Sandvik, E., & Pavot, W. (2009). Happiness is the frequency, not
the intensity, of positive versus negative affect. In Assessing well-being
(pp. 213-231). Springer, Dordrecht.
Saadati, M. R., Amin, S. F., Salimi,
D., Saadati, F., & Salimi, V. (2015). A study about place of happiness in
Islam.
Abde, A. N. Y., & Salih, K.
(2015). The literature of happiness “with reference of the philosophy of
happiness in Islam.”. Journal of Islamic Studies and Culture, 3(2),
179-194.
0 komentar