Kupikir Aku Mampu

By Zulfa Rahmatina - 3:18 PM


Rupanya tidak. Entahlah, mungkin belum. Rasanya lukaku semakin sakit—atau rasa sakit yang karena frekuensi kemunculannya secara sporadis itu, membuat luka ini rasanya menjadi sama saja. Seperti pertama kalinya. Kadang-kadang aku memang tidak merasakannya. Ajaib. Tapi di lain waktu, seperti ini. Rasa nyerinya menjalar-jalar ke seluruh bagian hingga dadaku sesak. Sakit sekali.

Kadang, aku terlalu takut kehabisan napas karena satu luka ini. Padahal bukan organ pernapasanku yang bermasalah. Tentu saja terlepas dari itu, napasku sungguh berarti dari apa pun. Aku sama sekali tidak berpikir konyol untuk mengakhirinya meski luka tadi menyiksaku dan menghantam dengan keras berkali-kali. Meski aku sempat mengalami ketakutan berlebih pada setiap hal yang memungkinkanku untuk mendapat luka yang sama. Karena aku bukan manusia super, kupikir, aku lebih baik menghindarinya saja kan. Iya iya, aku berpikir pendek dan tidak ingin mengambil risiko. Aku takut terluka lagi dan tidak apa-apa jika kau menganggapku sebagai pengecut. Aku sudah melewati banyak hal menyakitkan. Aku juga memiliki pengalaman hampir tenggelam, oleh air mataku sendiri. Mengerikan, tapi aku masih selamat. Buktinya kita bisa sama-sama bersua di gubuk maya ini.

Ketika menyadari hal ini, aku sedikit terhenyak. Hei, kenapa aku bisa berada sejauh ini meski luka itu mendatangiku berulang kali? Apakah artinya aku bisa sembuh? Aku mulai mencermati hal-hal apa saja yang membuat luka tadi kadang-kadang tidak terasa—bahkan serasa tidak pernah ada. Aku mencatat pula bagaimana awalnya ia membuatku koyak seperti ini, mengelupas kulit ari, menimbulkan perih yang berkali-kali. Satu hal yang aku dapat, ternyata, kemarin-kemarin aku tidak banyak mengambil pelajaran. Aku masih menggantungkan harapanku kepada selain-Nya, dan hal itu pula yang membuatku jatuh terperosok kian dalam—ketika lagi-lagi aku mengulanginya. Bodoh, kan? Tapi tidak mengapa, kesalahan seringkali datang untuk membuat kita lebih baik lagi. Aku juga tidak akan menyangkal kebodohanku kemarin. Tidak juga mempedulikan orang-orang yang akan menertawakanku karena hal itu. Tertawalah puas-puas. Karena aku juga sedang sibuk berjuang keras. Semoga dengan itu pula aku bisa menjadi manusia yang lebih kuat lagi. Kata Jung, kita memang butuh beberapa benturan untuk bisa terbentuk—dalam konotasi baik dan buruk. Dalam kasusku, aku tentu saja ingin menjadi bentuk yang baik.

Selama perjalanan ini, aku selalu berpikir bahwa menerima suatu hal berarti membiarkan diri dikuasai olehnya. Ternyata tidak. Hanya dengan menerima kita dapat menentukan sikap terhadapnya. Maka kini aku bertekad membuka diri dan membiarkannya menerima segala sesuatu datang menghampiriku. Entah itu baik dan buruk. Duka dan ria. Sedih dan gembira. Semuanya. Aku telah memahami pertolongan pertama pada luka batin, dan ...

aku siap menghadapi kembali segalanya, sendiri tak apa. 
Tapi kalau kamu juga sepakat dengan tekadku,
mengapa kita tidak bersama saja?


source: deviantart.com

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar