Judul : Pendidikan
Islam: Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya 2045 (Kompilasi Pemikiran Pendidikan)
Penulis : Dr. Adian Husaini
Penerbit : Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Depok
ISBN : 978-602-19985-9-5
Tahun terbit : 2018
Tebal : xxii + 336 halaman
Penulis : Dr. Adian Husaini
Penerbit : Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Depok
ISBN : 978-602-19985-9-5
Tahun terbit : 2018
Tebal : xxii + 336 halaman
Segala penyebab masalah sosial yang terjadi di dunia ini
sejatinya bisa dijelaskan dengan satu hal, yakni hilangnya adab (loss of
adab). Karena adablah yang akan membentuk manusia menjadi insan yang baik.
Sedangkan insan yang baik (insan adabi) itulah yang diharapkan akan menjadi
arsitek peradaban, dan akhirnya membuat tatanan peradaban ini menjadi baik.
Adalah tugas pendidikan untuk membentuk manusia
yang beradab. Tapi, menurut al-Attas, ada masalah internal yang lebih mendasar
dan patut dipahami dan disadari. Masalah internal yang mendasar pada umat Islam
tersebut adalah loss of adab, yang dijelaskan maknanya sebagai ˝loss
of discipline–yakni hilangnya disiplin badan, pemikiran, dan jiwa,˝.
Seorang yang beradab, menurutnya, adalah orang yang memahami dan mengakui
posisinya yang tepat dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat, dan dengan
komunitasnya. Ia memahami dan menyikapi betul potensi-potensi fisik,
intelektual, dan spiritualnya.
Perkara mengutamakan adab lebih dari apa pun ini sebenarnya
sudah menjadi tradisi keilmuan ulama terdahulu. Seperti Asy Syafi’i yang
memaknai adab sebagai, “Sesuatu yang ketika mendengarnya, seluruh tubuhku
merasa nikmat karenanya,” dan menganalogikan pencariannya seperti, “Seorang
ibu yang mencari anak satu-satunya, dan tiada apa-apa lagi yang dimiliki
selainnya,”. Kedudukan adab yang teramat penting juga lah yang menjadikan
ulama besar Ibnu Mubarak mengatakan bahwa porsi adab adalah dua pertiga agama. Lantas,
beliau mencari adab selama 30 tahun dan 20 tahun kemudian barulah mencari ilmu.
Betapa adab tidak bisa diraih dengan mudah!
Yang Disebut Adab
Prof. Naquib al-Attas menyebut adab sebagai right action. Dalam
bahasa kita, adab bisa dimaknai sebagai ‘sopan santun Islami’. Orang beradab
tahu kedudukan dirinya sehingga bisa meletakkan dirinya dengan tepat dalam
tatanan wujud di alam ini. Maka, mari cermati diri apakah selama ini telah
banyak menjadi pribadi yang ‘beradab’ atau malah sosok yang ‘biadab’.
Al Qur’an memberi contoh bagaimana sebenar adab dalam
keteladanan Luqman Al Hakim dalam mendidik anaknya sebagaimana yang disebutkan
dalam QS. Luqman: 12-19. Pertama,
pelajaran adab yang diberikan Luqman adalah adab kepada Allah SWT, dengan
larangan menyekutukan-Nya. Untuk kita renungkan, “Syirik adalah kedzaliman yang
besar,”. Syirik itu zalim kepada Allah. Syirik itu biadab. Syirik disebut zalim
karena tidak ‘meletakkan’ Allah pada tempatnya sebagai Khaliq. Syirik hakekatnya
merendahkan martabat Allah, karena disetarakan dengan makhluk. sebab itu riya’
disebut sebagai syirik kecil. Karena mempersembahkan amalan kepada makhluk. Agar
dipuji, agar dipandang tinggi.
Adab yang dinasehatkan Luqman selanjutnya adalah adab
kepada orang tua, khususnya kepada Ibu. Maka sudah selayaknya orang tua sadar
akan perannya sebagai muaddib, yang memahami tentang adab dan mampu
menanamkan adab dalam diri dan keluarganya, sebagaimana Ibnu Mubarak dalam
perkataannya, al-adabu yakuunu tsulutsay al-diini. Tugas mendidik anak
sebagai manusia beradab merupakan tugas utama yang diemban oleh orang tua. Itulah
mengapa ketika laki-laki menerima (qabul) dalam akad nikah, sejatinya ia
telah membuat perjanjian yang berat (mitsaqan ghalidhan). Ia tak hanya
bertanggungjawab memberi makan anak-anak dan istrinya, tetapi juga
bertanggungjawab terhadap pendidikan keluarganya. Ialah makna hakiki pendidikan
Islam. Maka apa pun profesinya, ayah adalah seorang guru, guru dalam menanamkan
adab kepada anak-anaknya.
Adab ketiga yang diajarkan Luqman yakni kesadaran berbuat
ihsan. Bahwasanya Allaah senantiasa mengawasi dirinya, sekali pun ditempat
gelap, tinggi, atau jauh dari jangkauan mata manusia. Menariknya, adab
selanjutnya yang ditekankan adalah agar senantiasa mendidik dan menyiapkan anak
menjadi pejuang dakwah. Senantiasa mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah
pada yang munkar. Hal ini mengisyaratkan pentingnya anak disiapkan dengan
berbagai bekal. Khususnya kekuatan ilmu dan fisik yang mumpuni, sehingga mampu
mengemban perjuangan dakwah dengan baik.
Terakhir, dalam QS. Luqman ayat 18-19, dalam pendidikan
adab kepada anaknya, Luqman mengajarkan anaknya untuk memiliki adab yang baik
kepada sesama manusia.
Psikologi Islam dan Pendidikan Kita
Dalam perspektif Islam, manusia beradab haruslah menjadikan
aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama mereka. Mencapai tujuan pendidikan
yang ideal (manusia beradab), yang diperlukan adalah kurikulum yang beradab
pula. Yakni, kurikulum yang dirumuskan berdasarkan pada konsep ilmu dalam
islam. Jika saat ini dikenal dengan istilah ‘kurikuler, ko-kurikuler, dan
ekstra-kurikuler’, maka adab dan ilmu-ilmu fardhu ain diletakkan sebagai
kurikulum inti. Ko-kurikulernya adalah serangkaian praktik ibadah, zikir,
shadaqah, dan lain-lainnya untuk menguatkan target kurikulernya. Sedangkan ilmu-ilmu
yang bersifat fardhu kifayah ditempatkan sebagai ‘ekstra-kurikuler’,
yang diajarkan sesuai kemampuan murid dan keperluan ummat.
Perlunya memahami konsep dan adab ilmu dalam Islam, menurut
Adian Husaini, membuat seorang muslim wajib mencari ilmu yang fardhu ain
dan fardhu kifayah secara proporsional. Jenjang pendidikan linier
diperlukan untuk urusan administrasi dan keperluan profesionalitas di suatu
bidang tertentu. Tapi ilmu yang fardhu ain wajib dikerjar untuk diraih,
salah satu contohnya adalah ilmu Psikologi Islam (hal 157). Ilmu ini wajib
dicari setiap muslim, agar setiap muslim memahami bagaimana dia bisa
membersihkan jiwanya agar menjadi jiwa yang tenang.
Firman “Qad aflaha man zakkaahaa, wa qad khaaba man
dassaaha,”, secara tersirat menganjurkan muslim agar memahami ilmu jiwa. Mengerti
bagaimana cara mensucikannya, dan mengetahui apa-apa yang mengotori jiwanya. Jika
tidak mengetahui ilmu tentang itu, berdosalah ia. Maka amat merugi sarjana
psikologi modern yang tidak paham tentang ‘jiwa’ (nafs), sehingga
terkena penyakit jiwa seperti ‘gila dunia’, ‘gila kuasa’, ‘gila harta’, ‘iri
hati’, ‘takabbur’, ‘riya’, dan sebagainya. Sehingga jika pemerintah menawarkan
konsep Revolusi Mental, Islam mempunyai konsep yang sangat jitu dan jelas dalam
membangun jiwa manusia. Proses penanaman adab menjadi kurikulum utama yang
berporos pada proses tazkiyyatun nafs. Sebab hati adalah seluruh pangkal
kebaikan maupun kerusakan. Itulah pentingnya penjabaran makna lagu Indonesia
Raya, ‘Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya,’.
Tujuan untuk membentuk manusia beradab ini secara
mengejutkan, rupanya sudah tertulis dengan begitu jelas di Pancasila sila
kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Implikasi sila ini adalah
sistem pendidikan, yang di Pasal 31 (ayat 3) UUD 1945 tertulis: “Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Sedangkan
Pasal 31 (ayat 5) UUD 1945 menyebutkan: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan
bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”
Sayangnya, hari ini, sosok ˝manusia beradab˝ itu masih
begitu kabur dan utopis. Pendidikan, alih-alih membentuk insan adabi, justru
kini menjadi mesin pembentuk manusia yang haus akan materi dan apresiasi.
Pendidikan kita sendiri agaknya telah keliru menempatkan kesuksesan dan
keunggulan hanya pada keberhasilan anak-anak cerdas menduduki bangku-bangku
kuliah di perguruan tinggi dan program studi favorit yang dinilai potensial dan
mendatangkan banyak uang (hal 26). Sementara tujuan utama mencari ilmu itu
adalah menanamkan nilai-nilai kebaikan atau nilai-nilai keadilan. Yang kita
definisikan sebagai, the state whereby things are in their correct places–di
situlah ada harmoni. Pendidikan seyogyanya ditujukan untuk mendewasakan. Tidak
hanya bertujuan untuk menjadikan diri yang baik, tetapi juga untuk menjadi
pendidik generasi yang lebih baik kelak. Hari ini, kita berlelah-lelah mendidik
diri. Bukan hanya untuk melejitkan kualitas dan potensi. Lebih dari itu, untuk
memperbarui sejarah peradaban.
Mengutip doa Al-Ghazali kepada muridnya dalam kitab Ayyuhal
Walad, semoga Allah memanjangkan usia kita agar bisa mematuhi-Nya, dan semoga
Allah memudahkan kita dalam menempuh jalan orang-orang yang dicintai-Nya. Semoga
setelah ini, akan lebih banyak lagi buku yang kita baca, ilmu-ilmu yang kita telaah,
gagasan yang kita utarakan, dan karya-karya yang kita sebarkan.
Kendal, 26/12/2018.
Kendal, 26/12/2018.
*) Terima kasih untuk teman yang berbaik hati mengizinkan Zulfa membaca buku ini, semoga kebermanfaatannya meluas (buat yang dm di Instagram dan tanya di mana mendapat buku Dr. Adian ini, alhamdulillah bukunya pemberian 😊)
0 komentar