Semua
cerita ini bermula saat mataku terantuk pada tumpukan barang di sudut kantor Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA), sebuah LP khusus anak di provinsi Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
“Itu
punya anak baru Mba,” ucap salah satu petugas yang seperti menyadari
perhatianku.
Di
atas tas-tas besar berisi baju itu, ada papan putih dengan coretan yang membuat
hatiku seperti tersayat. Papan yang berisi daftar narapidana—ah biarlah kusebut
mereka anak didik—dengan lama masa tahanan masing-masing. Papan yang membuatku
menyadari bahwa kebebasan, bahwa kesempatan-kesempatan, hingga bahkan waktu
luang yang kumiliki dengan kuasa dan kendali penuh atas diriku ini adalah
sesuatu yang harus banyak-banyak kusyukuri.
“Kami
berempat belas,” ucap salah satu koordinator tim lain kepada sipir yang menjaga di
gerbang masuk. Dari tim Psikologi UMS sendiri ada 4 laki-laki yang ditugasi untuk
menjadi fasilitator, satu dosen yang akan membuat MoU dengan pihak lapas, lalu
dua perempuan yang sedang meraba-raba apa saja yang akan dan harus dilakukannya
di sana.
Aku
mengikuti dosen kami, wakil dekan III, ke ruang Kalapas. Kepala LP itu ternyata
orang Kleco yang begitu agamis dan menyenangkan. Beliau asli dari Nusa
Tenggara, seperti dosen kami. Ia banyak berbincang tentang syiar dan beramal
untuk ABH saat kami menawarkan MoU, mengisahkan bahwa ia menolak sekumpulan
mahasiswa dari sebuah universitas negeri di Yogyakarta yang kedatangannya membawa misi misionaris, juga tentang rumah dinas yang dijadikannya
rumah antara bagi ABH yang tidak tahu ke mana lagi akan tinggal karena sudah
ditolak keluarga kandung dan keluarga angkatnya. Ia bercerita tentang bagaimana
perilaku anak-anak dengan latar belakang keluarga yang kurang harmonis,
disfungsi, juga yang memberi perhatian berlebih terhadap anak. Kepala LP tersebut juga
menceritakan di mana saja ia berpindah-pindah tugas sebelum akhirnya berada di
Kutoarjo mungkin hingga masa pensiunnya.
Cerita
ini berlanjut saat musik yang diputar Kak Al di lapangan bersama para
fasilitator dan sekumpulan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) detik itu
juga mengubah sudut pandangku tentang banyak hal. Seperti yang diharapkan,
gubernur BEM kami begitu ceria saat memandu outbond. Para ABH yang awalnya
malu-malu mengikuti gerakan senam mulai menikmati game-game yang terus
berlanjut. Aku berbincang dengan salah satu wali pemasyarakatan, juga kepala
bidang lain. Mereka memberiku cerita-cerita yang membuatku lagi-lagi begitu
terkejut. Entah berapa kali tempat yang baru kukunjungi itu membuat perasaanku
menjadi campur aduk.
Aku
dan temanku meminta izin untuk melihat kamar ABH. Melewati satu teralis pemisah
antara ruang besuk dan kompleks tahanan membuatku menahan napas. Ini benar-benar
sesuatu yang baru bagiku. Penjaga yang ramah mulai mengantar kami dan
memperlihatkan satu per satu kamar. Kamar pertama, adalah kamar karantina
dengan kapasitas 5 orang. Kamar karantina ini berisi oleh orang-orang yang baru
pertama kali masuk lapas, atau tahanan titipan polsek yang sedang menunggu sidang
hingga vonis. Biasanya mereka berada di sana sekitar satu hingga dua minggu
sebelum dipindahkan ke bangsal lain. Di LPKA yang kami kunjungi, ada dua kamar
karantina dengan fungsi yang berbeda. Satu untuk fase pengenalan, bangsal
karantina lain digunakan untuk anak didik yang melakukan pelanggaran seperti
mencoba kabur dan sebagainya.
Kompleks
ini memiliki tiga blok dengan nama yang menurutku ditentukan oleh letak blok
yang menghadap ke arah mata angin yang berbeda. Ada blok dengan nama Wisma Asih,
Wisma Asuh dan Wisma Asah dengan jumlah bangsal yang tidak sama. ABH pun
ditempatkan sesuai dengan lama masa tahanan yang divoniskan terhadap mereka.
Bangsal dengan kelas B2A diperuntukkan bagi ABH dengan lama masa tahanan 1
tahun ke bawah, dan B1 untuk tahanan 1 tahun ke atas.
Di
setiap depan bangsal, tertera identitas ABH yang berisi nama, nomor register,
jenis perkara, pidana (Pasal KUHP dan vonis), tanggal masuk LP dan ekspirasi,
yaitu tanggal di mana mereka diputuskan untuk mengakhiri masa tahanannya. Luas antar
bangsal tidak sama dan disesuaikan oleh kapasitas penghuni. Ada kotak-kotak rak
kayu yang digunakan untuk menyimpan baju, juga peralatan ibadah. Ada kasur
lantai, bantal, guling, dan kamar mandi dalam. Setiap bangsal memiliki satu
jendela kecil dan pintu yang terdapat teralis besi berlapis papan kayu dengan
banyak gembok yang ditutup setiap jam 4 sore hingga jam 7 pagi di keesokan
harinya.
Petugas
memberi tahu kami jadwal saat-saat ABH diperkenankan untuk keluar kamar. Yaitu pagi
untuk berkegiatan sesuai dengan jadwal masing-masing seperti sekolah, melukis,
karawitan, bermain musik, latihan kerja, dll. Lalu antara dzuhur, kemudian jam
dua hingga jam empat sore setelah sebelumnya mengambil jatah makan malam dan
memenuhi bak mereka dengan air untuk persiapan semalaman. Petugas yang kami
bersamai juga mengeluhkan kondisi lapas yang sesungguhnya sangat tidak layak
dan tidak ramah anak. Ketika kutanya bagaimana kondisi layak anak yang
dimaksudnya, ia menjelaskan bahwa seharusnya lapas tidak membuat Anak yang
Berhadapan dengan Hukum merasakan bahwa ia sedang dipenjara. Maksudnya bahwa
mereka diizinkan berkegiatan, dan bisa merasakan kebebasan. Tidak ada teralis besi,
tidak ada ruang-ruang yang membuat perasaan sesak dan pengap.
Aku
memandang kembali bangunan bergaya Belanda yang saat itu sedang mengungkung
kami. “Karena ini bangunan cagar budaya, kami bahkan tidak boleh mengambil satu
senti pun teralis besi itu. Tidak boleh …
Seharusnya
cagar budaya digunakan untuk tempat wisata, tempat agar orang-orang dapat tahu
bagaimana kondisi penjara pada masa Belanda. Bukan untuk ditinggali oleh ABH,”
keluh petugas yang juga merupakan salah satu wali pemasyarakatan. Di LPKA
sendiri, terdapat Delapan wali yang masing-masing membawahi antara 10 sampai 15
ABH.
Aku
pergi ke kamar mandi di sudut blok saat petugas masih berbicara dengan temanku.
Kamar mandi bersama dengan satu bak kecil berukuran 0,5 x 1 meter itu
berdinding keramik berwarna orange cerah. Di depan bak terdapat dinding
rendah dan keran air. Kondisi ini mengingatkanku dengan pemandian di onsen yang
sering kulihat di dorama-dorama Jepang.
Petugas
lalu menawariku untuk melihat sel isolasi yang kuiyakan dengan cepat. Aku bahkan
sudah berada di depan sel isolasi saat petugas sedang mencarikan kunci. Saat itu,
dua ruang sel isolasi yang dimiliki LPKA sedang kosong. Ruang sel isolasi itu
begitu kecil, pencahayaannya berasal dari celah berukuran 10 x 15 cm, dan
sangat pengap. Dindingnya terlihat begitu dingin dengan cat yang bahkan tidak
terlihat jejak kelupasnya, lantainya masih semen. Tidak ada kamar mandi. Dan,
tahanan yang ditempatkan di ruang tersebut sama sekali tidak boleh keluar. Teralis
besinya terdapat dua gembok di bagian atas dan bawah, ditambah satu gembok untuk
lapisan pintu kayu di luar. Aku yang awalnya ingin mencoba merasakan berada di
dalam sel isolasi, mengurungkan niat saat mencium bau yang membuat kepalaku
pening.
Aku
kembali melihat outbond yang akan berakhir. Dosenku mengingatkan agar aku tidak
melupakan presensi. Membayangkan aku mendata delapan puluh satu anak itu saja
sudah membuatku merinding saat jadwal tutup pintu mereka sudah melebihi batas. Aku
memutar otak dan akhirnya meminta bantuan fasilitator masing-masing kelompok. Dengan
begitu, semua ABH bisa terdata tanpa luput dan memakan waktu banyak.
Seorang
ABH di kelompok dengan fasilitator yang dari perbincangan kukenali berstatus
sebagai asisten praktikum OBI di fakultas kami, membuatku sangat ingin
menyapanya saat kutahu dia berasal dari daerah yang sama denganku. Beberapa saat
yang lalu, seorang petugas menceritakan kasus yang membuatnya berada di LPKA
dan jangka waktu masa tahanan yang membuat dadaku sesak. Lalu saat fasilitator
sedang mendata anggota kelompoknya, aku memberanikan diri untuk menyapa ABH
tersebut.
“Hai,
kamu dari Kendal kah?”
Dia
tampak terkejut mendengarku menyebut nama kota kecil itu, mengamatiku sejenak,
lalu tersenyum.
“Iya,
Mbak. Lha Mbaknya pundi to? Aku alun-alun …”
Belum
sempat aku menjawab, ABH lain di kelompok yang sama saling bersahutan
mengerubungiku.
“Aku
Kaliwungu, Mba,”
“Aku
Semarang.”
“Aku
Weleri,”
“Eh?
Benarkah? Bukan begitu pelafalannya,” aku meragukannya.
“Leri?
Aku sudah lama tidak pulang,”
“Mbanya
mana? Pabrik Gula? Cepiring?”
Dan
celoteh anak-anak yang menyebutkan daerah-daerah yang kukenali dengan baik ini membuat mataku memanas. Aku sangat ingin sekali
berbincang banyak dengan mereka. Ingin bertanya banyak hal, belajar banyak hal.
Ingin memastikan bagaimana cara mereka membunuh rindu yang buncah. Ingin
menawarkan bantuan apa saja yang mungkin bisa kulakukan untuk mereka. Tapi,
waktu kami begitu sedikit.
Aku
mengikuti fasilitator tadi dan membuat kesepakatan bersama. Tanpa fasilitator
itu, aku ragu akan dapat berbincang dengan mereka saat kalimat yang akan keluar
dari tenggorokanku seperti tercekat ketika aku melihat pendar sayu dari bola
mata ABH di depan kami. Saat itu gerimis.
“Kau
dengar dia tadi bilang apa?” kata asisten OBI padaku saat kita hanya berdua.
Aku
mengangguk. “Ada keceriaan tersendiri,” ucapku menirukan kalimat seorang ABH ketika
kami menanyainya tentang perasaannya terhadap outbond yang baru saja
dilakukannya.
“Itu
artinya, selama ini ada yang mengganggunya. Mengusiknya, yah sesuatu seperti itu.”
Wah!
Begitukah? Aku mendongak, mencari kebenaran dari keseriusan kalimat yang tidak
berbanding lurus dengan keseriusan wajahnya. Aku bahkan tidak memikirkan hal
itu dan tidak menyimpulkan sesuatu pun. Ada apa ini? Aku seharusnya lebih jeli
melihat hal tersebut meski belum mengambil praktikum OBI. Apa insting jurnalisku
selama ini tidak berguna dan ternyata serendah itu? Mulai saat itu, aku
mendengarkan kalimatnya dan mencoba menarik kesimpulan dari setiap pernyataan
orang-orang. Aku kembali memintanya untuk mendapatkan izin agar bisa berbincang
dengan ABH yang lain …
Kami
mendapat kesempatan dan berbincang lagi tentang banyak hal dengan ABH lain. Ada ABH yang menertawaiku karena aku tidak tahu program televisi Katakan Putus yang selalu ditontonnya saat jadwal keluar dari bangsal. Ada ABH yang menceritakan mimpi-mimpi buruknya ketika berada di lapas. ABH terakhir yang kami wawancarai saat itu dengan malu-malu berkata padaku bahwa dia akan segera menikah dengan gadis yang namanya terukir di hati dan tato yang terletak pada lengan kirinya. Umurnya baru menapak angka ke delapan belas. Aku mendekap mulutku saat
mendengar kabar itu. Sementara asisten OBI di sampingku meneriakkan kata waahh
berulang dan memintaku untuk tidak baper. Binar mata ABH itu begitu bahagia. Aku memberinya ucapan selamat,
untuk kabar bahagia itu dan untuk kebebasannya beberapa hari lagi karena remisi
dari perayaan ulang tahun negara yang didapatnya.
Dan
waktu merangkak begitu cepat. Kalimat klise yang mengatakan setiap
pertemuan pasti ada perpisahan itu sedikit membuatku sedih. Ada banyak hal yang
masing ingin kuketahui …
Tapi
kami harus benar-benar undur diri.
Terima
kasih untuk pengalaman dan hari yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku.
0 komentar