Tepat seminggu di rumah. Mulai akrab dengan bau bayi dan susu formula. Mulai dekat dengan Rey yang selalu tertawa jika diajak bercanda. Mulai mengakrabi kebiasaan-kebiasaannya. Ketika Rey mengantuk, ketika berlatih tengkurap, ketika ingin minum susu, ketika ia menangis karena terlalu lama kucium dan kupeluk saat ia tertidur, ketika ia diam menyimak murottal yang kuputar atau kubacakan.
Seminggu di rumah, memantau nilai-nilai yang keluar dengan sangat lambat. Melonjak ketika deretan mata kuliah favorit mendapat nilai sempurna, mengerang jika nilai yang didapat tidak sesuai dengan yang diduga, bersyukur saat mendapat nilai yang melebihi ekspektasi di mata kuliah yang sering dihindari.
Seminggu di rumah, dan masih mengikuti kasus Mirna. Aku tidak tahu apakah hanya aku saja warga yang tertarik mengikuti kasus Kopi Mirna ini sejak awal munculnya hingga kini. Teman-temanku bahkan memanggilku Mirna. Setidaknya aku bisa menjawab kenapa teman-teman berlaku seperti itu dan kenapa kasus ini begitu menarik minatku.
Satu hal utama, tentu saja karena ini menyangkut kopi. Aku tidak tahu lagi dengan apa akan menjelaskan bagaimana minuman ajaib ini begitu menyihirku. Bagaimana minuman untuk semua kalangan ini, begitu kuat memaksaku untuk selalu menyeduhnya meski usahaku untuk menghindarinya adalah sama kuatnya. Aku tidak tahu.
Tetapi yang aku tahu, aku paham bagaimana rasanya aku ingin sekali mampir di kedai kopi Usah Kau Kenang Lagi, duduk bersama Pakcik Andrea, memesan segelas kopi panas dengan sedikit gula, membincangkan tentang sastra, menunjukkan kepadanya puisi yang dengan susah payah kurangkai karena aku tahu mereka yang bisa membuat puisi hanya orang-orang yang disayangi Tuhan, atau meminta pendapatnya tentang perasaan ini. Perasaan yang buncah tiap kali lekat terbayang sebuah wajah dengan senyum dan sisa air wudhu. Jika gelas kopiku sudah habis, kurasa aku akan kembali memesannya. Lalu memulai cerita baru yang lain, lagi dan lagi ...
Perkara kasus kopi yang membawa pada kematian ini lalu dengan otomatis kuikuti perkembangannya. Selain karena aku menyukai kopi, seperti aku menyukai hujan dan gerbong kereta yang tampak indah saat senja, hal lain adalah aku sedang sangat tertarik mendalami psikologi forensik. Penyebutan sianida yang disebut-sebut sebagai zat yang tersisa dalam cangkir kopi Mirna juga membuat imajinasiku semakin liar. Imajinasi yang kudapat dari drama-drama detektif Jepang yang tidak pernah kulewatkan seperti Mr. Brain, atau Kindaichi, Dan-sensei, Shinichi Kudo, hingga jauh ke detektif Sherlock Holmes.
Dugaan kepribadian ganda pada tersangka juga menguatkan persepsiku tentang kasus kopi ini. Ini kasus yang sangat menarik, meski tragis di saat yang sama. Aku sama sekali tidak bisa membayangkan, jika harus mati karena sesuatu yang amat kusukai. Tetapi cinta, terkadang memang gila, bukan? Untuk seseorang yang kaucintai, kadang kau tidak merasa harus berpikir ulang untuk mengorbankan nyawamu.
Tapi tetap saja, aku tidak mau mati karena kopi. Aku tidak mau menyisakan kisah sedikit pun dalam gelas kopiku. Namun rupanya, ada kisah panjang yang masih tersisa di dasar cangkir kopi orang lain ...
to make me happy
make me coffee
bring me coffee
be coffee
coffee ...
3 komentar
Kwkwkw kopi kematian -_-
ReplyDeleteKwkwkw kopi kematian -_-
ReplyDeleteMengejutkan sekali menemukan komentar dari sepupu yang merusak seluruh rencana liburanku di blogku!
ReplyDelete