One Litre of Tears

By Zulfa Rahmatina - 8:42 PM



Penyakit ini… kenapa memilih saya? Ibu, apa tujuan saya hidup di dunia ini?  Setiap kali memikirkan masa depan membuat air mataku mengalir…

Ibu, apakah saya… bisa menikah?  
Hidupku seperti bunga yang belum mekar. Aku ingin menghargai awal hari-hari mudaku tanpa penyesalan…

Ini bukanlah sesuatu hal yang spesial. Hanya sebuah catatan seorang gadis yang dipilih oleh suatu penyakit aneh.
Dalam otak manusia, ada sekitar 140 miliar syaraf neuron dan 10 kali lebih yang memberikan perintah kepada syaraf (neuron) ini. Mereka dibagi menjadi dua kelompok: sistem syaraf pusat, dan sistem syaraf tepi. Sistem syaraf pusat terdiri dari otak, batang otak, otak kecil sumsum tulang belakang dan tulang belakang. Tubuh dapat bergerak dengan bebas dan gesit adalah hasil koordinasi dari otak kecil, batang otak, dan sumsum tulang belakang.
Ikeuchi Aya a.k.a Kitou Aya (Sawajiri Erika) adalah gadis 15 tahun yang baru saja diterima di sebuah Sekolah Menengah Atas Higashi. Ia memiliki kelebihan dalam belajar dan olahraga basket. Wajah cantik, juga kepribadiannya yang menyenangkan, membuat banyak orang berteman dengannya dan membuat hari-hari di masa mudanya menjadi menyenangkan.
Kebahagiannya bertambah ketika Kawamoto-senpai, senior yang dikaguminya sejak di sekolahnya dulu, mengatakan jika ia senang ketika Ikeuchi akhirnya bisa masuk di Higashi Gakuen dan bergabung dengan klub basket. Di kesempatan yang lain, Kawamoto juga mengajaknya melihat kembang api musim panas.
Aya juga bertemu dengan anak laki-laki aneh yang kelak mengisi harinya saat hari pertamanya di Higashi Gakuen. Asuo Haruto (Ryo Nishikido), teman sekelasnya. Asuo berasal dari keluarga yang sudah turun temurun belajar tentang kedokteran.
Tapi perlahan, kebahagiaan demi kebahagiaan itu memudar seiring dengan penyakit yang dideritanya. Dengan serangkaian tes EKG, EMG, rontgen dan sebagainya, Aya didiagnosa menderita penyakit Spinocerebellar Ataxia. 
Spinocerebellar Ataxia yaitu sebuah penyakit degenerative syaraf atau menurunnya fungsi syaraf yang disebabkan oleh rusaknya jaringan otak kecil atau syaraf tulang belakang. Gejala awal akibat kinerja syaraf yang terus memburuk ini mulanya tampak jelas pada tubuh yang menjadi goyang. Sering jatuh, dan seterusnya akan membuat penderita membutuhkan pendukung ketika berjalan hingga akhirnya sama sekali tidak bisa berdiri dengan kedua kakinya.
Gejala lain juga membuat penderita menjadi tidak bisa berbicara dengan baik, pengucapan tidak jelas dan ritme berbicara memburuk. Tangan dan jari-jari tidak bisa digerakkan sesuai kemauan otak, hingga sering tersedak yang bisa berujung pada kematian jika tidak segera ditangani. Penderita pada akhirnya hanya bisa menghabiskan hari di pembaringan meski penyakit ini tidak menyerang fungsi otak dan penderita masih mampu berfikir seperti manusia normal. Hingga saat ini, penyakit yang tidak sulit didiagnosa ini belum ditemukan obatnya.
Untuk memantau perkembangan penyakit itu, Dokter Aya, Yamamoto Hiroko/Mizuno (Naohito Fujiki), menyarankan Aya untuk menulis setiap perkembangan tubuhnya melalui buku harian yang harus diperlihatkan kepadanya. Setelah itulah perlahan demi perlahan hidupnya berubah mengikuti perkembangan tubuhnya.
Senior yang dikaguminya menjauh karena penyakit parah yang tidak bisa disembuhkan itu. Pihak sekolah bahkan memutuskan agar Aya segera keluar dari Higashi karena ia selalu terlambat masuk kelas akibat jalannya yang menjadi sangat lambat dan itu menyulitkan teman-teman sekelasnya. Meski teman-temannya tidak keberatan membantu, dan bersedia menunggu barang lima sampai sepuluh menit sebelum pelajaran dimulai, Aya tetap diputuskan untuk keluar dan akhirnya ia pindah ke SLB karena tubuhnya yang menjadi cacat.
Hidupnya sangat hancur saat mengetahui takdir begitu kejam menimpanya. Tapi Aya yang mempunyai sikap optimis yang tinggi, memutuskan berjuang untuk hidup dan terus menulis. Ia rajin mengikuti rehabilitasi dan selalu berharap kesembuhannya meski hal itu tidak membawa perubahan yang berarti.
♥ ♥ ♥
Etto… mungkin lebih tepat jika dorama dan buku yang kubaca kali ini diberi judul More Than One Litre of Tears atau One Gallon of Tears daripada dengan judul One Litre of Tears (Ichi Rittoru no Namida). Honestly, kali pertama tahu dorama ini adalah dari novel Orizuka yang berjudul Fight for Love—Orizuka banyak menyebut dorama ini saat itu. Dan waktu itu sudah lama sekali… kira-kira saat aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.
Tapi aku baru sempat menonton dan membaca novelnya dalam beberapa waktu ini. Sudah banyak teman yang memperingatkan untuk mempersiapkan banyak tissue saat menontonnya. Tapi aku mengacuhkannya dan kemudian menyesal tidak mempedulikan saran itu. Aku juga sedikit menyalahkan teman-teman yang menyarankan agar aku menyiapkan banyak tissu. Daripada tissu, seharusnya mereka menyarankan aku membawa handuk saat menonton!
Aku berniat menyelesaikan dorama ini sekali habis di akhir pekan. Tapi rencana itu gagal gara-gara aku tidak kuat dan merasa sesak tiap kali menyelesaikan episodenya, juga karena malam sudah terlalu larut dan mataku sudah menunjukkan tanda-tanda akan bengkak karena menangis. Aku menyudahi menonton karena tidak ingin keluargaku curiga di esok pagi karena mata bengkak, kelopak bawah yang menghitam dan wajah yang menjadi seperti rakun saat aku bangun tidur esok.
Keesokan harinya aku juga tidak meneruskan menonton dan selalu menonton ketika di rumah tidak ada orang. Demi menjaga harga diri untuk air mata yang keluar karena dorama dan suasana hati yang tenang saat menontonnya, aku menahan rasa ingin tahuku yang besar tentang perkembangan Aya—ada bagian dari diriku yang berharap kisah Aya tidak benar-benar terjadi.
Kisah Aya di dorama benar-benar memilukan. Apalagi saat Kawamoto (Kennichi Matsuyama) meninggalkan Aya karena penyakit ini, aku merasa sangat kesal! Tapi aku menyadari memang tidak akan mudah hidup dengan seorang penderita Spinocerebellar.
Di dalam novel—atau diary Aya—tidak ada tokoh Kawamoto ini. Tokoh ini dimunculkan—selain untuk membumbuinya dengan kisah romance remaja, menurutku hanya untuk memberi gambaran kepada masyarakat bagaimana pandangan awam kebanyakan terhadap para penyandang cacat dan penderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan ini. Disadarkan dengan hal itu, lagi-lagi hatiku seperti tersayat.
Sawajiri Erika memerankan Aya Kitou dengan sangat baik dan begitu menyentuh. Ia mengikuti rehabilitasi dengan keras dan selalu belajar dengan giat, seperti yang benar-benar dilakukan oleh tokoh Aya yang nyata. Saat berpisah dengan teman-temannya di Higashi, dan saat mengatakan kata-kata perpisahan, Erika-san membuatku benar-benar sesak.
      “To say it like this in front of you with a smile, please know… that I have cried one litre of tears,”
Takanori Jinnai, artis yang kukenal melalui perannya sebagai detektif terkenal, Dan Morihiko,  di Dan Detective School atau Tantei Gakuen Q ini, lagi-lagi juga berperan dengan mengagumkan sebagai ayah Ikeuchi Aya yang penyayang dan sangat konyol.
Tokoh ibu Aya, Ikeuchi Shioka (Hiroko Yakushimaru) yang selalu menjadi penyemangat saat tak ada satu pun orang di samping Aya juga sukses membuatku terenyuh dan sadar bagaimana dahsyatnya cinta seorang ibu.  
Dalam diary Aya, ada bagian yang benar-benar menyentuh dan tak urung membuat air mata aku kembali jatuh.
‘Okaa-san, aku tidak bisa berjalan lagi.’ Aku menulis di selembar kertas, menahan air mataku. ‘Aku tidak bisa berdiri bahkan jika aku berpegangan pada sesuatu,’ aku membuka pintu sedikit dan memberikan padanya. Aku menutup pintu lagi dengan cepat karena tidak ingin Ibu melihat wajahku, dan aku tahu akan sangat menyakitkan untuk melihat wajah Ibu.   
Aku merangkak tiga meter ke toilet. Koridor agak dingin. Tapak kakiku lembut seperti telapak tangan normal. Tetapi telapak tangan dan lututku keras seperti sol sepatu normal. Merangkak bukan hal yang menyenangkan untuk dilakukan, tapi aku tidak berdaya. Ini satu-satunya cara agar aku dapat bergerak.
Aku merasa ada seseorang di belakangku. Aku berhenti dan melihat ke belakang. Ibu sedang merangkak di belakangku, tanpa berkata apa-apa… air matanya jatuh membasahi lantai. Semua emosi yang kutekan seketika meledak dan aku mulai menangis… (Demi apa… hiks, hiks. Hatiku mencelos rasanya)
Daripada melihat dorama, sepertinya air mataku lebih banyak jatuh ketika aku membaca diary Aya. Membaca tulisannya yang lahir saat ia sedang berjuang dengan penyakitnya, membuatku bisa turut merasakan apa yang dialaminya, juga menjadi tahu betapa sulit dan menyakitkannya hal itu—menurut hasil browsingku tentang penyakit Spinocerebellar Ataxia, penderita juga mengalami labilitas emosi. Kondisi tubuh yang terus memburuk, pandangan orang-orang yang menatapnya dengan kasihan, atau bahkan tatapan merendahkan… betapa menyedihkan!
Tokoh-tokoh seperti Asuo Haruto pun belakangan kuketahui tidak benar-benar ada, dan tidak diceritakan sedikitpun oleh Aya dalam diary-nya. Tapi hal itu diungkap oleh dr. Yamamoto yang memberi pengantar pada buku tersebut dan menceritakan suatu ketika saat Aya bertanya kepadanya apakah mungkin baginya untuk menikah. Dokter Yamamoto menyebutkan ada seorang pemuda mahasiswa kedokteran yang sedang melakukan penelitian, sering mengunjunginya bahkan setelah jadwal kunjungan kurikulum poliklinik mereka telah selesai.
Setelah berjuang dengan keras, Aya meninggal dunia pukul 00:55 pada tanggal 23 Mei 1988 pada umur 26 tahun.
Tapi, tidak peduli dari dorama atau diary-nya, hidupku tidak akan pernah sama lagi. Tidak akan pernah sama lagi ketika aku belajar banyak dari kisah Aya. Dan sudut pandangku terhadap banyak hal, benar-benar tidak pernah akan sama lagi.
Waktu-waktu yang bergulir, jasad yang sehat, dukungan banyak pihak... Aku semakin disadarkan betapa nikmat yang melingkupiku saat ini begitu banyak dan sangat bodoh juga amat terkutuk jika aku tidak mensyukurinya dan terus saja mengeluh serta menyalahkan takdir.
Aku juga disadarkan tentang arti teman, yang selama ini sering aku acuhkan keberadaannya dan tidak begitu kupusingkan. Bagaimanapun dan sekeras apa pun mencoba, manusia tetaplah makhluk sosial dan saling membutuhkan satu sama lain.
Dan masih terlalu banyak hal-hal yang kupelajari dari semangat dan kata-kata Aya dalam menjalani hidup. Cannot count how much tears has been shed. I can totally recommend this dorama and book because your view on life will change for sure...


Aya Kitou, anywhere you’re, I thank you. :’)
            ------------------------------

Terima kasih juga buat sepupu cantikku, Danik-chan dan suaminya, Adi-san yang sudah mendownloadkan dorama ini buatku. Arigatou na! :D

         What’s wrong with falling down?
         You can always stand up again…
         Live on.
         Live on forever.
        ‘Just being alive is such a lovely and wonderful thing.’ -AK

 (Aya saat masih sehat. 15 Tahun)


(Aya sakit dan hanya bisa menggunakan papan huruf untuk berkomunikasi)

(Sawajiri Erika as Ikeuchi Aya)




  • Share:

You Might Also Like

6 komentar

  1. yap, ini memang ssedih banget doramanaya. saya udah beberapa tahun lalu nonton dorama ini. beberapa kali rewatch, sampai hafal nama penyakitnya..

    kayaknya kalau ada one litre of tears season 2 bakal lebih nendang. pingin tau apa cowoknya bis anemuin obat untuk penyakit ini. secara kan, dia udah jadi dokter..

    ReplyDelete
  2. Daku belum tahu. Kayaknya menarik...

    ReplyDelete
  3. Iya Kak Jeverson, sedih bangetttt T_T
    Tapi Ikeuchi Aya-nya udah meninggal. :((

    ReplyDelete
  4. Kak Dee Ann, ini dorama tahun 2005 :'D

    ReplyDelete
  5. Padahal kemarin baru keinget drama OLOT, eh nemu postingan ini :D

    ReplyDelete
  6. Wah, telepati kita bagus, Kak :'D hehe
    Emang the best sad story, ya Kak Marfa, OLOT ini. :'))

    ReplyDelete