(Back to) The Kitchen

By Zulfa Rahmatina - 2:45 PM

Sejak perkara karet tabung gas yang bocor sudah usai, setelah selama ini membiasakan makan sayuran, sampah rumah tangga kontrakan kami (kembali) hanya penuh dengan bungkus mie instant dan kopi sachet. Tidak apa, kami (semoga) selalu bahagia dengannya.

Yang jadi masalah, hampir-hampir saya lupa, jika terus begini, Abi (bisa jadi akan sangat) marah. Asupan air putihku tidak teratur, giziku kacau dan (mungkin) saya harus dipaksa minum cairan sagu racikannya lagi untuk menentramkan lambung ini. Tapi, rupanya hal ini pun bukan masalah yang besar untuk sekarang.

Masalah besarnya adalah, tiba-tiba rindu itu menyeruak. Rindu menumis bawang hingga harum, mengocok telur, menetralkan rasa dengan gula tabur, memotong brokoli, menakar adonan gandum, membuat sup hangat, dan sebagainya. Rindu ini, sialnya, dengan mencibir menuntun ingatan pada paparan kalimat yang biasa saya umbar dengan teman-teman. Bahwa anak-anak saya kelak berhak (dan harus) lahir dari rahim seorang ibu yang sehat dan pintar.

Baiklah, saya bisa berdalih jika kesibukan menyelesaikan tumpukan tugas dan kejaran deadline membuat saya tidak (lagi) memasak. Tapi melihat kepul asap yang bumbung dari ramen instant di mangkuk besar, rasanya bullshit sekali alasan itu ketika saya (ternyata) masih sempat menyalakan kompor, lalu mencincang banyak cabai, kadangkala dengan daun bawang atau kubis.

Ah, saya tahu. Jika diberi kesempatan, suatu saat nanti, akan ada seseorang yang duduk berseberangan di depan saya untuk menunggu hidangan yang saya sajikan. Saya tahu, suatu saat nanti, saya akan berkata, “Makanan sudah siap, Sayang,”
Ah saya tahu sekali. Usaha yang dianggap receh itu akan menumbuhkan banyak sekali benih-benih bunga. Atau bahkan mencetak berjuta-juta asa.

Selain itu, bukankah kita harus selalu memperhatikan ke-thayyib-an kita dari segala hal? Dan semua itu bergantung dari apa-apa yang mengaliri darah. Apa-apa yang kita asup. Untuk itu, bukan bermaksud tergesa, tapi agaknya saya sudah begitu perlu untuk menata hati dan diri ini demi menuju ikatan visioner yang dirindui.

Lalu, apa yang harus saya lakukan?
Memperbaiki sampah rumah tangga kami? Atau apakah saya harus memasak lagi?
Apa pun itu, (calon) Ibu, ayo ke dapur! 



Surakarta, Desember 2016.
Zulfa dan remah-remah perasaannya. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar