Pagiku gempar oleh seorang ami (paman-red) yang dengan heboh menceritakan tentang penemuan ular besar di kandang burungnya ketika aku sedang menyortir baju-baju kotor yang akan kumasukkan ke mesin cuci. Bilal, sepupuku yang sebentar lagi akan masuk TK tertawa-tawa mendengarnya sambil sesekali menyela dengan celoteh cadelnya.
Aku tidak mau ikut-ikutan heboh. Tidak mau ikut-ikutan memotong dengan cadel. Tetap stay calm seperti biasanya, menuang takaran deterjen dengan penuh perhitungan dan menyimak dengan baik kalimat-kalimat yang meluncur dari Ami Hakim. Ular besar di dalam kandang, memakan tiga burung parkit, lalu ia tangkap dan dibuangnya ular besar itu di jalan raya. Aku menangkap nada bangga pada cerita yang mungkin dianggapnya sebagai sebuah aksi heroik, sekaligus nada kesal karena ia juga baru kehilangan love bird-nya.
Kericuhan ini sebenarnya sudah mulai sejak aku datang di rumah ini kemarin, siang gerimis. Adikku Firda, tanpa memberiku kesempatan untuk bernapas setelah berada di dalam bus yang pengap segera mengabarkan tentang giginya yang akan tanggal dan sakit cacarnya yang mulai sembuh hingga dia sudah bisa kembali bersekolah mulai Jum'at kemarin. Khumaira datang setelahnya. Tersenyum malu-malu, berkata, "Adek mau dibuatin es kecut sama uminya adek," Es kecut? Aku menggeleng tidak paham.
Tidak berhenti di situ. Umi yang akhirnya melihat bagian tubuhku yang terkena alergi padahal aku berusaha tidak membahas dan menyembunyikannya dengan rapat, mengomel karena tahu aku tidak segera memeriksakannya dan tidak mendapati obat di tasku.
Aku mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan sepupuku yang berkuliah di jurusan fisika murni yang kabarnya sudah pulang. Sepupu seumuranku yang itu adalah satu-satunya teman yang asik untuk diajak membolang ketika sepupu yang lain sudah menikah dan menjadi sibuk dengan dunia barunya. Mungkin kesamaan status bujang itulah yang membuat kita semakin lekat tak terpisahkan. Meski akhirnya ekspektasi untuk bepergian bersamanya mengexplore daerah yang belum kami kunjungi harus buyar oleh eranganku yang mengetahui kabar kalau dia sekarang berada di Tangerang.
Kabar tentang seorang aunty yang sedang berlibur ke Malaysia juga membuat kedongkolanku bertambah-tambah. Jadi, apa yang harus kulakukan setelah ini? Di liburan panjang ini? Kesepian, aku benci keadaan ini meski aku selalu lebih senang sendiri.
Pagi tadi, sepupuku mengantarkan bayinya ke rumahku karena ia akan PKL selama sebulan ke depan. Rey, namanya. Bayi itu memainkan jempolnya dan menatap sinar matahari pagi saat aku sedang tertegun memandangnya. Bayi? Sebulan? Oh, apakah aku salah mendengar sesuatu?
Bilal berlarian riang meninggalkan program TV kesayangannya, George, saat tahu Rey datang. "Nih ada Mas Bilal," kataku pada Rey. "Oh, Ami Bilal, ya, bukan Mas," lanjutku, geli sendiri menyadari statusnya yang sudah menjadi om di usia sekecil itu.
"Lal mau cerita buat Dek Ley-han, ya? Pada jaman dahulu ..." Bilal berkata patah-patah. Aku tertawa mendengar kalimatnya yang kacau dan lafalnya yang cepat hingga selalu tersaring berbelit di gendang telingaku.
"Ada kancil ... duduk. Udah, ah. Lal ndak mau cerita lagi. Capek," tuturnya bersungut. Tawaku semakin keras. Menoleh pada Rey yang mengerjap.
Liburan. Bayi, huh?
Baiklah. Semoga liburan kali ini bermanfaat dan mengesankan. Akan kusebut ini latihan pra- ... (memikirkannya membuat pipiku memerah).
0 komentar