Meletakkan Adab pada Tempatnya

By Zulfa Rahmatina - 11:46 AM


Judul               : Pendidikan Islam: Mewujudkan Generasi Gemilang Menuju Negara Adidaya 2045 (Kompilasi Pemikiran Pendidikan)
Penulis             : Dr. Adian Husaini
Penerbit           : Yayasan Pendidikan Islam At-Taqwa Depok
ISBN               : 978-602-19985-9-5

Tahun terbit     2018
Tebal               : xxii + 336 halaman

Segala penyebab masalah sosial yang terjadi di dunia ini sejatinya bisa dijelaskan dengan satu hal, yakni hilangnya adab (loss of adab). Karena adablah yang akan membentuk manusia menjadi insan yang baik. Sedangkan insan yang baik (insan adabi) itulah yang diharapkan akan menjadi arsitek peradaban, dan akhirnya membuat tatanan peradaban ini menjadi baik.

Adalah tugas pendidikan untuk membentuk manusia yang beradab. Tapi, menurut al-Attas, ada masalah internal yang lebih mendasar dan patut dipahami dan disadari. Masalah internal yang mendasar pada umat Islam tersebut adalah loss of adab, yang dijelaskan maknanya sebagai ˝loss of discipline–yakni hilangnya disiplin badan, pemikiran, dan jiwa,˝. Seorang yang beradab, menurutnya, adalah orang yang memahami dan mengakui posisinya yang tepat dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat, dan dengan komunitasnya. Ia memahami dan menyikapi betul potensi-potensi fisik, intelektual, dan spiritualnya.

Perkara mengutamakan adab lebih dari apa pun ini sebenarnya sudah menjadi tradisi keilmuan ulama terdahulu. Seperti Asy Syafi’i yang memaknai adab sebagai, “Sesuatu yang ketika mendengarnya, seluruh tubuhku merasa nikmat karenanya,” dan menganalogikan pencariannya seperti, “Seorang ibu yang mencari anak satu-satunya, dan tiada apa-apa lagi yang dimiliki selainnya,”. Kedudukan adab yang teramat penting juga lah yang menjadikan ulama besar Ibnu Mubarak mengatakan bahwa porsi adab adalah dua pertiga agama. Lantas, beliau mencari adab selama 30 tahun dan 20 tahun kemudian barulah mencari ilmu. Betapa adab tidak bisa diraih dengan mudah!

Yang Disebut Adab

Prof. Naquib al-Attas menyebut adab sebagai right action. Dalam bahasa kita, adab bisa dimaknai sebagai ‘sopan santun Islami’. Orang beradab tahu kedudukan dirinya sehingga bisa meletakkan dirinya dengan tepat dalam tatanan wujud di alam ini. Maka, mari cermati diri apakah selama ini telah banyak menjadi pribadi yang ‘beradab’ atau malah sosok yang ‘biadab’.

Al Qur’an memberi contoh bagaimana sebenar adab dalam keteladanan Luqman Al Hakim dalam mendidik anaknya sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Luqman: 12-19. Pertama, pelajaran adab yang diberikan Luqman adalah adab kepada Allah SWT, dengan larangan menyekutukan-Nya. Untuk kita renungkan, “Syirik adalah kedzaliman yang besar,”. Syirik itu zalim kepada Allah. Syirik itu biadab. Syirik disebut zalim karena tidak ‘meletakkan’ Allah pada tempatnya sebagai Khaliq. Syirik hakekatnya merendahkan martabat Allah, karena disetarakan dengan makhluk. sebab itu riya’ disebut sebagai syirik kecil. Karena mempersembahkan amalan kepada makhluk. Agar dipuji, agar dipandang tinggi.

Adab yang dinasehatkan Luqman selanjutnya adalah adab kepada orang tua, khususnya kepada Ibu. Maka sudah selayaknya orang tua sadar akan perannya sebagai muaddib, yang memahami tentang adab dan mampu menanamkan adab dalam diri dan keluarganya, sebagaimana Ibnu Mubarak dalam perkataannya, al-adabu yakuunu tsulutsay al-diini. Tugas mendidik anak sebagai manusia beradab merupakan tugas utama yang diemban oleh orang tua. Itulah mengapa ketika laki-laki menerima (qabul) dalam akad nikah, sejatinya ia telah membuat perjanjian yang berat (mitsaqan ghalidhan). Ia tak hanya bertanggungjawab memberi makan anak-anak dan istrinya, tetapi juga bertanggungjawab terhadap pendidikan keluarganya. Ialah makna hakiki pendidikan Islam. Maka apa pun profesinya, ayah adalah seorang guru, guru dalam menanamkan adab kepada anak-anaknya.

Adab ketiga yang diajarkan Luqman yakni kesadaran berbuat ihsan. Bahwasanya Allaah senantiasa mengawasi dirinya, sekali pun ditempat gelap, tinggi, atau jauh dari jangkauan mata manusia. Menariknya, adab selanjutnya yang ditekankan adalah agar senantiasa mendidik dan menyiapkan anak menjadi pejuang dakwah. Senantiasa mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah pada yang munkar. Hal ini mengisyaratkan pentingnya anak disiapkan dengan berbagai bekal. Khususnya kekuatan ilmu dan fisik yang mumpuni, sehingga mampu mengemban perjuangan dakwah dengan baik.

