Aku masih merunduk. Dari balik semak
ini, kulihat dengan jelas sosok berkacamata itu sedang berjalan santai dengan…
heh? Bukankah itu Satria?
“Flower, sedang apa di situ?”
Aku menoleh kaget pada orang yang
memekikkan namaku. Posisiku yang mencurigakan, tentu saja mengundang tanya bagi
orang yang melihatnya.
Astaga… “Rumaisha!” kutarik
kuat-kuat lengan gadis yang memanggilku agar dia ikut bersembunyi di balik
semak. “Harusnya kau tahu aku lagi bersembunyi!” aku mendesis, berteriak
setengah berbisik padanya, lalu kembali melihat ke arah pemuda berkacamata itu
dengan Satria yang ternyata… sedang menatapku.
♥
Rumaisha, teman sekelasku yang
aktivis rohis itu kini meminta maaf karena persembunyianku terbongkar. Aku
sendiri sampai enggan bercermin karena takut jika mukaku berubah menjadi seperti
kepiting rebus.
Yah, aku memang tidak bisa
sepenuhnya menyalahkan Rumaisha. Seharusnya memang aku lebih mempercanggih
peralatan dan teknik mengintaiku. Sementara aku hanya diam dan Rumaisha terus
meminta maaf, Bella, chairmate yang
entah kenapa ditakdirkan jadi sahabatku itu—semoga Tuhan punya rencana baik
untuk nasibku yang satu ini—malah terpingkal hebat.
“Flo… Flo, apa kau ini bodoh?” dia
masih tertawa dan itu membuatku semakin sebal. “Untuk memecahkan teka-teki
seseorang, kau tidak harus menguntitnya!”
“Apa
kau bodoh?” kubalikkan kembali pertanyaannya. “Kau pikir siapa yang selalu
mendapat peringkat satu di kelas Alam ini?” aku mendengus, mengatakan hal-hal
yang kuanggap penting untuk saat ini. “Lagi pula aku tidak menguntit, kau
tahu?” sakit sekali rasanya dituduh seperti itu. Walaupun setengahnya memang
benar, sih.
Bella
masih tertawa. Tidak lagi peduli dengan jawaban siapa yang bodoh di antara kami
dan masih saja mengataiku. “Kau juga, pasti sedang bertanya-tanya, kenapa
Satria bisa dekat dengan Faris, kan?”
Aku
menatap Bella cepat, lalu memalingkan muka. Apa aku ini begitu jelas? Ya, aku
memikirkan itu daritadi. Tapi, tentu saja aku…
“Kau
buang gengsimu, dan tanyalah aku.” Kini Bella terbahak. Sudut kelopaknya sampai
berair. Aku tidak suka ditertawakan seperti itu. Aku baru akan berdiri
meninggalkannya saat dia mengatakan hal yang membuatku merasa menjadi orang tertolol
di dunia. “Hei, mereka berada di dua klub yang sama.” Bella kini tersenyum
simpul. Tapi syaraf-syaraf gelinya masih terlihat dan itu sama saja
menyebalkan. “Di Klub Karya Ilmiah dan Taekwondo.” Tegasnya, sambil terus
menatapku dengan tatapan geli. “Kupikir, Satria pacarmu itu juga sedang
tertarik untuk bergabung dengan Rohis.”
“Jangan
menatapku seperti itu! Dan Satria bukan pacarku, kau tahu?!” sentakku sebal.
“Hal remeh seperti itu… kau pikir aku tidak tahu?” gengsiku sangat tinggi. Dan,
oh, aku mencabut kata-kataku yang mengatai diri sendiri tolol. Aku tidak tolol.
Hanya karena tidak tahu anak-anak yang berada di klub yang tidak kau ikuti,
bukan berarti kau tolol, kan?
“Anuuu,
Flower,” Rumaisha memutus perdebatan kami. Aku menoleh ke arahnya. Bagaimana
bisa aku sampai lupa jika aku tidak hanya sedang berdua dengan Bella sialan
itu? “Sebenarnya, aku ingin memberimu ini.” Rumaisha mengangsurkan sebuah kado dengan
bungkus berwarna hijau muda. “Sebagai ucapan selamat dariku, karena novelmu
sudah terbit. Terus berkarya, ya!”
Aku
tersenyum dan menatap haru pada Rumaisha. Meski tidak terlalu dekat dengan
gadis ini, tak kusangka ia menaruh perhatian besar padaku. “Terima kasih.” Aku
menerima kado yang kutahu, pasti isinya buku. Kusobek kertas pembungkus itu di
depan Rumaisha, juga Bella yang kini menempel di dekatku, penasaran. Dan saat
kertas kado sudah kubuka, lalu Bella melihat isinya, dia kembali terbahak. Buku
kumpulan kisah 25 Nabi. Aku meringis, lalu menyodok rusuk Bella agar dia
berhenti tertawa. Rupanya kulitnya seperti badak.
♥
Soal Faris, dia adalah kakak kelasku
yang kukenal sejak aku duduk di bangku yang sama dengannya ketika ujian akhir
semester ganjil. Pihak sekolah yang membuat peraturan seperti itu dengan alasan
agar bisa menekan kecurangan siswa—walaupun pada praktiknya, tidak berpengaruh
sama sekali.
Saat
itu aku bersyukur mendapat teman duduk dari kakak kelas, bukan adik kelas.
Seperti pada ujian tengah semester kemarin, yang membuatku duduk dengan adik
kelas cowok yang sangat berisik dan terus saja meminta pin BB bahkan saat aku
sedang mengerjakan soal.
Sebelumnya,
aku dan Bella bertaruh untuk bisa menjadikan teman sebangku kami sebagai mentor
belajar, teman dekat, atau sekurang-kurangnya, membuat teman sebangku kami mau
menceritakan suatu kisah. Atau apa lah…. Aku sebenarnya tidak peduli dengan ide
itu. Tapi karena kupikir hal itu bukan masalah karena aku baik dalam pergaulan,
aku menyetujui saja taruhan konyol Bella. Tapi sepertinya nasibku memang sedang
sial.
“Kau
tidak mengenal teman sebangkumu? Astaga…” Bella menyeruput kuat-kuat cappuccinonya. Matanya melebar.
Mengamatiku yang sedang sibuk menuangkan sambal banyak-banyak pada mangkuk
sotoku. Sepertinya ia tidak habis pikir melihatku yang masih saja santai
padahal aku baru saja mengeluhkan teman sebangkuku yang sama sekali tidak
berbicara padaku.
Aku
menggeleng. “Memangnya penting?” ucapku acuh, dan mengambil kerupuk di depan
Bella yang entah kenapa tiba-tiba saja tersedak. Kafetaria sekolah saat jam
istirahat ini sangat penuh. Jangan bayangkan aku dan Bella berbicara dengan
berbisik. Kami berteriak agar bisa mendengar satu sama lain karena suasana yang
bising.
“Flooo…
dia itu populer, kau tahu? Dia ketua Rohis! Tidak ada anak di sekolah ini yang
tidak mengenalnya!”
Aku
menghentikan suapanku. Fakta jika teman sebangkuku adalah anak Rohis, membuatku
segera mengatur siasat yang lain. Pantas saja. Tidak seperti kakak kelas yang
biasanya mengajakku berkenalan, teman sebangkuku tadi hanya fokus pada
soal-soal ujiannya dan tidak melihatku sama sekali. Pada awalnya aku mengira
dia gugup. Entah dengan ujian itu, atau kalau boleh sedikit percaya diri, dia
gugup karena duduk di dekatku.
Sekarang aku sudah tahu kenapa dia bersikap
seperti itu. Tapi, tenang saja. Jangan bilang aku ini Flower. Aku pasti bisa
memecahkan batu karang yang keras sekalipun. “Aku akan membuatnya bicara. Demi
nama kakekku—“
“Kakekmu
bukan detektif terkenal!” tukas Bella ketus, memutus kalimatku saat aku mulai
mengatakan kata-kata seperti yang diucapkan detektif muda Kindaichi ketika ia
bertekad memecahkan suatu kasus.
Aku
tertawa mendapati muka Bella yang melihatku dengan malas.
♥
Le Comte de Monte Cristo.
Kuputar-putar novel karya Alexandre Dumas ini. Novel Perancis yang berkisah
tentang Edmond Dantes yang dipenjara akibat siasat dari orang-orang yang iri
terhadapnya dan membuat ia bertahun-tahun dikurung di bawah tanah hingga Dantes
bersumpah akan membalas dendam pada orang-orang yang mengurungnya itu membuatku
frustasi.
Bukan,
bukan frustasi karena ini novel sejarah yang lumayan berat jika dibaca oleh orang
dengan kapasitas otak seperti Bella, atau karena aku harus kembali belajar
tentang sejarah—pelajaran mengungkit-ungkit masa lalu yang menurutku sangat
membosankan—saat tumbang dan berkuasanya Napoleon Bonaporte, hingga naiknya Ali
Pasha, atau nama-nama lainnya.
Aku
tidak frustasi karena itu. Hanya saja, hari terakhir ujian, dan saat aku
akhirnya membuang gengsiku dan mengajak Faris berkenalan, lalu memintanya
bercerita tentang suatu kisah yang penuh hikmah, dia hanya mengatakan kata-kata
yang menjadikanku harus berpikir lebih keras hingga detik ini.
“Gankutsuou.
Ada tokoh yang lebih hebat dari Dantes. Kisahnya hampir serupa, tapi berbanding
terbalik. Dia berhati mulia. Aku ingin kau menyebutkan namanya, lalu kau akan
mengetahui sebuah kisah yang indah. Tanpa harus kuceritakan.”
Itulah
jawaban Faris.
Serupa,
tapi berbanding terbalik? Memangnya siapa yang bilang Dantes hebat? Ya, dia
memang pelaut hebat, bersikap baik pada orang-orang dan banyak yang
mencintainya. Tapi, bagaimanapun, balas dendam bukan suatu hal yang baik, kan?
Seburuk apa pun orang lain memperlakukanmu.
♥
Aku menolak dengan keras ajakan
Bella untuk menginap di rumahnya dan menonton anime Gankutsuou yang ternyata
diadaptasi dari novel Le Comte de Monte Cristo yang fenomenal itu. Di Jepang
sendiri, novel yang lebih dikenal dengan nama Gankutsuou ini memang sudah
sangat banyak sekali diadaptasi di berbagai kisah detektif.
“Flo, barangkali kau akan menemukan
jawabannya di anime ini. Aku bela-belain ke rental DVD dan meminjamkan kaset
ini buatmu. Kau tahu? Padahal seharusnya weekend ini aku menonton drama Korea
terbaru dari—“
“Bella yang baik, aku tidak menonton
anime, kau tahu?” sejak dulu daripada
anime, aku lebih prefer menonton live action atau dorama-dorama Jepang
yang inspiratif. Yang kuherankan adalah Bella yang penyuka picisan Korea dan
otaku di waktu yang sama, tapi sangat membenci dorama-dorama Jepang yang
kurekomendasikan. Bella bahkan enggan menonton live action dari anime kesukaannya. Kenapa dia bisa seperti itu? Entahlah.
Temanku ini memang species yang keberadaannya di Bumi sangat langka.
“Flo, ini salah satu usaha juga. Kau
tidak tahu betapa anime Gankutsuou ini sangat keren! Kau tidak akan mendapatkan
jawaban apapun jika hanya dengan membolak-balikkan novel!”
Aku
akan kembali menyerang Bella dengan dalih yang lain saat motor Satria berhenti
di depan kami. Segera kupasang wajah cuek karena teringat kejadian
penguntitanku yang terbongkar tadi. Sejujurnya, aku juga sempat berpikir jika
Satria ini pasti berkonspirasi dengan Faris.
Di
balik helmnya, aku yakin Satria sedang menertawakanku. Jika tidak, minimal
sedang tersenyum geli. Tapi ternyata Satria sama cueknya, dan hanya berhenti di
depan kami dan mematikan mesin motornya. Apa maksudnya?
Bella yang heboh mendorong-dorongku
lalu berhenti saat Satria membuka helmnya.
“Ayo naik.” Aku tetap diam, sambil
menyilangkan tangan di depan dada. Kupandangi Satria yang memang sedang
berusaha menyembunyikan raut geli di mukanya dengan sikap sok serius itu.
Mulutku mengerucut semakin kesal. “Ayo naik.” Dia mengulangi perkataannya.
“Tidak mau. Kau pikir aku tidak bisa
pulang sendiri?”
“Terserahlah.” Satria kembali
memakai helmnya, lalu menyalakan motornya. Dia masih sempat menoleh ke arahku
yang acuh. “Padahal aku mau mentraktirmu pudding.”
“Kalau begitu aku naik.” Sahutku
cepat tanpa berpikir dan tidak tahu malu. Aku sudah naik di boncengan Satria
dan mendengar dia tertawa kecil. Bella yang masih saja ternganga dan selalu
terkejut-kejut dengan sifatku yang seharusnya sudah dikenalnya dengan baik itu
tidak kupedulikan. Aku menerima uluran helm yang diberikan Satria dan
memakainya.
Demi
apa pun, pudding di kedai es krim langganan Satria adalah kelemahan terbesarku.
Sejenak kisah tentang Gankutsuou itu melebur dengan lidahku yang berdecap
membayangkan rasa pudding kesukaanku.
♥
Aku
menyerah. Berulang kali kuketikkan kata-kata yang berhubungan dengan Gankutsuou
di kotak pencarian Google, dan hanya mendapat ulasan tentang novel Le Comte de
Monte Cristo, juga link download anime yang direkomendasikan Bella tadi. Aku
juga mencari-cari kisah orang yang dikurung di dalam gua, atau apa pun itu yang
mungkin saja adalah tokoh yang dimaksud Faris. Tapi sepertinya usahaku akan
sia-sia saja.
Aku
sampai menghubungi Arnold, temanku saat kelas satu dulu dan kini menjadi anak
kelas Sosial yang terpandai dalam mata pelajaran Sejarah. Tapi dia tidak
memberikan informasi apa-apa selain yang sudah kuketahui.
Aku
meletakkan kepalaku di meja belajar. Buku pemberian Rumaisha yang belum juga
kusentuh itu kini membuatku tersenyum. Sedikit bernostalgia. Dulu, kakek pasti
menceritakan kisah-kisah Nabi dan para sahabat padaku sebelum tidur. Meski aku kecil
lebih menyukai dongeng-dongeng Prancis seperti Si Tudung Merah, atau kisah ibu
tiri dan rumah di tengah hutan yang terbuat dari kue jahe serta permen-permen
yang menggiurkan, Hansel dan Gretel, kadang aku juga kagum dengan Ayyub yang
tabah, Umar yang kharismatik dan begitu kuidolakan, Bilal dan suara terompahnya
di Syurga, Khalid dengan kebesaran hatinya, Abdurrahman Ibn Auf yang pandai
berdagang, hingga sampai pada kisah Qarun yang tamak, juga Uwais dengan
baktinya kepada ibunda. Ingatan itu masih meninggalkan pola-pola di otakku yang
bekasnya sedikit demi sedikit memudar.
Serupa,
tapi berbanding terbalik? Siapa yang Faris maksud? Hhh. Aku mengerang frustasi. Saat mengonfirmasi kedekatan Satria
dengan Faris di kedai tadi, dan saat aku menceritakan tentang teka-teki dari
Faris, Satria hanya mengatakan kata-kata yang sama sekali tidak membantu.
“Flo,
kadang kau harus melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Out of the box. Pikirkanlah segala
kemungkinan. Dunia ini, kau tahu? Menjadi indah karena beragam kemungkinan itu.”
Demi
nama kakekku yang selalu menceritakan kisah-kisah penuh hikmah, sekarang
kepalaku terasa sangat berat dan aku benar-benar mengantuk!
♥
“Saudara-saudaranya?
Sumur? Ehh… apa? Sebelas bintang dan matahari?”
Pria sepuh itu tersenyum melihatku
yang sangat cerewet dan tidak sabar dengan kisah yang sedang dituturkannya.
Relief renta di kulitnya membuatku menatap sosok itu lekat-lekat. Seperti ada
daya magnet yang membuatku terpaku pada bola mata teduhnya. Ia selalu mengambil
napas panjang sebelum kembali melanjutkan bicara. Mengelus kepalaku, lalu
menceritakan lanjutan kisahnya dengan napas yang terengah hingga mataku
terpejam.
♥
Aku
mematut diriku di cermin. Hari ini aku bangun dengan hati yang lapang. Tidurku
sangat nyenyak hingga aku memimpikan hal yang indah-indah meski aku sama sekali
tidak mengingat satu pun dari bunga tidurku semalam. Tapi saat melihat pantulan
diriku, aku melihat sesuatu yang menyedihkan. Seseorang yang belum bisa
memecahkan teka-teki dari kakak kelasnya.
Mengingat itu, aku menjadi kesal.
Iseng, kuambil smartphone dan
mengecek pesan masuk. Bella yang setiap pagi rutin mengabarkan ramalan cuaca di
musim hujan ini, pagi ini pun tidak lupa mengingatkanku untuk membawa payung,
padahal matahari sudah sangat terik menerobos celah jendela kamarku. Kenapa dia
percaya sekali dengan ramalan!
Aku
menghela napas sebelum kembali meyakinkan diriku akan keputusan yang kuambil.
Jam istirahat nanti, aku akan menemui Faris dan semua masalah ini akan selesai
hingga aku tidak perlu lagi memusingkan hal yang sebenarnya tidak penting, tapi
jujur, membuatku sangat penasaran.
♥
Aku berbohong pada Bella dan
mengatakan ingin pergi ke UKS karena aku merasa sedikit tidak enak badan. Bella
yang khawatir berbaik hati untuk menemaniku tapi kutolak dengan halus—tentu
saja agar rencanaku tidak diketahuinya. Sebenarnya aku tidak sepenuhnya membual
karena kini aku memang benar-benar sedang tidak enak badan. Seluruh badanku
menjadi gugup dan ada bagian dari diriku yang merasa harga diriku hilang.
Seorang Flower yang terkenal pintar
menganalisa itu kini sedang berjalan lemas menyusuri koridor yang menghubungkan
kelas-kelas kakak tingkat, dan ingin membuat pengakuan jika ia belum bisa memecahkan
teka-teki yang diberikan padanya. Mengingat hal seperti itu bisa terjadi, dengar
gemetar dan tertatih, aku berjalan kaku menuju deretan kelas Alam. Kalau dalam
adegan di dalam dorama-dorama, gesturku kali ini pasti tampak payah sekali!
“Flo!”
“Woh!” aku melonjak. Rumaisha yang
ternyata memanggilku tadi nyengir lebar. “Kau mengagetkanku!” aku meneruskan berjalan,
lalu berhenti. “Ngomong-ngomong, kau, ada perlu apa?” aku menatapnya yang
ternyata mengikutiku berjalan.
“Flo sendiri mau apa?” tanpa
menjawab pertanyaanku, dia membalikkan pertanyaan tadi. Aku salah tingkah,
mencari-cari jawaban. “Aku mau ke masjid. Ada pertemuan tiap Kamis di jam
istirahat.” Terang Rumaisha santai. Aku mengangguk-angguk. Syukurlah, berarti
dia tidak sedang menguntitku. Tidak meneruskan perjalanannya, Rumaisha malah
mengamatiku dengan tatapan menimbang.
“Apa?” aku melihatnya bingung.
“Flo, kau mau ikut ke masjid? Ya,
sepertinya kau harus ikut!” Rumaisha segera menarik lenganku dan berlari.
“HEH? T-tt-tapi… tapi, tapi… aku…”
aku menoleh ke belakang. Kelas Faris baru saja kulewati. Beberapa anak tingkat
akhir yang menghabiskan waktu istirahat di depan kelas mereka hanya menatap
aneh padaku yang sedang diseret Rumaisha dengan anarkis.
♥
Aku meminum banyak-banyak air
mineral yang diberikan teman-teman Rumaisha saat melihat wajahku yang seperti
ingin memangsa temannya yang telah berlaku bengis padaku tadi. Tapi masuk ke
dalam masjid sekolah ini membuatku menjadi sedikit lebih tenang. Rumaisha
sendiri kini sibuk mengisi daftar hadir adik-adik kelasnya.
Aku
mengamati perkumpulan ini. Ada sekat yang memisahkan antara siswa putri dan siswa
putra. Aku tidak pernah tahu hal seperti ini karena aku bukan anak Rohis.
Selain mengikuti Klub Memasak, aku menjabat sebagai ketua di Klub Sastra.
Seorang
adik kelas yang tidak kusangka ternyata mengenalku—padahal aku tidak
mengenalnya—menyapaku dan mengajakku berbasa-basi. Dia juga mengatakan jika
acara tiap hari Kamis itu adalah kajian rutin mingguan. Biasanya diisi oleh
ustadz-ustadz muda, guru-guru Agama, atau kakak-kakak dari Universitas,
beberapa kali bahkan mereka mengundang penulis-penulis Islam terkenal. Aku
hanya mengangguk-angguk tanpa mengomentari.
Kerumunan
anak-anak ini semakin banyak. Aku tidak tahu jika Rohis memiliki anggota
sebanyak ini. Aku masih mengamati sekeliling dan mendapati seseorang yang
sedang memegang buku yang sangat kukenal. Tanpa berpikir panjang, aku segera
merangsek maju mendekatinya.
“Hey,”
kucolek bahunya. Dia menoleh. “Ehh? Aisyah! Ternyata kau,” Aisyah ini adalah
anak Alam dari kelas sebelahku. Aku mengenalnya karena dia anggota Klub
Memasak. “Kau baca novel itu?” aku langsung menanyakan tepat pada intinya.
Aisyah mengangkat novel Le Comte de Monte Cristo sangat dekat di depan mataku
hingga mataku harus bekerja lebih keras karena cover raksasa itu. Kutepis
tangan Aisyah hingga ia menurunkan novelnya.
“Ya,
aku baru saja meminjamnya di perpustakaan.”
“Ahh,
berjuanglah!” aku menyemangatinya. Sebenarnya tidak perlu, karena Aisyah memang
suka membaca dan 700 lebih halaman novel tentu bukan masalah yang besar bagi
gadis berjilbab lebar itu. “Aku juga sudah membaca karya Dumas itu. Kau bisa
memberi komentar padaku kalau sudah menyelesaikannya.” Aku mengusulkan ide
bagus—sebenarnya ini kepentinganku. Aku sangat suka mendiskusikan sebuah buku.
Kurasa dia pun.
“Sssttt!
Kau bisa mendiskusikan buku pemberianku padamu kemarin denganku,” Rumaisha,
yang tidak kutahu kenapa bisa di dekat kami, menyuruhku diam karena acara sudah
dimulai. Dia juga memberi ide yang kurasa bukan hal bagus. Aku yang tidak mau
dipergoki Rumaisha karena belum membaca buku pemberiannya itu kini menurut
karena perlawananku saat ini pasti tidak berarti. Dengan mengantuk, sayup-sayup
aku mendengar suara khas laki-laki di usia puber mulai berkisah.
“Bagaimanapun,
balas dendam bukanlah hal yang baik.” Aku yang sudah setengah tertidur
tersentak mendengar kalimat tadi. Hey, di mana aku pernah mendengar kata-kata
seperti itu sebelumnya? “Saling memaafkan adalah salah satu sifat yang harus
dipupuk dalam persahabatan. Karena sejatinya, dalam ukhuwah, ada hati-hati yang
harus kau jaga. Iman yang terus dibina. Dan ego yang sebaiknya, tak luput dari
tata.”
Aku
memikirkan apa yang dituturkan pembicara itu dengan baik. Dia mengatakan
kata-kata yang bagus hingga kantukku seketika hilang. “Siapa pemateri
sekarang?” tanyaku pada Aisyah yang sedang berkonsentrasi mencatat.
“Dikhianati
teman? Pernah merasakannya? Pernah? Kalau saudara?” desis-desis dan dengungan
terdengar saat pemateri melontarkan pertanyaan tadi. Dikhianati saudara? “Pasti
menyakitkan sekali, bukan?” Ya, ya. Aku baru saja akan mengatakannya. “Tapi
bisakah kau memaafkan mereka?”
Refleks,
aku menggeleng. “Sepertinya akan sulit,” gumamku pelan. Anak-anak perempuan di
sekelilingku kebanyakan sedang menunduk dan mencatat. Aku mengamati catatan
Aisyah dan mulai membacanya.
“Yusuf
dikhianati saudaranya. Ditinggalkan, dicampakkan. Dan nasib mengantarkannya
hingga di dalam sel yang pengap. Tapi apakah dia memendam dendam?”
Aisyah
tiba-tiba mengamatiku yang masih melihat ke buku catatannya. Aku mengangkat
sebelah alisku, meminta penjelasan akan tatapannya tanpa bersuara.
“Hati
Yusuf yang mulia, bahkan saat dia menjadi bergelimang harta dan menjadi seorang
menteri, dia tidak pernah melupakan saudara-saudaranya.”
“Kau
tadi bertanya siapa pemateri?”
Aku
mengangguk. Tapi Aisyah mengamatiku semakin lekat.
“Flo,
kau tidak tahu?”
Aku
menggeleng dengan yakin.
“Yusuf
tidak pernah menyimpan dendam dan tidak pernah berniat membalas orang-orang
yang turut membuat sketsa hidupnya bergelombang. Tapi bukankah memang seperti
itulah hidup? Tidak ada yang menjamin jika jalan kita akan selamanya mulus. Dan
skenario yang telah ditetapkan, pasti adalah yang terbaik. Bagaimanapun
perihnya itu di awal. Dengan iman, Yusuf tidak pernah berada dalam jurang
keputusasaan dan kebencian. Yusuf adalah pangeran dengan…”
Count…
of… lamat-lamat, aku membatin mengikuti kata-kata yang diucapkan pemateri.
Pangeran…
“Pemateri
kali ini Faris, ketua Rohis.”
Tepat
saat Aisyah mengatakan itu, aku berteriak dengan keras karena terlalu girang.
“GANKUTSUOU!”
4 komentar
Pas liat judulnya bingung, tapi isinya keren kak :)
ReplyDeleteMakasih udah baca dan komen, Kakak. :D
ReplyDeleteWawawiwaw.. masya Allah, subarashi..
ReplyDeleteTulisanmu makin keren..
Keep writing and stay fighting, ukhty al mahbubah ;)
Sankyuu... :*
ReplyDeleteI'll do it.