Ada yang tidak bisa kusembunyikan saat kau menyambutku masuk di kehidupanmu dengan hangat.
Aku tahu, ini adalah pertama kalinya untuk kita, merenda cerita.
Aku bahkan tidak bisa tenang saat menunggumu membalas pesanku.
Kau selalu mampu membuat hatiku melonjak saat itu datang.
Ketulusan yang kau tampakkan, juga kesabaran saat aku menghujanimu dengan celoteh tidak pentingku.
Sering kali, aku menceritakan apa yang kualami hari itu. Yang membuatku bahagia, yang membuatku kesal.
Dan kita bersama menertawakan dunia adalah hal yang menyenangkan.
Kau sering membuatku tersenyum dengan kata-kata intelek yang konyol.
Pada hari di mana kau sangat banyak tertawa, aku mencatat kenangan itu dalam hatiku.
Sejak hari itu, dengan sadar, aku merasa ada yang berbeda dengan diriku.
Kau yang tidak pernah ada dalam kehidupanku sebelumnya, tiba-tiba merengkuhku untuk menatap dunia dari sudut pandang kita yang sama.
Kau yang tidak tahu bagaimana diriku, tak pernah letih mendengar keluhku.
Kau bahkan tidak tahu betapa buruknya lakuku.
Tapi kau datang bahkan ketika tak ada satupun keluarga yang ada di sisiku.
Dan membawaku hanyut dalam duniamu yang tidak pernah membuatku jemu.
Gores-gores kenangan dalam kanvas itu, aku menyimpannya.
Di sini, di dadaku yang sering berdebar tak menentu.
Aku bertanya-tanya, apakah ini?
Aku bertanya-tanya, bagaimana rasa ini disebut?
Dan dengan pelan, tanpa kusadar, kau alirkan rasa itu hingga menguat. Menguat dan terus menguat.
Hingga akhirnya, untuk saat yang tidak ditentukan, setelah seperti biasanya kau membuatku tersenyum, kita memutuskan untuk fokus pada studi.
Pada awalnya, aku kalut.
Hari-hariku yang biasanya penuh dengan kata-kata semangat, lalu mimpi panjangku yang penuh dengan namamu, berubah menjadi kosong.
Aku bertanya-tanya, apakah kau sehat?
Aku bertanya-tanya, apakah hari ini ada yang menyakiti hatimu?
Ataukah kemarin, aku pernah mengatakan kata-kata yang salah padamu?
Dan malam-malamku menjadi semakin penuh dengan namamu, lengkap dengan sembab tangisku.
Aku tidak tahu kenapa rasanya menjadi begitu menyesakkan.
Debar dan getar itu kini membuat ritme yang sumbang.
Di antara celah harapan dan keputusasaan yang dipisahkan oleh tipis benang.
Aku bertanya-tanya, kapan masa itu kembali datang? Masa saat kita saling menguatkan.
Sampai suatu kabar datang. Tentang mimpimu yang jika itu terwujud, akan membuatku semakin kehilangan meski hanya bayangmu.
Aku mencoba menguatkan diriku sendiri. Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.
Bukankah akan lebih baik jika seperti terus seperti ini?
Sampai akhir nanti, kita adalah kakak-adik yang bisa bebas menceritakan apapun, kan?
Seperti hari-hari yang lalu.
Kadangkala mengeluh, lalu tertawa bersama.
Tapi kini semuanya menjadi tidak normal.
Melihat dunia bersamamu, mengamati manusia, memikirkan hal-hal kecil.
Kini aku melakukannya sendiri.
Hingga dalam sujud panjang, dengan derai tangis yang membuat hati dan bibirku kelu merapal kalimat itu, pada doa kesepuluh, aku berhenti.
Tidak menyebut namamu lagi.
0 komentar