GANKUTSUOU

By Zulfa Rahmatina - 9:33 AM


            Aku masih merunduk. Dari balik semak ini, kulihat dengan jelas sosok berkacamata itu sedang berjalan santai dengan… heh? Bukankah itu  Satria?
               “Flower, sedang apa di situ?”
            Aku menoleh kaget pada orang yang memekikkan namaku. Posisiku yang mencurigakan, tentu saja mengundang tanya bagi orang yang melihatnya.
           Astaga… “Rumaisha!” kutarik kuat-kuat lengan gadis yang memanggilku agar dia ikut bersembunyi di balik semak. “Harusnya kau tahu aku lagi bersembunyi!” aku mendesis, berteriak setengah berbisik padanya, lalu kembali melihat ke arah pemuda berkacamata itu dengan Satria yang ternyata… sedang menatapku.
           Rumaisha, teman sekelasku yang aktivis rohis itu kini meminta maaf karena persembunyianku terbongkar. Aku sendiri sampai enggan bercermin karena takut jika mukaku berubah menjadi seperti kepiting rebus.
            Yah, aku memang tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Rumaisha. Seharusnya memang aku lebih mempercanggih peralatan dan teknik mengintaiku. Sementara aku hanya diam dan Rumaisha terus meminta maaf, Bella, chairmate yang entah kenapa ditakdirkan jadi sahabatku itu—semoga Tuhan punya rencana baik untuk nasibku yang satu ini—malah terpingkal hebat.
            “Flo… Flo, apa kau ini bodoh?” dia masih tertawa dan itu membuatku semakin sebal. “Untuk memecahkan teka-teki seseorang, kau tidak harus menguntitnya!”
“Apa kau bodoh?” kubalikkan kembali pertanyaannya. “Kau pikir siapa yang selalu mendapat peringkat satu di kelas Alam ini?” aku mendengus, mengatakan hal-hal yang kuanggap penting untuk saat ini. “Lagi pula aku tidak menguntit, kau tahu?” sakit sekali rasanya dituduh seperti itu. Walaupun setengahnya memang benar, sih.
Bella masih tertawa. Tidak lagi peduli dengan jawaban siapa yang bodoh di antara kami dan masih saja mengataiku. “Kau juga, pasti sedang bertanya-tanya, kenapa Satria bisa dekat dengan Faris, kan?”
Aku menatap Bella cepat, lalu memalingkan muka. Apa aku ini begitu jelas? Ya, aku memikirkan itu daritadi. Tapi, tentu saja aku…
“Kau buang gengsimu, dan tanyalah aku.” Kini Bella terbahak. Sudut kelopaknya sampai berair. Aku tidak suka ditertawakan seperti itu. Aku baru akan berdiri meninggalkannya saat dia mengatakan hal yang membuatku merasa menjadi orang tertolol di dunia. “Hei, mereka berada di dua klub yang sama.” Bella kini tersenyum simpul. Tapi syaraf-syaraf gelinya masih terlihat dan itu sama saja menyebalkan. “Di Klub Karya Ilmiah dan Taekwondo.” Tegasnya, sambil terus menatapku dengan tatapan geli. “Kupikir, Satria pacarmu itu juga sedang tertarik untuk bergabung dengan Rohis.”
“Jangan menatapku seperti itu! Dan Satria bukan pacarku, kau tahu?!” sentakku sebal. “Hal remeh seperti itu… kau pikir aku tidak tahu?” gengsiku sangat tinggi. Dan, oh, aku mencabut kata-kataku yang mengatai diri sendiri tolol. Aku tidak tolol. Hanya karena tidak tahu anak-anak yang berada di klub yang tidak kau ikuti, bukan berarti kau tolol, kan?
“Anuuu, Flower,” Rumaisha memutus perdebatan kami. Aku menoleh ke arahnya. Bagaimana bisa aku sampai lupa jika aku tidak hanya sedang berdua dengan Bella sialan itu? “Sebenarnya, aku ingin memberimu ini.” Rumaisha mengangsurkan sebuah kado dengan bungkus berwarna hijau muda. “Sebagai ucapan selamat dariku, karena novelmu sudah terbit. Terus berkarya, ya!”
Aku tersenyum dan menatap haru pada Rumaisha. Meski tidak terlalu dekat dengan gadis ini, tak kusangka ia menaruh perhatian besar padaku. “Terima kasih.” Aku menerima kado yang kutahu, pasti isinya buku. Kusobek kertas pembungkus itu di depan Rumaisha, juga Bella yang kini menempel di dekatku, penasaran. Dan saat kertas kado sudah kubuka, lalu Bella melihat isinya, dia kembali terbahak. Buku kumpulan kisah 25 Nabi. Aku meringis, lalu menyodok rusuk Bella agar dia berhenti tertawa. Rupanya kulitnya seperti badak.
       Soal Faris, dia adalah kakak kelasku yang kukenal sejak aku duduk di bangku yang sama dengannya ketika ujian akhir semester ganjil. Pihak sekolah yang membuat peraturan seperti itu dengan alasan agar bisa menekan kecurangan siswa—walaupun pada praktiknya, tidak berpengaruh sama sekali.
Saat itu aku bersyukur mendapat teman duduk dari kakak kelas, bukan adik kelas. Seperti pada ujian tengah semester kemarin, yang membuatku duduk dengan adik kelas cowok yang sangat berisik dan terus saja meminta pin BB bahkan saat aku sedang mengerjakan soal.
Sebelumnya, aku dan Bella bertaruh untuk bisa menjadikan teman sebangku kami sebagai mentor belajar, teman dekat, atau sekurang-kurangnya, membuat teman sebangku kami mau menceritakan suatu kisah. Atau apa lah…. Aku sebenarnya tidak peduli dengan ide itu. Tapi karena kupikir hal itu bukan masalah karena aku baik dalam pergaulan, aku menyetujui saja taruhan konyol Bella. Tapi sepertinya nasibku memang sedang sial.
“Kau tidak mengenal teman sebangkumu? Astaga…” Bella menyeruput kuat-kuat cappuccinonya. Matanya melebar. Mengamatiku yang sedang sibuk menuangkan sambal banyak-banyak pada mangkuk sotoku. Sepertinya ia tidak habis pikir melihatku yang masih saja santai padahal aku baru saja mengeluhkan teman sebangkuku yang sama sekali tidak berbicara padaku.
Aku menggeleng. “Memangnya penting?” ucapku acuh, dan mengambil kerupuk di depan Bella yang entah kenapa tiba-tiba saja tersedak. Kafetaria sekolah saat jam istirahat ini sangat penuh. Jangan bayangkan aku dan Bella berbicara dengan berbisik. Kami berteriak agar bisa mendengar satu sama lain karena suasana yang bising.
“Flooo… dia itu populer, kau tahu? Dia ketua Rohis! Tidak ada anak di sekolah ini yang tidak mengenalnya!”
Aku menghentikan suapanku. Fakta jika teman sebangkuku adalah anak Rohis, membuatku segera mengatur siasat yang lain. Pantas saja. Tidak seperti kakak kelas yang biasanya mengajakku berkenalan, teman sebangkuku tadi hanya fokus pada soal-soal ujiannya dan tidak melihatku sama sekali. Pada awalnya aku mengira dia gugup. Entah dengan ujian itu, atau kalau boleh sedikit percaya diri, dia gugup karena duduk di dekatku.
 Sekarang aku sudah tahu kenapa dia bersikap seperti itu. Tapi, tenang saja. Jangan bilang aku ini Flower. Aku pasti bisa memecahkan batu karang yang keras sekalipun. “Aku akan membuatnya bicara. Demi nama kakekku—“
“Kakekmu bukan detektif terkenal!” tukas Bella ketus, memutus kalimatku saat aku mulai mengatakan kata-kata seperti yang diucapkan detektif muda Kindaichi ketika ia bertekad memecahkan suatu kasus.
Aku tertawa mendapati muka Bella yang melihatku dengan malas.
            Le Comte de Monte Cristo. Kuputar-putar novel karya Alexandre Dumas ini. Novel Perancis yang berkisah tentang Edmond Dantes yang dipenjara akibat siasat dari orang-orang yang iri terhadapnya dan membuat ia bertahun-tahun dikurung di bawah tanah hingga Dantes bersumpah akan membalas dendam pada orang-orang yang mengurungnya itu membuatku frustasi.
Bukan, bukan frustasi karena ini novel sejarah yang lumayan berat jika dibaca oleh orang dengan kapasitas otak seperti Bella, atau karena aku harus kembali belajar tentang sejarah—pelajaran mengungkit-ungkit masa lalu yang menurutku sangat membosankan—saat tumbang dan berkuasanya Napoleon Bonaporte, hingga naiknya Ali Pasha, atau nama-nama lainnya.
Aku tidak frustasi karena itu. Hanya saja, hari terakhir ujian, dan saat aku akhirnya membuang gengsiku dan mengajak Faris berkenalan, lalu memintanya bercerita tentang suatu kisah yang penuh hikmah, dia hanya mengatakan kata-kata yang menjadikanku harus berpikir lebih keras hingga detik ini.
“Gankutsuou. Ada tokoh yang lebih hebat dari Dantes. Kisahnya hampir serupa, tapi berbanding terbalik. Dia berhati mulia. Aku ingin kau menyebutkan namanya, lalu kau akan mengetahui sebuah kisah yang indah. Tanpa harus kuceritakan.”
Itulah jawaban Faris.
Serupa, tapi berbanding terbalik? Memangnya siapa yang bilang Dantes hebat? Ya, dia memang pelaut hebat, bersikap baik pada orang-orang dan banyak yang mencintainya. Tapi, bagaimanapun, balas dendam bukan suatu hal yang baik, kan? Seburuk apa pun orang lain memperlakukanmu.
           Aku menolak dengan keras ajakan Bella untuk menginap di rumahnya dan menonton anime Gankutsuou yang ternyata diadaptasi dari novel Le Comte de Monte Cristo yang fenomenal itu. Di Jepang sendiri, novel yang lebih dikenal dengan nama Gankutsuou ini memang sudah sangat banyak sekali diadaptasi di berbagai kisah detektif.
         “Flo, barangkali kau akan menemukan jawabannya di anime ini. Aku bela-belain ke rental DVD dan meminjamkan kaset ini buatmu. Kau tahu? Padahal seharusnya weekend ini aku menonton drama Korea terbaru dari—“
           “Bella yang baik, aku tidak menonton anime, kau tahu?”  sejak dulu daripada anime, aku lebih prefer menonton live action atau dorama-dorama Jepang yang inspiratif. Yang kuherankan adalah Bella yang penyuka picisan Korea dan otaku di waktu yang sama, tapi sangat membenci dorama-dorama Jepang yang kurekomendasikan. Bella bahkan enggan menonton live action dari anime kesukaannya. Kenapa dia bisa seperti itu? Entahlah. Temanku ini memang species yang keberadaannya di Bumi sangat langka.
           “Flo, ini salah satu usaha juga. Kau tidak tahu betapa anime Gankutsuou ini sangat keren! Kau tidak akan mendapatkan jawaban apapun jika hanya dengan membolak-balikkan novel!”
Aku akan kembali menyerang Bella dengan dalih yang lain saat motor Satria berhenti di depan kami. Segera kupasang wajah cuek karena teringat kejadian penguntitanku yang terbongkar tadi. Sejujurnya, aku juga sempat berpikir jika Satria ini pasti berkonspirasi dengan Faris.
Di balik helmnya, aku yakin Satria sedang menertawakanku. Jika tidak, minimal sedang tersenyum geli. Tapi ternyata Satria sama cueknya, dan hanya berhenti di depan kami dan mematikan mesin motornya. Apa maksudnya?
            Bella yang heboh mendorong-dorongku lalu berhenti saat Satria membuka helmnya.
            “Ayo naik.” Aku tetap diam, sambil menyilangkan tangan di depan dada. Kupandangi Satria yang memang sedang berusaha menyembunyikan raut geli di mukanya dengan sikap sok serius itu. Mulutku mengerucut semakin kesal. “Ayo naik.” Dia mengulangi perkataannya.
          “Tidak mau. Kau pikir aku tidak bisa pulang sendiri?”
         “Terserahlah.” Satria kembali memakai helmnya, lalu menyalakan motornya. Dia masih sempat menoleh ke arahku yang acuh. “Padahal aku mau mentraktirmu pudding.”
            “Kalau begitu aku naik.” Sahutku cepat tanpa berpikir dan tidak tahu malu. Aku sudah naik di boncengan Satria dan mendengar dia tertawa kecil. Bella yang masih saja ternganga dan selalu terkejut-kejut dengan sifatku yang seharusnya sudah dikenalnya dengan baik itu tidak kupedulikan. Aku menerima uluran helm yang diberikan Satria dan memakainya.
Demi apa pun, pudding di kedai es krim langganan Satria adalah kelemahan terbesarku. Sejenak kisah tentang Gankutsuou itu melebur dengan lidahku yang berdecap membayangkan rasa pudding kesukaanku.
Aku menyerah. Berulang kali kuketikkan kata-kata yang berhubungan dengan Gankutsuou di kotak pencarian Google, dan hanya mendapat ulasan tentang novel Le Comte de Monte Cristo, juga link download anime yang direkomendasikan Bella tadi. Aku juga mencari-cari kisah orang yang dikurung di dalam gua, atau apa pun itu yang mungkin saja adalah tokoh yang dimaksud Faris. Tapi sepertinya usahaku akan sia-sia saja.
Aku sampai menghubungi Arnold, temanku saat kelas satu dulu dan kini menjadi anak kelas Sosial yang terpandai dalam mata pelajaran Sejarah. Tapi dia tidak memberikan informasi apa-apa selain yang sudah kuketahui.
Aku meletakkan kepalaku di meja belajar. Buku pemberian Rumaisha yang belum juga kusentuh itu kini membuatku tersenyum. Sedikit bernostalgia. Dulu, kakek pasti menceritakan kisah-kisah Nabi dan para sahabat padaku sebelum tidur. Meski aku kecil lebih menyukai dongeng-dongeng Prancis seperti Si Tudung Merah, atau kisah ibu tiri dan rumah di tengah hutan yang terbuat dari kue jahe serta permen-permen yang menggiurkan, Hansel dan Gretel, kadang aku juga kagum dengan Ayyub yang tabah, Umar yang kharismatik dan begitu kuidolakan, Bilal dan suara terompahnya di Syurga, Khalid dengan kebesaran hatinya, Abdurrahman Ibn Auf yang pandai berdagang, hingga sampai pada kisah Qarun yang tamak, juga Uwais dengan baktinya kepada ibunda. Ingatan itu masih meninggalkan pola-pola di otakku yang bekasnya sedikit demi sedikit memudar.
Serupa, tapi berbanding terbalik? Siapa yang Faris maksud? Hhh. Aku mengerang frustasi. Saat mengonfirmasi kedekatan Satria dengan Faris di kedai tadi, dan saat aku menceritakan tentang teka-teki dari Faris, Satria hanya mengatakan kata-kata yang sama sekali tidak membantu.
“Flo, kadang kau harus melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. Out of the box. Pikirkanlah segala kemungkinan. Dunia ini, kau tahu? Menjadi indah karena beragam kemungkinan itu.”
Demi nama kakekku yang selalu menceritakan kisah-kisah penuh hikmah, sekarang kepalaku terasa sangat berat dan aku benar-benar mengantuk!
            “Saudara-saudaranya? Sumur? Ehh… apa? Sebelas bintang dan matahari?”
            Pria sepuh itu tersenyum melihatku yang sangat cerewet dan tidak sabar dengan kisah yang sedang dituturkannya. Relief renta di kulitnya membuatku menatap sosok itu lekat-lekat. Seperti ada daya magnet yang membuatku terpaku pada bola mata teduhnya. Ia selalu mengambil napas panjang sebelum kembali melanjutkan bicara. Mengelus kepalaku, lalu menceritakan lanjutan kisahnya dengan napas yang terengah hingga mataku terpejam.
            Aku mematut diriku di cermin. Hari ini aku bangun dengan hati yang lapang. Tidurku sangat nyenyak hingga aku memimpikan hal yang indah-indah meski aku sama sekali tidak mengingat satu pun dari bunga tidurku semalam. Tapi saat melihat pantulan diriku, aku melihat sesuatu yang menyedihkan. Seseorang yang belum bisa memecahkan teka-teki dari kakak kelasnya.
         Mengingat itu, aku menjadi kesal. Iseng, kuambil smartphone dan mengecek pesan masuk. Bella yang setiap pagi rutin mengabarkan ramalan cuaca di musim hujan ini, pagi ini pun tidak lupa mengingatkanku untuk membawa payung, padahal matahari sudah sangat terik menerobos celah jendela kamarku. Kenapa dia percaya sekali dengan ramalan!
Aku menghela napas sebelum kembali meyakinkan diriku akan keputusan yang kuambil. Jam istirahat nanti, aku akan menemui Faris dan semua masalah ini akan selesai hingga aku tidak perlu lagi memusingkan hal yang sebenarnya tidak penting, tapi jujur, membuatku sangat penasaran.
          Aku berbohong pada Bella dan mengatakan ingin pergi ke UKS karena aku merasa sedikit tidak enak badan. Bella yang khawatir berbaik hati untuk menemaniku tapi kutolak dengan halus—tentu saja agar rencanaku tidak diketahuinya. Sebenarnya aku tidak sepenuhnya membual karena kini aku memang benar-benar sedang tidak enak badan. Seluruh badanku menjadi gugup dan ada bagian dari diriku yang merasa harga diriku hilang.
          Seorang Flower yang terkenal pintar menganalisa itu kini sedang berjalan lemas menyusuri koridor yang menghubungkan kelas-kelas kakak tingkat, dan ingin membuat pengakuan jika ia belum bisa memecahkan teka-teki yang diberikan padanya. Mengingat hal seperti itu bisa terjadi, dengar gemetar dan tertatih, aku berjalan kaku menuju deretan kelas Alam. Kalau dalam adegan di dalam dorama-dorama, gesturku kali ini pasti tampak payah sekali!
             “Flo!”
      “Woh!” aku melonjak. Rumaisha yang ternyata memanggilku tadi nyengir lebar. “Kau mengagetkanku!” aku meneruskan berjalan, lalu berhenti. “Ngomong-ngomong, kau, ada perlu apa?” aku menatapnya yang ternyata mengikutiku berjalan.
            “Flo sendiri mau apa?” tanpa menjawab pertanyaanku, dia membalikkan pertanyaan tadi. Aku salah tingkah, mencari-cari jawaban. “Aku mau ke masjid. Ada pertemuan tiap Kamis di jam istirahat.” Terang Rumaisha santai. Aku mengangguk-angguk. Syukurlah, berarti dia tidak sedang menguntitku. Tidak meneruskan perjalanannya, Rumaisha malah mengamatiku dengan tatapan menimbang.
                “Apa?” aku melihatnya bingung.
            “Flo, kau mau ikut ke masjid? Ya, sepertinya kau harus ikut!” Rumaisha segera menarik lenganku dan berlari.
            “HEH? T-tt-tapi… tapi, tapi… aku…” aku menoleh ke belakang. Kelas Faris baru saja kulewati. Beberapa anak tingkat akhir yang menghabiskan waktu istirahat di depan kelas mereka hanya menatap aneh padaku yang sedang diseret Rumaisha dengan anarkis.
            Aku meminum banyak-banyak air mineral yang diberikan teman-teman Rumaisha saat melihat wajahku yang seperti ingin memangsa temannya yang telah berlaku bengis padaku tadi. Tapi masuk ke dalam masjid sekolah ini membuatku menjadi sedikit lebih tenang. Rumaisha sendiri kini sibuk mengisi daftar hadir adik-adik kelasnya.
Aku mengamati perkumpulan ini. Ada sekat yang memisahkan antara siswa putri dan siswa putra. Aku tidak pernah tahu hal seperti ini karena aku bukan anak Rohis. Selain mengikuti Klub Memasak, aku menjabat sebagai ketua di Klub Sastra.
Seorang adik kelas yang tidak kusangka ternyata mengenalku—padahal aku tidak mengenalnya—menyapaku dan mengajakku berbasa-basi. Dia juga mengatakan jika acara tiap hari Kamis itu adalah kajian rutin mingguan. Biasanya diisi oleh ustadz-ustadz muda, guru-guru Agama, atau kakak-kakak dari Universitas, beberapa kali bahkan mereka mengundang penulis-penulis Islam terkenal. Aku hanya mengangguk-angguk tanpa mengomentari.
Kerumunan anak-anak ini semakin banyak. Aku tidak tahu jika Rohis memiliki anggota sebanyak ini. Aku masih mengamati sekeliling dan mendapati seseorang yang sedang memegang buku yang sangat kukenal. Tanpa berpikir panjang, aku segera merangsek maju mendekatinya.
“Hey,” kucolek bahunya. Dia menoleh. “Ehh? Aisyah! Ternyata kau,” Aisyah ini adalah anak Alam dari kelas sebelahku. Aku mengenalnya karena dia anggota Klub Memasak. “Kau baca novel itu?” aku langsung menanyakan tepat pada intinya. Aisyah mengangkat novel Le Comte de Monte Cristo sangat dekat di depan mataku hingga mataku harus bekerja lebih keras karena cover raksasa itu. Kutepis tangan Aisyah hingga ia menurunkan novelnya.
“Ya, aku baru saja meminjamnya di perpustakaan.”
“Ahh, berjuanglah!” aku menyemangatinya. Sebenarnya tidak perlu, karena Aisyah memang suka membaca dan 700 lebih halaman novel tentu bukan masalah yang besar bagi gadis berjilbab lebar itu. “Aku juga sudah membaca karya Dumas itu. Kau bisa memberi komentar padaku kalau sudah menyelesaikannya.” Aku mengusulkan ide bagus—sebenarnya ini kepentinganku. Aku sangat suka mendiskusikan sebuah buku. Kurasa dia pun.
“Sssttt! Kau bisa mendiskusikan buku pemberianku padamu kemarin denganku,” Rumaisha, yang tidak kutahu kenapa bisa di dekat kami, menyuruhku diam karena acara sudah dimulai. Dia juga memberi ide yang kurasa bukan hal bagus. Aku yang tidak mau dipergoki Rumaisha karena belum membaca buku pemberiannya itu kini menurut karena perlawananku saat ini pasti tidak berarti. Dengan mengantuk, sayup-sayup aku mendengar suara khas laki-laki di usia puber mulai berkisah.
“Bagaimanapun, balas dendam bukanlah hal yang baik.” Aku yang sudah setengah tertidur tersentak mendengar kalimat tadi. Hey, di mana aku pernah mendengar kata-kata seperti itu sebelumnya? “Saling memaafkan adalah salah satu sifat yang harus dipupuk dalam persahabatan. Karena sejatinya, dalam ukhuwah, ada hati-hati yang harus kau jaga. Iman yang terus dibina. Dan ego yang sebaiknya, tak luput dari tata.”
Aku memikirkan apa yang dituturkan pembicara itu dengan baik. Dia mengatakan kata-kata yang bagus hingga kantukku seketika hilang. “Siapa pemateri sekarang?” tanyaku pada Aisyah yang sedang berkonsentrasi mencatat.
“Dikhianati teman? Pernah merasakannya? Pernah? Kalau saudara?” desis-desis dan dengungan terdengar saat pemateri melontarkan pertanyaan tadi. Dikhianati saudara? “Pasti menyakitkan sekali, bukan?” Ya, ya. Aku baru saja akan mengatakannya. “Tapi bisakah kau memaafkan mereka?”
Refleks, aku menggeleng. “Sepertinya akan sulit,” gumamku pelan. Anak-anak perempuan di sekelilingku kebanyakan sedang menunduk dan mencatat. Aku mengamati catatan Aisyah  dan mulai membacanya.
“Yusuf dikhianati saudaranya. Ditinggalkan, dicampakkan. Dan nasib mengantarkannya hingga di dalam sel yang pengap. Tapi apakah dia memendam dendam?”
Aisyah tiba-tiba mengamatiku yang masih melihat ke buku catatannya. Aku mengangkat sebelah alisku, meminta penjelasan akan tatapannya tanpa bersuara.
“Hati Yusuf yang mulia, bahkan saat dia menjadi bergelimang harta dan menjadi seorang menteri, dia tidak pernah melupakan saudara-saudaranya.”
“Kau tadi bertanya siapa pemateri?”
Aku mengangguk. Tapi Aisyah mengamatiku semakin lekat.
“Flo, kau tidak tahu?”
Aku menggeleng dengan yakin.
“Yusuf tidak pernah menyimpan dendam dan tidak pernah berniat membalas orang-orang yang turut membuat sketsa hidupnya bergelombang. Tapi bukankah memang seperti itulah hidup? Tidak ada yang menjamin jika jalan kita akan selamanya mulus. Dan skenario yang telah ditetapkan, pasti adalah yang terbaik. Bagaimanapun perihnya itu di awal. Dengan iman, Yusuf tidak pernah berada dalam jurang keputusasaan dan kebencian. Yusuf adalah pangeran dengan…”
Count… of… lamat-lamat, aku membatin mengikuti kata-kata yang diucapkan pemateri. Pangeran…
“Pemateri kali ini Faris, ketua Rohis.”
Tepat saat Aisyah mengatakan itu, aku berteriak dengan keras karena terlalu girang. “GANKUTSUOU!”


  • Share:

You Might Also Like

4 komentar

  1. Pas liat judulnya bingung, tapi isinya keren kak :)

    ReplyDelete
  2. Makasih udah baca dan komen, Kakak. :D

    ReplyDelete
  3. Wawawiwaw.. masya Allah, subarashi..
    Tulisanmu makin keren..
    Keep writing and stay fighting, ukhty al mahbubah ;)

    ReplyDelete