Baru selesai membaca novel lama. Akatsuki; Semburat Cinta di Langit Tokyo karya Miyazaki Ichigo. Awalnya ingin membuat resensi, tetapi tidak jadi karena terlalu kecewa.
Aku suka segala hal yang berbau Jepang. Tapi tidak dengan novel--yang katanya--islami yang baru saja kubaca, Akatsuki. Banyak lembar yang harus ku-skip karena terlalu menggelikan--baik pilihan kalimatnya atau penggambaran adegan yang terlalu frontal.
Aku memang tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya memiliki seorang kakak, apalagi kakak laki-laki. Tapi aku tahu, hubungan kakak dan adik seharusnya tidak sefrontal itu. Tingkah laku verbal dan non verbal dari kakak beradik yang tidak lain adalah tokoh utama di novel ini terlalu menjijikkan dan tidak seharusnya terjadi. Seperti, menyelipkan rambut di lipatan telinga, memanggilnya dengan sebutan honey, bahkan mengangkat dagu dan menatap lekat mata ketika sedang berbicara. Oh, apakah itu wajar bagi sebagian orang? Jika aku benar-benar mempunyai kakak seperti itu, kurasa aku akan menampiknya karena sikapnya yang sangat ganjil dan tidak wajar itu.
Tapi kalau benar itu hal yang biasa saja, mungkin persepsiku memang terlalu berlebihan. Karena selama ini, aku hanya akrab dengan hubungan kakak-adik yang bertengkar hebat hanya gara-gara jatah potongan pizza atau martabaknya diselundupkan salah satu pihak pada lambungnya. Atau jika tidak begitu, aku dekat dengan hubungan kakak-adik yang merelakan program TV kesukaannya untuk dilewatkan karena memberi kesempatan pada yang lain. Aku sama sekali asing dengan hubungan kakak-adik yang saling menghiba penuh tangis agar tidak pergi dan selalu berada di sisinya.
Tokoh utama lelaki, yang diceritakan adalah seorang muslim, juga terlalu berlebihan. Dia tampan, saleh, easy going, disukai banyak orang, baik hati, sopan, dan memiliki banyak--semua--kelebihan baik di akademik maupun non akademik. Oh, c'mon. Dia masih manusia, kan? Penggambaran tokoh yang terlalu sempurna itu malah membuatku takut.
Saduran lirik OST anime beserta footnote arti lagu di banyak bagian itu terlalu membosankan. Aku tahu bagaimana rasanya sangat menyukai soundtrack anime favoritmu. Aku mengerti bagaimana rasanya kau ingin terus memutarnya. Tapi aku tidak akan memaksakan orang lain untuk melakukan hal yang sama. Menyukai hal sama dengan yang kusuka. Kutipan-kutipan al-Qur'an yang sangat banyak juga seperti terlalu dipaksakan. Info-info tentang Jepang, budaya, tradisi, dsb disajikan seperti aku sedang membaca sebuah artikel lepas di google.
Aku suka karakter wanita polos seperti Sawako Kuronuma dan karakter Kazehaya Shota yang begitu cool dan terlihat sempurna dengan kekurangannya di anime Kimi ni Todoke--beberapa saat aku bertanya-tanya apakah penulis terinspirasi dari kisah mereka?
Aku suka dengan Sawako dan Kazehaya-kun. Tapi di novel ini, aku tidak paham dengan apa yang dipikirkan tokoh wanita. Apakah ia memang sepolos itu atau bagaimana hingga kakak angkatnya akhirnya tidak tahan untuk memaksakan cinta.
Untuk ukuran novel islami, banyak konflik tidak perlu yang seharusnya bisa diganti dengan yang lebih mendidik. Kekerasan seksual maupun kekerasan fisik yang banyak tersebar di novel islami ini terlalu mengerikan. Seperti tokoh utama wanita yang dipukul kepalanya hingga pingsan gara-gara hal sepele. Penyerbuan tokoh utama wanita oleh orang mabuk. Membuat konflik, tidak harus dengan mencipta tragedi, kan?
Cerita yang sedikit-sedikit dipenuhi tangisan juga membuatku lelah. Tokoh utama lelah, pembaca juga lelah. Ayolah, aku juga wanita. Apakah menjadi wanita berarti harus menjadi lemah? Semua orang punya masalahnya masing-masing, kan? Aku tidak akan berkata bahwa semua air mata itu tidak berguna. Tapi, karena kau dan aku wanita, mari bersama-sama memikirkan lebih banyak lagi solusi cerdas yang lain!
Aku sering menggunakan majas dalam berbicara. Tetapi kalimat-kalimat yang ada di novel Akatsuki membuat perutku seperti dipenuhi es batu saat membacanya. Di beberapa bagian, bulu kudukku malah meremang. Ada apa dengan novel ini?
0 komentar