Judul : Mengejar-ngejar Mimpi
Penulis : Dedi Padiku
Coach
Editor: Isa Alamsyah
Penerbit:
AsmaNadia Publishing House
Tahun
Terbit: Cetakan pertama, Mei 2014
Halaman:
xii & 324 halaman
Hngg… bukan tanpa alasan, saya
menukar bonus buku Catatan Hati di Setiap Doa karya Asma Nadia, dengan buku
Mengejar-ngejar Mimpi pada Pak Isa Alamsyah melalui pm di facebooknya. Saya yang
jarang membaca buku-buku komedi, entah
kenapa saat itu sedang sangat ingin membaca buku dengan genre tersebut.
Dan di antara terbitan AsmaNadia
Publishing House, mungkin hanya inilah yang menjawab keinginan saya tersebut. Apalagi,
buku ini digadang-gadang sebagai diary kocak inspiratif! Wow. Saya juga banyak
melihat komentar positif dari banyak pembaca tentang buku ini yang katanya, menggelikan sekali! Akhirnya,
saya putuskan untuk mengambil buku ini.
Tapi, jika Dedi akhirnya mampu
mewujudkan mimpinya, saya kira harapan saya yang tinggi dengan novel ini,
tiba-tiba seperti seseorang yang dicampakkan ke dalam jurang oleh pacar, dan
membuat wajah serta hatinya menjadi sekering kanebo. Ah, saya tidak tahu
bagaimana ungkapan yang lebih menyakitkan daripada itu.
Membaca novel ini, entah mengapa mengingatkan
saya pada novel-novel Andrea Hirata yang membuat dada saya sesak karena terlalu
senang dengan hasil karya si Curly itu. Bukan, bukan karena pada novel ini,
penulis menghadirkan kata-kata canggih dan abnormal seperti Andrea Hirata. Penulis
juga tidak menggunakan kalimat-kalimat sains, yang biasa digunakan Andrea
Hirata untuk menyihir pembacanya. Bukan itu, bukan…
Hanya saja, ketika Dedi
mengumpamakan Iyen, gadis yang katanya tercantik di sebuah sekolah menengah
kejuruan favorit di Gorontalo, dan lebih memlih dirinya yang ‘tidak ada
apa-apanya’, aku teringat bagaimana Andrea Hirata dengan hebat mendeskripsikan
Katya, bunga kampus Sorbonne University, yang juga memilih orang Indonesia
sepertinya, yang ‘tidak ada apa-apanya,’ daripada pria-pria bule yang tentu lebih
tampan, lebih pula mapan.
Saat Dedi menggambarkan tentang
dirinya yang baru pertama kali melihat Monas, aku langsung teringat betapa
heboh Andrea Hirata mengumpamakan si Nyonya Besar, Eiffel yang berdiri megah di
pusat kota, Paris.
“Training… indah sekali kata-kata
itu, terdengar elit,” (halaman 202), saat Dedi berpikir seperti itu, aku teringat bagaimana Andrea Hirata,
dengan dada seperti ingin pecah karena terlalu senang, menyiapkan dengan rapi
segala sesuatu yang akan membawanya pada kejadian yang belum pernah dilakukan
seumur hidupnya. Wawancara kerja! Andrea bahkan membaca buku tentang wawancara
agar diterima.
Lebih dahsyat lagi, Dedi yang
mendapat kerja bersama supervisor untuk mengunjungi pintu ke pintu guna
menawarkan alat pijat listrik, Andrea Hirata juga pernah melakukan hal yang
sama. Ia menjadi sales… perkakas rumah tangga, mungkin?
Saat impian Dedi berangkat ke Jepang
kandas karena dia kurang tinggi dua sentimeter, dan ia membentur-benturkan
kepalanya agar benjolan yang muncul di kepala dapat membantu impiannya tersebut
terwujud, Andrea Hirata, memesan alat peninggi badan dari Jakarta, dan
memakainya di sebuah gudang yang sepi. Alat peninggi badan sialan—aku tidak
begitu ingat apa yang menjadikan Andrea Hirata ingin tinggi—yang karena mahal,
juga hampir menghilangkan nyawanya.
Dedi juga terperangah melihat grup
pengamen yang membawa biola, harmonica, gitar dan mulai mengamen di kopaja? Atau
metromini? Setelah sebelum bernyanyi, mereka membuka dengan prolog yang puitis
dan membuat Dedi menamainya Seni Kreatif Jalanan. Sama seperti Andrea yang
kagum dengan seni jalanan Eropa saat liburan musim panas dan membuatnya ikut
memeriahkan euphoria musim panas dengan menjadi duyung.
Tentang sahabat Andrea
Hirata yang selalu percaya dengan hal mistis dan kini besarnya--katanya--dia jadi dukun,
kau tahu kan, kawan? Mahar! Ya, Mahar! Dedi juga punya teman macam dia. Biar kukenalkan,
namanya, Iwan.
“Wanita setengah baya, yang mungkin
telah lupa bagaimana cara tersenyum, bertubuh sedikit gendut, dan berkulit
putih. Walau begitu, ia tidak bisa dikatakan tidak menarik. Mungkin dulu ia
seperti Dewi Sandra, kemudian dewasa seperti Yuni Shara, dan sekarang seperti
Huges…” Andrea Hirata juga melakukan hal yang sama saat mendeskripsikan
perempuan tua—yang kalau tidak salah ingat, adalah admin di Sorbonne?—dengan menyamakannya
seperti artis-artis dengan ejaan nama yang sulit dan yang biasa ditemukan di
majalah-majalah mode Eropa.
Oh, Tuhan… sebenarnya, masih banyak
lagi hal yang saat membaca novel ini, membuatku selalu terngiang dengan satu
nama: Andrea Hirata. Tapi karena aku terlalu lelah… biar kukisahkan pertemuanku
dengan karya-karya Andrea.
Aku
membaca banyak buku Andrea Hirata. Sering kali aku mengulang-ulang, mempelajari
bagaimana dia bisa memadukan sains dan sastra dengan sangat hebat. Saat membaca
novel-novel Andrea Hirata, aku selalu merasa mabuk! Sejak duduk di bangku SMP, aku
telah melahap novel Laskar Pelangi tebal yang membuat beberapa teman
menciut saat kutawarkan pada mereka
untuk membaca. Beranjak waktu, aku juga membaca Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah
Karpov, Padang Bulan, Cinta Dalam Gelas, juga Sebelas Patriot.
Aku selalu menikmati, dan tidak
ingin lembar-lembar itu cepat habis. Saat membaca, aku bisa merasa sangat sedih, miris dan
terpingkal di waktu yang sama karena Andrea Hirata mempunyai kebiasaan
memadukan komedi dengan ironi. Cerita-ceritanya, bahkan tidak begitu saja bisa
hilang dari benakku setelah beberapa tahun berjalan.
Dan saat mendapati novel ini, aku…
tentu saja benar-benar terkejut! Karena berdasarkan pengalaman nyata, aku
benar-benar tidak menyangka jika dua orang memiliki pengalaman yang hampir
sama. Bedanya, Andrea Hirata, menjalani hidupnya di luar negeri yang membuat banyak
‘keajaiban’ itu terjadi. Dan Dedi mengalami kisahnya di Ibu Kota Jakarta. Apakah
kejadian-kejadian mereka itu, hal biasa yang bisa terjadi pada siapa saja, atau …
mereka melihat dari sudut pandang yang sama? Who knows? Jika itu jawabannya, aku memilih terus mengembangkan
perasaan embuh-ku dan lebih baik
tidak berlanjut memikirkan kebetulan yang banyak ini -__-
0 komentar