Bola Mata yang Bercerita

By Zulfa Rahmatina - 2:09 PM

Semua cerita ini bermula saat mataku terantuk pada tumpukan barang di sudut kantor Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), sebuah LP khusus anak di provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Itu punya anak baru Mba,” ucap salah satu petugas yang seperti menyadari perhatianku.

Di atas tas-tas besar berisi baju itu, ada papan putih dengan coretan yang membuat hatiku seperti tersayat. Papan yang berisi daftar narapidana—ah biarlah kusebut mereka anak didik—dengan lama masa tahanan masing-masing. Papan yang membuatku menyadari bahwa kebebasan, bahwa kesempatan-kesempatan, hingga bahkan waktu luang yang kumiliki dengan kuasa dan kendali penuh atas diriku ini adalah sesuatu yang harus banyak-banyak kusyukuri.

“Kami berempat belas,” ucap salah satu koordinator tim lain kepada sipir yang menjaga di gerbang masuk. Dari tim Psikologi UMS sendiri ada 4 laki-laki yang ditugasi untuk menjadi fasilitator, satu dosen yang akan membuat MoU dengan pihak lapas, lalu dua perempuan yang sedang meraba-raba apa saja yang akan dan harus dilakukannya di sana.

Aku mengikuti dosen kami, wakil dekan III, ke ruang Kalapas. Kepala LP itu ternyata orang Kleco yang begitu agamis dan menyenangkan. Beliau asli dari Nusa Tenggara, seperti dosen kami. Ia banyak berbincang tentang syiar dan beramal untuk ABH saat kami menawarkan MoU, mengisahkan bahwa ia menolak sekumpulan mahasiswa dari sebuah universitas negeri di Yogyakarta yang kedatangannya membawa misi misionaris, juga tentang rumah dinas yang dijadikannya rumah antara bagi ABH yang tidak tahu ke mana lagi akan tinggal karena sudah ditolak keluarga kandung dan keluarga angkatnya. Ia bercerita tentang bagaimana perilaku anak-anak dengan latar belakang keluarga yang kurang harmonis, disfungsi, juga yang memberi perhatian berlebih terhadap anak. Kepala LP tersebut juga menceritakan di mana saja ia berpindah-pindah tugas sebelum akhirnya berada di Kutoarjo mungkin hingga masa pensiunnya.

Cerita ini berlanjut saat musik yang diputar Kak Al di lapangan bersama para fasilitator dan sekumpulan Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) detik itu juga mengubah sudut pandangku tentang banyak hal. Seperti yang diharapkan, gubernur BEM kami begitu ceria saat memandu outbond. Para ABH yang awalnya malu-malu mengikuti gerakan senam mulai menikmati game-game yang terus berlanjut. Aku berbincang dengan salah satu wali pemasyarakatan, juga kepala bidang lain. Mereka memberiku cerita-cerita yang membuatku lagi-lagi begitu terkejut. Entah berapa kali tempat yang baru kukunjungi itu membuat perasaanku menjadi campur aduk.

Aku dan temanku meminta izin untuk melihat kamar ABH. Melewati satu teralis pemisah antara ruang besuk dan kompleks tahanan membuatku menahan napas. Ini benar-benar sesuatu yang baru bagiku. Penjaga yang ramah mulai mengantar kami dan memperlihatkan satu per satu kamar. Kamar pertama, adalah kamar karantina dengan kapasitas 5 orang. Kamar karantina ini berisi oleh orang-orang yang baru pertama kali masuk lapas, atau tahanan titipan polsek yang sedang menunggu sidang hingga vonis. Biasanya mereka berada di sana sekitar satu hingga dua minggu sebelum dipindahkan ke bangsal lain. Di LPKA yang kami kunjungi, ada dua kamar karantina dengan fungsi yang berbeda. Satu untuk fase pengenalan, bangsal karantina lain digunakan untuk anak didik yang melakukan pelanggaran seperti mencoba kabur dan sebagainya.

Kompleks ini memiliki tiga blok dengan nama yang menurutku ditentukan oleh letak blok yang menghadap ke arah mata angin yang berbeda. Ada blok dengan nama Wisma Asih, Wisma Asuh dan Wisma Asah dengan jumlah bangsal yang tidak sama. ABH pun ditempatkan sesuai dengan lama masa tahanan yang divoniskan terhadap mereka. Bangsal dengan kelas B2A diperuntukkan bagi ABH dengan lama masa tahanan 1 tahun ke bawah, dan B1 untuk tahanan 1 tahun ke atas.

Di setiap depan bangsal, tertera identitas ABH yang berisi nama, nomor register, jenis perkara, pidana (Pasal KUHP dan vonis), tanggal masuk LP dan ekspirasi, yaitu tanggal di mana mereka diputuskan untuk mengakhiri masa tahanannya. Luas antar bangsal tidak sama dan disesuaikan oleh kapasitas penghuni. Ada kotak-kotak rak kayu yang digunakan untuk menyimpan baju, juga peralatan ibadah. Ada kasur lantai, bantal, guling, dan kamar mandi dalam. Setiap bangsal memiliki satu jendela kecil dan pintu yang terdapat teralis besi berlapis papan kayu dengan banyak gembok yang ditutup setiap jam 4 sore hingga jam 7 pagi di keesokan harinya.

Petugas memberi tahu kami jadwal saat-saat ABH diperkenankan untuk keluar kamar. Yaitu pagi untuk berkegiatan sesuai dengan jadwal masing-masing seperti sekolah, melukis, karawitan, bermain musik, latihan kerja, dll. Lalu antara dzuhur, kemudian jam dua hingga jam empat sore setelah sebelumnya mengambil jatah makan malam dan memenuhi bak mereka dengan air untuk persiapan semalaman. Petugas yang kami bersamai juga mengeluhkan kondisi lapas yang sesungguhnya sangat tidak layak dan tidak ramah anak. Ketika kutanya bagaimana kondisi layak anak yang dimaksudnya, ia menjelaskan bahwa seharusnya lapas tidak membuat Anak yang Berhadapan dengan Hukum merasakan bahwa ia sedang dipenjara. Maksudnya bahwa mereka diizinkan berkegiatan, dan bisa merasakan kebebasan. Tidak ada teralis besi, tidak ada ruang-ruang yang membuat perasaan sesak dan pengap.

Aku memandang kembali bangunan bergaya Belanda yang saat itu sedang mengungkung kami. “Karena ini bangunan cagar budaya, kami bahkan tidak boleh mengambil satu senti pun teralis besi itu. Tidak boleh …
Seharusnya cagar budaya digunakan untuk tempat wisata, tempat agar orang-orang dapat tahu bagaimana kondisi penjara pada masa Belanda. Bukan untuk ditinggali oleh ABH,” keluh petugas yang juga merupakan salah satu wali pemasyarakatan. Di LPKA sendiri, terdapat Delapan wali yang masing-masing membawahi antara 10 sampai 15 ABH.

Aku pergi ke kamar mandi di sudut blok saat petugas masih berbicara dengan temanku. Kamar mandi bersama dengan satu bak kecil berukuran 0,5 x 1 meter itu berdinding keramik berwarna orange cerah. Di depan bak terdapat dinding rendah dan keran air. Kondisi ini mengingatkanku dengan pemandian di onsen yang sering kulihat di dorama-dorama Jepang.

Petugas lalu menawariku untuk melihat sel isolasi yang kuiyakan dengan cepat. Aku bahkan sudah berada di depan sel isolasi saat petugas sedang mencarikan kunci. Saat itu, dua ruang sel isolasi yang dimiliki LPKA sedang kosong. Ruang sel isolasi itu begitu kecil, pencahayaannya berasal dari celah berukuran 10 x 15 cm, dan sangat pengap. Dindingnya terlihat begitu dingin dengan cat yang bahkan tidak terlihat jejak kelupasnya, lantainya masih semen. Tidak ada kamar mandi. Dan, tahanan yang ditempatkan di ruang tersebut sama sekali tidak boleh keluar. Teralis besinya terdapat dua gembok di bagian atas dan bawah, ditambah satu gembok untuk lapisan pintu kayu di luar. Aku yang awalnya ingin mencoba merasakan berada di dalam sel isolasi, mengurungkan niat saat mencium bau yang membuat kepalaku pening.

Aku kembali melihat outbond yang akan berakhir. Dosenku mengingatkan agar aku tidak melupakan presensi. Membayangkan aku mendata delapan puluh satu anak itu saja sudah membuatku merinding saat jadwal tutup pintu mereka sudah melebihi batas. Aku memutar otak dan akhirnya meminta bantuan fasilitator masing-masing kelompok. Dengan begitu, semua ABH bisa terdata tanpa luput dan memakan waktu banyak.

Seorang ABH di kelompok dengan fasilitator yang dari perbincangan kukenali berstatus sebagai asisten praktikum OBI di fakultas kami, membuatku sangat ingin menyapanya saat kutahu dia berasal dari daerah yang sama denganku. Beberapa saat yang lalu, seorang petugas menceritakan kasus yang membuatnya berada di LPKA dan jangka waktu masa tahanan yang membuat dadaku sesak. Lalu saat fasilitator sedang mendata anggota kelompoknya, aku memberanikan diri untuk menyapa ABH tersebut.

“Hai, kamu dari Kendal kah?”

Dia tampak terkejut mendengarku menyebut nama kota kecil itu, mengamatiku sejenak, lalu tersenyum.

“Iya, Mbak. Lha Mbaknya pundi to? Aku alun-alun …”

Belum sempat aku menjawab, ABH lain di kelompok yang sama saling bersahutan mengerubungiku.

“Aku Kaliwungu, Mba,”

“Aku Semarang.”

“Aku Weleri,”

“Eh? Benarkah? Bukan begitu pelafalannya,” aku meragukannya.

Leri? Aku sudah lama tidak pulang,”

“Mbanya mana? Pabrik Gula? Cepiring?”

Dan celoteh anak-anak yang menyebutkan daerah-daerah yang kukenali dengan baik ini membuat mataku memanas. Aku sangat ingin sekali berbincang banyak dengan mereka. Ingin bertanya banyak hal, belajar banyak hal. Ingin memastikan bagaimana cara mereka membunuh rindu yang buncah. Ingin menawarkan bantuan apa saja yang mungkin bisa kulakukan untuk mereka. Tapi, waktu kami begitu sedikit.

Aku mengikuti fasilitator tadi dan membuat kesepakatan bersama. Tanpa fasilitator itu, aku ragu akan dapat berbincang dengan mereka saat kalimat yang akan keluar dari tenggorokanku seperti tercekat ketika aku melihat pendar sayu dari bola mata ABH di depan kami. Saat itu gerimis.

“Kau dengar dia tadi bilang apa?” kata asisten OBI padaku saat kita hanya berdua.

Aku mengangguk. “Ada keceriaan tersendiri,” ucapku menirukan kalimat seorang ABH ketika kami menanyainya tentang perasaannya terhadap outbond yang baru saja dilakukannya.

“Itu artinya, selama ini ada yang mengganggunya. Mengusiknya, yah sesuatu seperti itu.”

Wah! Begitukah? Aku mendongak, mencari kebenaran dari keseriusan kalimat yang tidak berbanding lurus dengan keseriusan wajahnya. Aku bahkan tidak memikirkan hal itu dan tidak menyimpulkan sesuatu pun. Ada apa ini? Aku seharusnya lebih jeli melihat hal tersebut meski belum mengambil praktikum OBI. Apa insting jurnalisku selama ini tidak berguna dan ternyata serendah itu? Mulai saat itu, aku mendengarkan kalimatnya dan mencoba menarik kesimpulan dari setiap pernyataan orang-orang. Aku kembali memintanya untuk mendapatkan izin agar bisa berbincang dengan ABH yang lain …

Kami mendapat kesempatan dan berbincang lagi tentang banyak hal dengan ABH lain. Ada ABH yang menertawaiku karena aku tidak tahu program televisi Katakan Putus yang selalu ditontonnya saat jadwal keluar dari bangsal. Ada ABH yang menceritakan mimpi-mimpi buruknya ketika berada di lapas. ABH terakhir yang kami wawancarai saat itu dengan malu-malu berkata padaku bahwa dia akan segera menikah dengan gadis yang namanya terukir di hati dan tato yang terletak pada lengan kirinya. Umurnya baru menapak angka ke delapan belas. Aku mendekap mulutku saat mendengar kabar itu. Sementara asisten OBI di sampingku meneriakkan kata waahh berulang dan memintaku untuk tidak baper. Binar mata ABH itu begitu bahagia. Aku memberinya ucapan selamat, untuk kabar bahagia itu dan untuk kebebasannya beberapa hari lagi karena remisi dari perayaan ulang tahun negara yang didapatnya.

Dan waktu merangkak begitu cepat. Kalimat klise yang mengatakan setiap pertemuan pasti ada perpisahan itu sedikit membuatku sedih. Ada banyak hal yang masing ingin kuketahui …
Tapi kami harus benar-benar undur diri.
Terima kasih untuk pengalaman dan hari yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku.
            

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar