Mencintai Jiwa yang Terluka

By Zulfa Rahmatina - 6:30 PM


Bagaimana jika kamu laki-laki, memiliki luka yang dalam bernama depresi, dan kamu memutuskan untuk mengumbar seluruh peristiwa yang membuat hatimu patah, lalu membiarkan imajinasi liar orang-orang yang bahkan tidak pernah bertemu denganmu, menilaimu tanpa persetujuan lalu menghakimi. Kamu siap? Regis melakukannya.

*

Depresi bagi mahasiswa profesi psikologi sepertiku tentu bukan terminologi yang asing, bukan sesuatu yang jauh. Beberapa malamku pernah dihiasi dengan tangisan seseorang yang kelelahan dengan hidupnya. Di hari lain, ada gadis muda yang menghubungiku untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja meski pisau telah siap menyayat nadinya.

Di hidup ini, begitu banyak luka dan semua orang bisa mengalaminya. Kita bisa mengalami luka yang sama. Tetapi memutuskan untuk menikmati, mengobati, atau justru merawatnya tumbuh lebih dalam adalah pilihan kita. Berapa banyak hal yang tampak baik-baik saja bagi kita, ternyata mewujud benalu bagi orang lain. Berapa banyak peristiwa yang menurut kita tampak bagai sebuah batu berat yang ditindihkan pada punggung kita, rupanya tak ubahnya potongan kapas bagi orang lain.


Aku suka cara Regis menuangkan kisahnya di buku ini; caranya memilih untuk jujur pada diri sendiri. Cara ia menerima dirinya. Lihat bagaimana Regis menggambarkan situasi ini, “Terapi psikologi bukan sekadar curhat atau ngobrol santai. Ada banyak teknik terapi yang digunakan psikolog untuk membantu klien menemukan akar permasalahannya. Seusai terapi, kadang saya merasa sedih, kadang saya merasa langsung bahagia, tetapi tidak jarang juga saya merasa lelah, ingin tidur, dan ingin tidak melakukan apa-apa. Bahkan, beberapa kali saya mengalami demam ketika terapi yang saya jalani benar-benar membuka luka batin saya. Tubuh saya tidak kuat menerima pembedahan mental yang dilakukan oleh psikolog. Meskipun efek jangka panjang dari terapi sangat baik untuk hidup saya, menjalaninya adalah proses yang sulit,”


Ada banyak informasi tentang depresi yang dibagikan di sini. Bagaimana depresi—seperti halnya asma dan penyakit lain—bisa menyerang siapa pun, dengan karakter bagaimana pun, dari gender apa pun. Kita berada di dunia dengan paparan stresor yang begitu massif. Jumlah like dan komen di media sosial, gaya hidup, hingga lingkaran pertemanan terkadang begitu mempengaruhi hidup kita. Kita bertemu orang-orang picik, mengenal orang temperamen dan mengakrabi pengkhianat, atau, jangan-jangan orang-orang itu adalah diri kita sendiri. Kita gagal, takut, dan malu. Peluang-peluang stresor ini membuka lebar pintu masuknya depresi. Surprisingly, ternyata gangguan ini bisa diimpor.

Hal baru yang kutemukan terkait depresi di buku ini adalah megamarketing depresi di Jepang. Singkatnya, sebuah perusahaan obat-obatan psikotropika di Jepang GlaxoSmithKline mengundang para ilmuwan top dalam rangka memasarkan paxil (paroxetine), salah satu obat depresi untuk masyarakat Jepang. Para ilmuwan itu diminta untuk mendiskusikan peran budaya dalam membentuk pengalaman gangguan mental yang ternyata digunakan GlaxoSmithKline untuk merumuskan strategi marketing depresi yang bisa dipahami orang Jepang agar obat-obatan mereka laku.


Semula, masyarakat Jepang punya cara tersendiri untuk mendeskripsikan keadaan yang mirip dengan depresi. Pertama, istilah utsuboyo yaitu penyakit kronis yang membuat penderitanya tidak bisa bekerja. Utsuboyo mewakili gejala depresi dan skizofrenia. Kedua, terdapat yutsuu yang merupakan perasaan berduka dan kesuraman pada tubuh dan jiwa. Istilah lain yakni ki ga fusagu yang merupakan hambatan energi vital. Ada istilah lain ki ga meiru, sebagai perasaan lelah seperti adanya kebocoran dan kehilangan energi. Meski istilah-istilah tersebut memiliki makna yang tumpang tindih dengan depresi, yuutsu, ki ga fusagu, dan ki ga meiru secara bahasa mewakili sensasi tubuh seperti sakit kepala, sesak di dada, dan rasa berat di kepala. Sementara depresi, secara bahasa Inggris lebih bermuatan emosional.

Dalam kasus bunuh diri, Jepang punya keunikan lain. Mereka memiliki istilah karoshi atau kematian karena bekerja secara berlebihan. Ada juga istilah karojisatsu yang merupakan bunuh diri karena terlalu banyak pekerjaan. Hal ini sangat berbeda dengan kasus depresi yang dialami di Barat yang lebih didominasi perasaan tidak berharga serta tidak menemukan solusi dan makna hidup (hal 187). Karenanya, dalam diskusi panjang atas semua budaya di Jepang, psikiater dan ilmuwan dunia dalam budaya dan mental illness lantas memberikan ide untuk megamarketing depresi di Jepang.   


GlaxoSmithKline memilih istilah baru kokoro no kaze atau cold of the soul untuk memasarkan depresi di masyarakat Jepang. Mereka tidak memilih utsuboyo karena gangguan tersebut sangat jarang dialami. Yutsuu, ki ga fusagu, dan ki ga meiru tidak mungkin diambil karena fokusnya pada tubuh dan Jepang sudah memiliki kebiasaan lokal tersendiri untuk menanganinya. Sedangkan karojisatsu dan karoshi tidak diambil karena sudah spesifik mengenai kematian yang berhubungan dengan pekerjaan.


Akhirnya mereka memilih istilah baru, yaitu kokoro no kaze sebagai flu jiwa, yang bisa disembuhkan dengan paxil. Kokoro no kaze juga disosialisasikan dengan bahaya bunuh diri apabila tidak ditangani. GlaxoSmithKline mensponsori studi untuk menemukan hubungan antara kokoro no kaze dengan bunuh diri. Dalam studi tersebut ditemukan bahwa 90% orang yang bunuh diri mengalami gangguan mental dan 70% di antaranya akibat ‘depresi’ atau kokoro no kaze. Hasil studi tersebut dipajang di berbagai baliho dan brosur yang dalam waktu relatif singkat, flu jiwa ini menjadi sesuatu yang mendesak sehingga masyarakat Jepang berbondong-bondong mengunjungi psikiater untuk mendapatkan obat paxil yang diproduksi GlaxoSmithKline. Dalam satu tahun kampanye tersebut, penjualan paxil telah memberi keuntungan 100 juta dolar! Dalam kasus ini, pengetahuan para ilmuwan dimanfaatkan untuk menjual produk yang tidak tepat guna bagi masyarakat Jepang. Kehadiran GlaxoSmithKline dan paxil pelan-pelan memusnahkan yutsuu, ki ga fusagu, ki ga meiru, karojisatsu, dan karoshi dari benak masyarakat Jepang. Semuanya tergantikan dengan kokoro no kaze atau depresi versi Amerika.


Masih ada banyak pengetahuan soal depresi yang bisa kamu dapat di buku ini. Jika seorang survivor, menyukai dunia psikologi, atau tertarik dan peduli dengan kesehatan mental. Silakan baca :)

  

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar