Resensi Mengejar-ngejar Mimpi

By Zulfa Rahmatina - 9:57 PM



Judul   : Mengejar-ngejar Mimpi
Penulis : Dedi Padiku
Coach Editor: Isa Alamsyah
Penerbit: AsmaNadia Publishing House
Tahun Terbit: Cetakan pertama, Mei 2014
Halaman: xii & 324 halaman


Hngg… bukan tanpa alasan, saya menukar bonus buku Catatan Hati di Setiap Doa karya Asma Nadia, dengan buku Mengejar-ngejar Mimpi pada Pak Isa Alamsyah melalui pm di facebooknya. Saya yang jarang membaca buku-buku komedi, entah kenapa saat itu sedang sangat ingin membaca buku dengan genre tersebut.

Dan di antara terbitan AsmaNadia Publishing House, mungkin hanya inilah yang menjawab keinginan saya tersebut. Apalagi, buku ini digadang-gadang sebagai diary kocak inspiratif! Wow. Saya juga banyak melihat komentar positif dari banyak pembaca tentang buku ini yang katanya, menggelikan sekali! Akhirnya, saya putuskan untuk mengambil buku ini.            

Tapi, jika Dedi akhirnya mampu mewujudkan mimpinya, saya kira harapan saya yang tinggi dengan novel ini, tiba-tiba seperti seseorang yang dicampakkan ke dalam jurang oleh pacar, dan membuat wajah serta hatinya menjadi sekering kanebo. Ah, saya tidak tahu bagaimana ungkapan yang lebih menyakitkan daripada itu.            

Membaca novel ini, entah mengapa mengingatkan saya pada novel-novel Andrea Hirata yang membuat dada saya sesak karena terlalu senang dengan hasil karya si Curly itu. Bukan, bukan karena pada novel ini, penulis menghadirkan kata-kata canggih dan abnormal seperti Andrea Hirata. Penulis juga tidak menggunakan kalimat-kalimat sains, yang biasa digunakan Andrea Hirata untuk menyihir pembacanya. Bukan itu, bukan…

Hanya saja, ketika Dedi mengumpamakan Iyen, gadis yang katanya tercantik di sebuah sekolah menengah kejuruan favorit di Gorontalo, dan lebih memlih dirinya yang ‘tidak ada apa-apanya’, aku teringat bagaimana Andrea Hirata dengan hebat mendeskripsikan Katya, bunga kampus Sorbonne University, yang juga memilih orang Indonesia sepertinya, yang ‘tidak ada apa-apanya,’ daripada pria-pria bule yang tentu lebih tampan, lebih pula mapan.

Saat Dedi menggambarkan tentang dirinya yang baru pertama kali melihat Monas, aku langsung teringat betapa heboh Andrea Hirata mengumpamakan si Nyonya Besar, Eiffel yang berdiri megah di pusat kota, Paris.

“Training… indah sekali kata-kata itu, terdengar elit,” (halaman 202), saat Dedi berpikir seperti itu, aku teringat bagaimana Andrea Hirata, dengan dada seperti ingin pecah karena terlalu senang, menyiapkan dengan rapi segala sesuatu yang akan membawanya pada kejadian yang belum pernah dilakukan seumur hidupnya. Wawancara kerja! Andrea bahkan membaca buku tentang wawancara agar diterima.

Lebih dahsyat lagi, Dedi yang mendapat kerja bersama supervisor untuk mengunjungi pintu ke pintu guna menawarkan alat pijat listrik, Andrea Hirata juga pernah melakukan hal yang sama. Ia menjadi sales… perkakas rumah tangga, mungkin?

Saat impian Dedi berangkat ke Jepang kandas karena dia kurang tinggi dua sentimeter, dan ia membentur-benturkan kepalanya agar benjolan yang muncul di kepala dapat membantu impiannya tersebut terwujud, Andrea Hirata, memesan alat peninggi badan dari Jakarta, dan memakainya di sebuah gudang yang sepi. Alat peninggi badan sialan—aku tidak begitu ingat apa yang menjadikan Andrea Hirata ingin tinggi—yang karena mahal, juga hampir menghilangkan nyawanya.

Dedi juga terperangah melihat grup pengamen yang membawa biola, harmonica, gitar dan mulai mengamen di kopaja? Atau metromini? Setelah sebelum bernyanyi, mereka membuka dengan prolog yang puitis dan membuat Dedi menamainya Seni Kreatif Jalanan. Sama seperti Andrea yang kagum dengan seni jalanan Eropa saat liburan musim panas dan membuatnya ikut memeriahkan euphoria musim panas dengan menjadi duyung.

Tentang sahabat Andrea Hirata yang selalu percaya dengan hal mistis dan kini besarnya--katanya--dia jadi dukun, kau tahu kan, kawan? Mahar! Ya, Mahar! Dedi juga punya teman macam dia. Biar kukenalkan, namanya, Iwan.

“Wanita setengah baya, yang mungkin telah lupa bagaimana cara tersenyum, bertubuh sedikit gendut, dan berkulit putih. Walau begitu, ia tidak bisa dikatakan tidak menarik. Mungkin dulu ia seperti Dewi Sandra, kemudian dewasa seperti Yuni Shara, dan sekarang seperti Huges…” Andrea Hirata juga melakukan hal yang sama saat mendeskripsikan perempuan tua—yang kalau tidak salah ingat, adalah admin di Sorbonne?—dengan menyamakannya seperti artis-artis dengan ejaan nama yang sulit dan yang biasa ditemukan di majalah-majalah mode Eropa.

Oh, Tuhan… sebenarnya, masih banyak lagi hal yang saat membaca novel ini, membuatku selalu terngiang dengan satu nama: Andrea Hirata. Tapi karena aku terlalu lelah… biar kukisahkan pertemuanku dengan karya-karya Andrea.

Aku membaca banyak buku Andrea Hirata. Sering kali aku mengulang-ulang, mempelajari bagaimana dia bisa memadukan sains dan sastra dengan sangat hebat. Saat membaca novel-novel Andrea Hirata, aku selalu merasa mabuk! Sejak duduk di bangku SMP, aku telah melahap novel Laskar Pelangi tebal yang membuat beberapa teman menciut saat kutawarkan pada mereka untuk membaca. Beranjak waktu, aku juga membaca Sang Pemimpi, Edensor, Maryamah Karpov, Padang Bulan, Cinta Dalam Gelas, juga Sebelas Patriot.

Aku selalu menikmati, dan tidak ingin lembar-lembar itu cepat habis. Saat membaca, aku bisa merasa sangat sedih, miris dan terpingkal di waktu yang sama karena Andrea Hirata mempunyai kebiasaan memadukan komedi dengan ironi. Cerita-ceritanya, bahkan tidak begitu saja bisa hilang dari benakku setelah beberapa tahun berjalan.

Dan saat mendapati novel ini, aku… tentu saja benar-benar terkejut! Karena berdasarkan pengalaman nyata, aku benar-benar tidak menyangka jika dua orang memiliki pengalaman yang hampir sama. Bedanya, Andrea Hirata, menjalani hidupnya di luar negeri yang membuat banyak ‘keajaiban’ itu terjadi. Dan Dedi mengalami kisahnya di Ibu Kota Jakarta. Apakah kejadian-kejadian mereka itu, hal biasa yang bisa terjadi pada siapa saja, atau … mereka melihat dari sudut pandang yang sama? Who knows? Jika itu jawabannya, aku memilih terus mengembangkan perasaan embuh-ku dan lebih baik tidak berlanjut memikirkan kebetulan yang banyak ini -__-

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar