Rupanya tidak. Entahlah, mungkin belum. Rasanya lukaku
semakin sakit—atau rasa sakit yang karena frekuensi kemunculannya secara sporadis
itu, membuat luka ini rasanya menjadi sama saja. Seperti pertama kalinya. Kadang-kadang
aku memang tidak merasakannya. Ajaib. Tapi di lain waktu, seperti ini. Rasa
nyerinya menjalar-jalar ke seluruh bagian hingga dadaku sesak. Sakit sekali.
Kadang, aku terlalu takut kehabisan napas karena satu luka
ini. Padahal bukan organ pernapasanku yang bermasalah. Tentu saja terlepas dari
itu, napasku sungguh berarti dari apa pun. Aku sama sekali tidak berpikir
konyol untuk mengakhirinya meski luka tadi menyiksaku dan menghantam dengan
keras berkali-kali. Meski aku sempat mengalami ketakutan berlebih pada setiap
hal yang memungkinkanku untuk mendapat luka yang sama. Karena aku bukan manusia
super, kupikir, aku lebih baik menghindarinya saja kan. Iya iya, aku berpikir
pendek dan tidak ingin mengambil risiko. Aku takut terluka lagi dan tidak apa-apa
jika kau menganggapku sebagai pengecut. Aku sudah melewati banyak hal
menyakitkan. Aku juga memiliki pengalaman hampir tenggelam, oleh air mataku
sendiri. Mengerikan, tapi aku masih selamat. Buktinya kita bisa sama-sama
bersua di gubuk maya ini.
Ketika menyadari hal ini, aku sedikit terhenyak. Hei, kenapa
aku bisa berada sejauh ini meski luka itu mendatangiku berulang kali? Apakah
artinya aku bisa sembuh? Aku mulai mencermati hal-hal apa saja yang membuat
luka tadi kadang-kadang tidak terasa—bahkan serasa tidak pernah ada. Aku
mencatat pula bagaimana awalnya ia membuatku koyak seperti ini, mengelupas
kulit ari, menimbulkan perih yang berkali-kali. Satu hal yang aku dapat,
ternyata, kemarin-kemarin aku tidak banyak mengambil pelajaran. Aku masih
menggantungkan harapanku kepada selain-Nya, dan hal itu pula yang membuatku jatuh
terperosok kian dalam—ketika lagi-lagi aku mengulanginya. Bodoh, kan? Tapi tidak
mengapa, kesalahan seringkali datang untuk membuat kita lebih baik lagi. Aku juga
tidak akan menyangkal kebodohanku kemarin. Tidak juga mempedulikan orang-orang
yang akan menertawakanku karena hal itu. Tertawalah puas-puas. Karena aku juga
sedang sibuk berjuang keras. Semoga dengan itu pula aku bisa menjadi manusia
yang lebih kuat lagi. Kata Jung, kita memang butuh beberapa benturan untuk bisa
terbentuk—dalam konotasi baik dan buruk. Dalam kasusku, aku tentu saja ingin
menjadi bentuk yang baik.
Selama perjalanan ini, aku selalu berpikir bahwa menerima
suatu hal berarti membiarkan diri dikuasai olehnya. Ternyata tidak. Hanya dengan
menerima kita dapat menentukan sikap terhadapnya. Maka kini aku bertekad
membuka diri dan membiarkannya menerima segala sesuatu datang menghampiriku. Entah
itu baik dan buruk. Duka dan ria. Sedih dan gembira. Semuanya. Aku telah
memahami pertolongan pertama pada luka batin, dan ...
aku siap menghadapi kembali segalanya, sendiri tak apa.
Tapi kalau kamu juga sepakat dengan tekadku,
mengapa kita tidak bersama saja?
mengapa kita tidak bersama saja?
source: deviantart.com |
0 komentar