Terakhir, dalam QS. Luqman ayat 18-19, dalam pendidikan adab kepada anaknya, Luqman mengajarkan anaknya untuk memiliki adab yang baik kepada sesama manusia.

Psikologi Islam dan Pendidikan Kita

Dalam perspektif Islam, manusia beradab haruslah menjadikan aktivitas keilmuan sebagai aktivitas utama mereka. Mencapai tujuan pendidikan yang ideal (manusia beradab), yang diperlukan adalah kurikulum yang beradab pula. Yakni, kurikulum yang dirumuskan berdasarkan pada konsep ilmu dalam islam. Jika saat ini dikenal dengan istilah ‘kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra-kurikuler’, maka adab dan ilmu-ilmu fardhu ain diletakkan sebagai kurikulum inti. Ko-kurikulernya adalah serangkaian praktik ibadah, zikir, shadaqah, dan lain-lainnya untuk menguatkan target kurikulernya. Sedangkan ilmu-ilmu yang bersifat fardhu kifayah ditempatkan sebagai ‘ekstra-kurikuler’, yang diajarkan sesuai kemampuan murid dan keperluan ummat.  

Perlunya memahami konsep dan adab ilmu dalam Islam, menurut Adian Husaini, membuat seorang muslim wajib mencari ilmu yang fardhu ain dan fardhu kifayah secara proporsional. Jenjang pendidikan linier diperlukan untuk urusan administrasi dan keperluan profesionalitas di suatu bidang tertentu. Tapi ilmu yang fardhu ain wajib dikerjar untuk diraih, salah satu contohnya adalah ilmu Psikologi Islam (hal 157). Ilmu ini wajib dicari setiap muslim, agar setiap muslim memahami bagaimana dia bisa membersihkan jiwanya agar menjadi jiwa yang tenang.

Firman “Qad aflaha man zakkaahaa, wa qad khaaba man dassaaha,”, secara tersirat menganjurkan muslim agar memahami ilmu jiwa. Mengerti bagaimana cara mensucikannya, dan mengetahui apa-apa yang mengotori jiwanya. Jika tidak mengetahui ilmu tentang itu, berdosalah ia. Maka amat merugi sarjana psikologi modern yang tidak paham tentang ‘jiwa’ (nafs), sehingga terkena penyakit jiwa seperti ‘gila dunia’, ‘gila kuasa’, ‘gila harta’, ‘iri hati’, ‘takabbur’, ‘riya’, dan sebagainya. Sehingga jika pemerintah menawarkan konsep Revolusi Mental, Islam mempunyai konsep yang sangat jitu dan jelas dalam membangun jiwa manusia. Proses penanaman adab menjadi kurikulum utama yang berporos pada proses tazkiyyatun nafs. Sebab hati adalah seluruh pangkal kebaikan maupun kerusakan. Itulah pentingnya penjabaran makna lagu Indonesia Raya, ‘Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya,’.

Tujuan untuk membentuk manusia beradab ini secara mengejutkan, rupanya sudah tertulis dengan begitu jelas di Pancasila sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Implikasi sila ini adalah sistem pendidikan, yang di Pasal 31 (ayat 3) UUD 1945 tertulis: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Sedangkan Pasal 31 (ayat 5) UUD 1945 menyebutkan: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”

Sayangnya, hari ini, sosok ˝manusia beradab˝ itu masih begitu kabur dan utopis. Pendidikan, alih-alih membentuk insan adabi, justru kini menjadi mesin pembentuk manusia yang haus akan materi dan apresiasi. Pendidikan kita sendiri agaknya telah keliru menempatkan kesuksesan dan keunggulan hanya pada keberhasilan anak-anak cerdas menduduki bangku-bangku kuliah di perguruan tinggi dan program studi favorit yang dinilai potensial dan mendatangkan banyak uang (hal 26). Sementara tujuan utama mencari ilmu itu adalah menanamkan nilai-nilai kebaikan atau nilai-nilai keadilan. Yang kita definisikan sebagai, the state whereby things are in their correct places–di situlah ada harmoni. Pendidikan seyogyanya ditujukan untuk mendewasakan. Tidak hanya bertujuan untuk menjadikan diri yang baik, tetapi juga untuk menjadi pendidik generasi yang lebih baik kelak. Hari ini, kita berlelah-lelah mendidik diri. Bukan hanya untuk melejitkan kualitas dan potensi. Lebih dari itu, untuk memperbarui sejarah peradaban.

Mengutip doa Al-Ghazali kepada muridnya dalam kitab Ayyuhal Walad, semoga Allah memanjangkan usia kita agar bisa mematuhi-Nya, dan semoga Allah memudahkan kita dalam menempuh jalan orang-orang yang dicintai-Nya. Semoga setelah ini, akan lebih banyak lagi buku yang kita baca, ilmu-ilmu yang kita telaah, gagasan yang kita utarakan, dan karya-karya yang kita sebarkan. 


Kendal, 26/12/2018. 


*) Terima kasih untuk teman yang berbaik hati mengizinkan Zulfa membaca buku ini, semoga kebermanfaatannya meluas (buat yang dm di Instagram dan tanya di mana mendapat buku Dr. Adian ini, alhamdulillah bukunya pemberian 😊) 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar