Shalat Ied di Lapangan?

By Zulfa Rahmatina - 12:04 AM

      Assalamu’alaikum Shalih(in/at)…
    Nggak terasa, ya? Beberapa jam lagi sudah masuk Syawal :’) Rasanya masih pengen berlama-lama dengan Ramadhan deh :’)
Jadi kemarin, pas ane lagi nulis-nulis nggak jelas buat ngilangin bete karena dicecar terus sama pertanyaan temen SMA yang ngajakin bukber di resto dekat stadiun baru Kendal, ponsel yang sengaja enggak ane peduliin itu bunyi. 
Hhh… ini pasti anak itu lagi. Padahal udah jelas-jelas, ane bilang enggak dibolehin ummi kalau nggak ada temen dari sini. Yaa gimana, ya. Pasti pulangnya malem, kan? Nah, karena juga di tahun ke-19-ku ini, abi juga belum terketuk hatinya buat bikinin ane SIM—bukan Surat Ijin Menikah, loh—jadilah ane bingung gimana pergi ke sana karena tempatnya itu jauh dari jalan raya.
Karena ponsel nggak juga diem, dengan malas, ane sempetin ngelirik layar ponsel. Pinpon! Bener, kan, itu nomor tidak dikenal yang pasti punya temen ane. Jadi, ane sengaja biarin deh sampai diem sendiri. Dan nggak lama, nada dering ponsel ummi bunyi, terus beliau masuk kamar ane nyodorin handphone-nya.
Eh?
“Kamu lagi ngapain? Lagi ngapain?” suara di seberang terdengar panik.
“Enggg… enggak ngapa-ngapain, sih,” sahut ane sambil liat lembar kerja yang udah separuh penuh dengan you-know-what—dash! Bilang aja tulisan nggak jelas. Kakakaka :D “Ada apa lagi? Ayam kecap itu pantesnya jangan sama sayur yang bersantan. Sop apa sayur bayam, sayur asem kek. Oh, kalau opor kuning, jangan lupa numbuk kunirnya yang halus. Kaldunya itu jangan dibuang, sayang. Bisa dimanfaatin buat yang lain. Kalau mau oseng, potong sayurnya jangan kegedean. Kalau mau masukin di penggorengan, pilih sayur yang paling keras dan nggak mudah lunak terus—“
“Kenapa kita sholat ied di lapangan?”
“Heehh?” ane kaget. Biasanya, sepupu yang baru nikah ini emang ngehubungin cuma buat konsultasi masakan. Ahaha. Jadi udah berprasangka baik deh ane-nya (?) 
“Jadi kenapa?”
“Yaa… karena Rasulullah juga dulu gitu.”
“Ada dalil kagak?”
“Ya ada lah. Gimana sih. Kalau nggak ada dalil, dan kita ngelakuin, itu namanya mengada-ada. Ngawur.” Hhh… sepertinya ane udah mencium bau-bau kalimat yang bakal diucapkan adik sepupu tercinta setelah ini deh *puhh.
“Mau, ya? Mau…. Ini temen ada yang nanya kenapa kita sholat ied di lapangan. Terus aku enggak tau mau jawab apa.”
Ane nyengir. Kapan gitu siklus membosankan ini berhenti. Kalau mau awal Ramadhan, sibuk masalah rukyat/hisab. Mau syawal, geger lagi. Ditambah masalah di mana ngejalanin shalat ied. 
Sebelumnya, udah ada nisfu sya’ban yang juga dibikin ribut. Setelahnya, ada natalan yang udah jelas-jelas bukan hari raya kita. Maju dikit, ada lagi valentine-enggak-jelas yang diklaim sebagai hari kasih sayang. Dan, masih banyak lagi masalah-masalah yang kita ulangi tiap tahunnya. Jadi, kapan siklus ini berhenti? Pernah nggak sih ngerasa jenuh?
        Dalam kasus adikku ini, ane tau banget dia pasti lagi debat kusir. Nggak su’udzon. Cuma berkaca dari pengalaman aja. Kebanyakan sahabat muslim yang ngajakin diskusi—debat—perbedaan pandangan tentang agama itu, mereka nggak lagi nyari kebenaran, tapi pembenaran akan hal yang diyakininya tersebut.
Sedih banget waktu ada sekelompok orang yang ane tau berasal dari kalangan intelektual, bikin kata-kata sindiran tentang orang-orang yang mereka anggap sok benar, sok suci, dan udah punya tanah di surga sehingga bisa bebas ngatain saudaranya sesat, kafir.
         Kenal hafidz cilik Musa? Abahnya pakai celana bahan, ngatung kayak kebanjiran. Umi dan neneknya pake niqob, item-item, disorot kamera. Apa mereka orang-orang yang bermasalah? Udah punya tanah di surga juga? Sok suci, sok benar? Terrorist???  
         Kalau gini konteksnya, tinggal dilihat aja sih. Sejauh mana penyimpangan golongan yang dianggap sesat dan kafir oleh sekelompok orang yang-katanya-udah-punya-tanah-di-syurga itu terhadap syariat. Nah kalau ternyata emang sesat, mau dibilang apa lagi? 
     Ana khawatir, kelak, enggak ada yang namanya kebenaran di dunia ini. Sebab pun mereka yang mengata-ngatai orang yang dianggap sok suci dan sok benar itu, pada hakikatnya, mereka telah jatuh di lubang yang sama karena secara sadar ataupun tidak, mereka juga mengganggap jika yang mereka lakukan itu adalah juga yang terbenar.
       Di dunia ini, banyak yang Allah karuniai kecerdasan. Tapi tidak dengan kelembutan hati, ketulusan sikap, kesopanan laku dan keindahan tutur… 
        Nah, kalau masalah sepupu yang sekarang lagi ngeributin kenapa shalat ied enggak di masjid tapi di lapangan, sebenarnya banyak dalil yang malah mendukung kubu yang melaksanakan shalat ied di lapangan. 
       Dalam hidupnya, Rasulullah melakukan 9 kali shalat ied dan satu di antaranya dilakukan di masjid dikarenakan kondisi hujan. Delapan lainnya beliau shalat di lapangan. Lihat deh, Rasulullah lebih memilih meninggalkan masjid yang dikabarkan shalat di sana lebih baik dari masjid manapun untuk shalat ied di lapangan. 
          Kenapa? Karena Rasulullah, memilih shalat di lapangan dengan memiliki tujuan lain yaitu syi’ar. Beliau juga menganjurkan untuk berjalan di dua jalan yang berbeda saat akan menuju tanah lapang, kan? Itu karena Rasulullah ingin berjumpa dengan sebanyak-banyaknya orang.
          
    Berikut ana kutipkan beberapa hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah melaksanakan shalat ied di lapangan. 
      
      “Dulu Rasulullah saw keluar di hari raya idul fitri dan idul adha menuju lapangan. Maka sesuatu yang paling pertama kali beliau mulai adalah shalat ied, kemudian beliau berbalik dan berdiri menghadap manusia, sedangkan manusia duduk pada shaf-shaf mereka. Beliau pun memberikan nasihat dan wasiat kepada mereka, serta memberikan perintah kepada mereka. Jika beliau ingin mengirim suatu utusan, maka beliau putuskan (tetapkan), atau jika beliau memerintahkan sesuatu, maka beliau akan memerintahkannya. Lalu beliau pun pulang”. [HR. Al-Bukhari dalam Shohih-nya(913) dan Mulim dalam Shohih-nya (889)]

      Imam Syafi’i-rahimahullah- berkata, “Telah sampai berita kepada kami bahwa Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu keluar di dua hari raya menuju lapangan yang terdapat di kota Madinah. Demikian pula generasi setelahnya, dan seluruh penduduk negeri, kecuali penduduk Mekah, maka sesungguhnya belum sampai berita kepada kami bahwa seorang diantara salaf shalat ied memimpin mereka, kecuali di masjid mereka. [Lihat Al-Umm (1/389)]
       Penduduk Mekkah dikecualikan dalam hal ini, karena sempitnya lokasi yang ada di negeri itu. Mekkah adalah lembah yang dikelilingi oleh pegunungan, tidak mungkin bagi penduduk untuk melaksanakan sholat ied kecuali di lembah itu. Sedang di lembah itulah terdapat Baitullah. 
      
       Ibnu umar -radhiyallahu ‘anhuma- berkata,
     “Rasulullah-Shollallahu ‘alaihi wasallam- keluar pagi-pagi menuju lapangan di hari ied, sedangkan tombak kecil di depan beliau. Jika telah tiba di lapangan, maka tombak kecil itu ditancapkan di depan beliau. Lalu beliau pun shalat menghadap tombak tersebut. Demikianlah, karena lapangan itu adalah padang, di dalamnya tak ada sesuatu yang bisa dijadikan “sutroh” (pembatas di depan imam)” [HR.Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (930), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1304)]

      Al-Baraa’ -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
    “Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- keluar pada hari idul adha menuju Baqi’. Lalu beliau shalat ied dua rakaat. Kemudian beliau menghadapkan wajahnya kepada kami seraya bersabda, “Sesungguhnya awal kurban kita adalah pada hari kita ini. Kita mulai dengan shalat, lalu kita kembali untuk menyembelih hewan kurban. Barang siapa yang melakukan hal itu, maka sungguh ia telah mencocoki sunnah kita. Barangsiapa yang menyembelih sebelum itu (sebelum shalat), maka dia (sembelihannya) adalah sesuatu yang ia segerakan untuk keluarganya, bukan hewan kurban sedikitpun”. [HR.Al-Bukhariy (933)]

      Al-Hafizh-rahimahullah- berkata, “Ibnu Sa’ad berkata, “Rumah Katsir bin Ash-Sholt merupakan kiblat bagi lapangan di dua hari raya. Rumah itu menurun ke perut lembah Bathhan, suatu lembah di tengah kota Madinah”. Selesai ucapan Ibnu Sa’ad”.[Lihat Fathul Bari (2/449), cet. Darul Ma’rifah]

    Ibnu Hazm Azh-Zhohiriy-rahimahullah- berkata dalam Al-Muhalla (5/81), “Sunnahnya sholat ied, penduduk setiap kampung, dan kota keluar menuju lapangan yang luas, di dekat tempat tinggal mereka di waktu pagi setelah memutihnya matahari, dan ketika awal bolehnya sholat sunnah”.
Imam Al-AiniyAl-Hanafiy -rahimahullah- berkata, “Dalam hadits ini terdapat anjuran keluar menuju lapangan, dan tidak melaksanakan shalat ied di masjid, kecuali karena darurat”. [Lihat Umdah Al-Qoriy (6/280)].

     Imam Malik bin Anas-rahimahullah- berkata dalam Al-Mudawwanah Al-Kubra (1/245), “Seorang tidak boleh shalat ied di dua hari raya pada dua tempat; mereka juga tidak boleh shalat di masjid mereka, tapi mereka harus keluar (ke lapangan) sebagaimana Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu keluar (menuju lapangan)”.

    Ibnu Qudamah -rahimahullah- berkata dalam Al-Mughniy (2/229), “Sunnahnya seorang shalat ied di lapangan. Ali -radhiyallahu ‘anhu- telah memerintahkan hal tersebut dan dianggap suatu pendapat yang baik oleh Al-Auza’iy dan ahli ra’yi. Ini adalah pendapat Ibnul Mundzir… Kami (Ibnu Qudamah) memiliki dalil bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dulu keluar menuju lapangan, dan meninggalkan masjidnya, demikian pula para khulafaurrasyidin setelahnya. Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidaklah meninggalkan perkara yang lebih afdhol (sholat ied di masjidnya), padahal ia dekat, lalu beliau memaksakan diri melakukan perkara yang kurang (yaitu shalat di lapangan), padahal ia lebih jauh.

     Jadi nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tidaklah mensyariatkan umatnya untuk meninggalkan perkara-perkara yang afdhol. Kita juga diperintahkan untuk mengikuti Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , dan berteladan kepadanya. Maka tidak mungkin suatu yang diperintahkan adalah kekurangan, dan sesuatu yang dilarang merupakan sesuatu yang sempurna. Tidak dinukil dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau shalat ied di masjidnya, kecuali karena udzur. Ini juga merupakan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, karena manusia pada setiap zaman dan tempat, mereka keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat ied di dalamnya, padahal masjid luas dan sempit. Dulu nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- laksanakan shalat ied di lapangan, padahal masjidnya mulia, dan juga shalat sunnah di rumah lebih utama dibandingkan shalat sunnah di masjid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- , padahal ia lebih utama”.

    Untuk lebih jelasnya, silahkan klik link ini: Shalat Ied di Lapangan.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar