“Kau tahu?” aku membuka percakapan, setelah daritadi, hanya deru lalu-lalang motor dan mobil yang menemani perjalanan kami. “Dulu di sini ada sekolah. Dulu sekali,” aku memelankan laju motor.
Dari kaca spion, kulihat adikku menoleh ke lahan penuh pohon jambu dan ilalang. Aku melakukan hal yang sama.
“Dulu sekali. Sejak kau belum lahir.” Kataku lagi, sambil melihat ke belakang. Menunggu jalan raya kosong. “Tapi hanya ada dua kelas saja,” meski daritadi adikku tidak bersuara, aku yakin dia mendengarkanku.
“Dua?”
“Um,” aku tersenyum tipis. Mataku menerawang, mengingat lahan luas yang diisi hanya untuk dua kelas saja. “Aku tidak tahu kenapa para komite sekolah itu, tidak membangun kelas lain, dan malah memberikan dua kelas dengan lapangan luas itu untuk anak-anak baru.”
“Heh?”
Dash! Aku mengerem mendadak karena mobil di depanku tiba-tiba saja berhenti. Kulihat raut wajah adikku dengan ekspresi penasaran yang bertambah-tambah.
“Apa kau pikir hal itu aneh? Aku juga berpikir seperti itu. Maka dari itu, aku tidak mengenal kakak-kakak kelas, kecuali yang berada satu tingkat persis di atasku. Ah, ada pengecualian, untuk mereka yang sangat badung, pintar, anak-anak tetangga, saudara-saudaraku sendiri juga kakak-kakak yang mengaji bersama kami di surau lepas maghrib, nah... kalau mereka aku mengenalnya. Huhh, tapi alasannya kenapa, ya?” aku malah bertanya.
“Padahal, di sana banyak ular besar-besar, lho!” Aku tidak tahu apakah aku sedang membual atau tidak saat mengatakan kalimat terakhir tadi. Yang jelas, dulu, kelas kami dinaungi rerimbun pohon yang besar-besar. “Di sudut tanah sana, ada sumur, dalam.” Lanjutku. Kali ini aku tidak berbohong. “Beberapa anak nakal yang pergi ke sana, selalu tidak tahan.”
“He? Kenapa?”
Aku mengedik. “Mungkin lihat sesuatu. Seperti penampakan wajahmu,” Aku meringis ketika merasakan kepalan kecil bersarang di pinggangku.
“Tapi, di sanalah aku belajar mengenal diriku, menghargai orang lain, membuang ego, mempercayai pertemanan, mengenal ketulusan, merendahkan hati, juga mengerti perihnya pengkhianatan.”
“Cinta?”
Aku tertawa hambar. “Jangan mengada-ada! Kami tidak seperti anak-anak seperti pada jamanmu sekarang ini.” ujarku, sedikit miris. “Cinta yang kami tahu itu, terbalut dalam permainan patok lele, kasti, bola bekel. Kami saling melindungi. Saling mempercayai dan tulus mencintai.” Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat ketika sadar, ada bagian dari diriku yang merindukan masa-masa itu.
“Atau kalau tidak, cinta kami terbungkus dalam permen karet yossan,” aku tiba-tiba saja tertawa. Membuat adikku berjengit heran. “Atau dalam kerupuk opak-kluban, es lilin dan selogam uang seratus rupiah yang membuat kami bahagia.”
Adikku geleng-geleng kepala. Aku tahu dia tidak memahami ke mana arah pembicaraanku saat ini. Tapi aku senang dia tidak memotong pembicaraan-nostalgia-ku ini.
“Aku pernah menangis di sana,” aku tertawa lagi. “Kakiku terkena jeruji dari sepeda onta kakek. Saat lelaki sepuh itu mengantarku ke sekolah, aku senang. Dan ingin menceritakannya segera kepada teman-teman. Aku tidak mengenal kakek mereka. Tapi mereka pasti mengenal kakekku,” itulah yang dulu membuatku bersemangat tiap pagi-pagi sekali, kakek sudah menunggu ummi menyelesaikan pilinan kepang cantik pada rambutku.
“Kami juga menangis bersama. Saat ada seorang guru yang kami sayangi, mengalami kecelakaan… hhh… dan semua itulah yang membuatku tidak ingin cepat-cepat naik kelas.” Aku tidak dapat menahan tawaku saat mengingat betapa konyolnya cara berpikirku dulu, “Hanya karena aku tidak ingin berpisah dengan mereka, kakak kelas yang centil dan usil, teman-teman dengan persahabatan yang menyenangkan, tempat yang nyaman, lapangan luas, bangku-bangku penuh coretan, dan dunia kami.” Aku menghela napas panjang.
“Bangunan itu boleh saja hilang, runtuh ditelan rayap. Tapi tidak dengan kenangan, juga ilmu yang bermanfaat.” Kami sudah sampai di depan rumah. Tanpa mematikan mesin motor, aku menunggu adikku membuka pintu garasi.
“Makanya, buat kenangan yang baik dengan teman-temanmu. Rajinlah belajar dengan sungguh-sungguh agar kelak kau bisa mengamalkan ilmu yang kau punya,” aku memasukkan motor ke dalam garasi yang penuh.
Adikku menutup pintu garasi. “Tanpa sungguh-sungguh pun, aku sudah bisa mendapat nilai yang bagus. Lebih bagus dari teman-teman yang biasa mengajakku bermain bersama mereka,”
Aku mengangkat sebelah alisku.
“Tahfidzku bahkan berada di antara jejeran mereka dengan hapalan terbanyak. Padahal, aku di rumah jarang menghapal dan sering bermain game, kan?”
Aku semakin kaget. “Oh, itu lain lagi.” Kataku santai, sambil berjalan di depannya. “Kalau itu namanya sombong.” Kumainkan kunci motor dengan gantungan warna merah berbentuk bulat.
“Yaah, tapi setidak-tidaknya, Mbak bisa bangga, kan, punya adik macam aku ini.”
Mendadak aku menghentikan jalanku dan menoleh ke arahnya. “Pret. Ojo ge-er.” Ucapku, yang disambut riuh tawanya yang meramaikan siang kami ini. Kini, giliran aku yang geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.
0 komentar