­
­

Review Novel HANIF: Dzikir dan Pikir

By Zulfa Rahmatina - 9:17 AM


            Judul   : Hanif
            Penulis : Reza Nufa
            Penerbit: Diva Press
ISBN   : 978-602-7933-46-0

Sebelumnya, aku… tentu saja bukan penulis sepopuler @rezanufa yang followersnya udah melebihi tiga angka :D Aku juga bukan orang yang paham agama. Aku hanya seseorang yang sedang menggiati dunia literasi, dan seorang hamba yang bisa jadi tak lebih mulia dari debu.
            Oke, jadi, kali ini, aku pingin mengungkapkan novel Hanif karya Mas Reza Nufa—menurut sudut pandang pembaca sepertiku. Catat : review gaje ini akan sangat panjang :p
catatan tambahan, jarak posting dan bikin review ini seabad!
***
            Hanif, adalah seorang mahasiswa dengan cara berpikir kritis. Dikisahkan, dia mempunyai teman dari kecil yang selalu menyetujuinya di setiap keadaan. Namanya Idam.
            Di perpustakaan kampus, kehadiran perempuan tidak berjilbab di Kampus Islami tempatnya belajar, tentu saja sangat menarik untuk diperbincangkan. Belakangan, Hanif dan Idam, menjadi dekat dengan gadis berkalung salib yang bernama Disti.
            Hanif dengan pemikiran ‘penghapusan agama’ yang sangat tidak wajar itu, mendapat masalah dengan ayahnya. Ayahnya bahkan sampai meruqyah anak satu-satunya tersebut sebab pemikirannya!
            Banyak yang menuduhnya JIL, tapi Hanif acuh. Ada pula yang berbisik dia murtad, masih, Hanif tidak peduli…
            Dan pada akhirnya, Hanif memilih pergi … (mungkin), untuk bermuhasabah diri…
***
            Sebenarnya, aku selesai membaca novel itu udah lamaaa banget. Sekitar pertengahan Juni—saat #KampusFiksi di Jogja. Kubaca Hanif, di rumah kakakku di Kaliurang, dan kulanjutkan di travel saat perjalanan pulang dari Jogja. Ya, novel  itu aku dapat dari Diva… :)
            Malam terakhir #KampusFiksi, aku dan Puuchan (@PutriPramaa), sibuk naik-turun tangga. Dia, ah, baik banget :* mau bantu aku beberes. Pas Puuchan buka bingkisannya, dia ternyata dapet Hanif dan udah ada tanda tangan penulisnya! Aku dan dia yang penasaran apa novel yang kudapat, langsung menyobek paksa kertas kado bingkisanku itu. Dan, yah, aku juga dapet Hanif. Yeay!
            “Mas, minta tanda tangannya.” Malu-malu, dengan Puuchan di belakangku, kudekati penulis yang sedang duduk bengong ngelihatin anak-anak #KampusFiksi3 yang narsisnya subhanallah :p Aku menyodorkan novel bersampul hijau itu padanya. Ya, hanya novel itu.
            “Umm …”
Mas Reza yang tau aku datang dengan tangan kosong, beburu mencari polpen. Beruntung, ada polpen tergeletak di meja, entah milik siapa.
“Namanya?”
“Zulfa,”
“Terima kasih, Mas.”
Untuk Zulfa. Terus menulis! Kupandangi tulisannya, sejenak. Lalu segera kumasukkan ke dalam koper.
Ya. Sesingkat itulah perbincanganku dengan Mas Reza. Padahal paginya, saat aku dan teman-teman pulang dari jalan-jalan pagi, dia dicegat dan dimintai foto oleh Resti dan Dini. Dan lagi-lagi, aku tidak mengucapkan sepatah pun kata.
***
            Hanif, adalah seorang mahasiswa baru di sebuah kampus islam. Dia—menurutku—adalah seorang yang sangat peka terhadap sekelilingnya. Cara berpikir Hanif yang lain pada remaja umumnya, mulai penulis tampakkan di awal cerita saat ia dan Idam—seorang teman yang selalu menguntitnya dari orok :D—berbincang ringan tentang Tuhan yang ‘ditantang’ membuat batu yang nantinya akan menghalangi jalan-Nya.
            Pikiran-pikiran Hanif hampir selalu ada di tiap lembar novel itu. Ia … ah, penulis, maksudku, seolah ingin memuntahkan semua lahar tentang pemikiran/terobosan—menurutnya—yang telah tersimpan di benaknya begitu lama.
            Penulis juga menghadirkan tokoh Disti—gadis yang memiliki keyakinan berbeda dengan Hanif—yang kelak juga akan menjadi ‘sasaran’ penulis untuk mengeluarkan pendapatnya tentang hal tersebut.
            Jujur, aku menikmati pemikiran-pemikiran Hanif di lembar-lembar awal. Tapi kemudian, pikiranku terusik oleh apa yang penulis tuturkan tentang anak LDK, yang digambarkan lelakinya bercelana bahan, perempuannya berpakaian sangat sopan, berbaju longgar, berkerudung menutupi bagian dada, dan memakai rok. Kalau rapat juga pasti pake pembatas-tabir—aku masih menyetujui apa yang penulis gambarkan pada anak LDK ini.
            Tapi ketika penulis bilang kalau mereka—anak-anak LDK—sangat ‘sinis’ dengan mereka yang berjelana jeans. Dadaku bergemuruh, marah. Dan aku bingung hendak marah dengan siapa. Penulis? Hanif? Atau anak LDK itu?
            Seorang anak LDK, yang Hanif temui di perpustakaan saat ia mengutarakan keinginannya bergabung dengan LDK—tetapi niat itu sepertinya batal. Karena sejak awal, dia telah dikomentari pakaiannya—mengatakan hal ini, Jeans itu pakaian orang kafir.”
            Blaaarrr! Tiba-tiba darahku semakin mendidih.
            Kenapa? Kenapa cewek … ah, akhwat itu berkata seperti itu? Apa yang bisa didapat kalau berdakwah dengan cara seperti itu? Kenapa dialog-dialog yang ditampilkan penulis tentang anak LDK itu terkesan sok sekali. Sok bau surga, sok paham segalanya, sok… sok… Arrrghhh…
Dan, penulis, terus saja membahas anak LDK yang ‘benci’ pada mereka—yang bercelana-orang-kafir tersebut—tanpa membahas isbal, atau lekuk tubuh yang biasa anak-anak LDK tekankan.
Aku sudah bertabayyun dengan Mas Reza mengenai ini di pm facebook—setelah sebelumnya kami membincangkan handuk-bayi-biruku dan sepasang sepatu kumuhku yang ketinggalan di #KampusFiksi :D. Dan ternyata, sesuai sangkaku, Mas Reza memang menjumpai orang-orang demikian. Aku membaca balasan pm Mas Reza dengan miris dan hati yang teriris.
***
            Muhammadiyah dan Nu yang selalu mempunyai perbedaan menentukan awal 1 Syawal, LDII yang menyiram bekas sholat orang yang bukan dari golongannya—di daerahku, beberapa warga LDII, setelah pulang dari pasar, bahkan mencuci uang yang mereka dapat hasil dari berjualan, yang tentunya didapat dari beragam orang—sebuah ormas yang mengobrak-abrik warung saat bulan puasan, agama sunda wiwitan, Sunni dan Syiah yang bertikai, pemuda muslim dan Kristen yang bentrok dan masih banyak hal lainnya seperti tak luput dari kisah yang dituturkan penulis dalam novel ini.
            Dan, saya berani bertaruh, novel ini tidak cocok dibaca oleh orang yang sakit jiwa dan ‘anak di bawah umur’—mereka yang fanatik terhadap golongannya, mereka yang selalu merasa benar tanpa tahu apa hakikat kebenaran, mereka yang sejak lahir telah taklid buta … mereka yang sekalipun tidak pernah berusaha mencari … seperti Ibrahim maupun Hanif, mereka yang pikirannya telah bebal oleh bualan para kiyainya, mereka yang … ah, ternyata terlalu banyak orang yang sakit jiwa di zaman ini.
            Novel ini, juga tidak cocok dibaca oleh orang-orang yang belum ‘dewasa’. Juga mereka yang tidak mau menerima perbedaan yang ada …
            Jika Anda, wahai pembaca, menderita salah satu gejala yang telah saya uraikan di atas, ada baiknya dan jangan sekalipun ragu untuk tidak menjadikan Hanif sebagai satu dari deretan daftar belanja Anda.
            Karena Hanif, hanya terlahir untuk mereka yang membacanya tanpa prasangka…
            “Soal sesat atau tidak, itu adalah penghakiman orang lain terhadap kita berdasar pada tafsir-tafsir yang mereka yakini. Sekali lagi, yang mutlak benar itu cuma Tuhan, sedangkan tafsir-tafsir terhadap Tuhan masih bisa diperdebatkan. Kebenarannya relatif.”

“Jangan takut sesat selama kamu terus mencari,”

            “Siapa yang bisa memastikan siapa yang sesat jika semua orang kenyataannya sedang dalam pencarian yang sama?”
cuplikan dialog di halaman 45
           



  • Share:

You Might Also Like

6 komentar

  1. Hai, Kak Zul! Ini Puu-chan! Aku kesulitan ngakses apapun, tapi aku tetep jadi stalker ulung xD hehehehe Aku jalan-jalan di TL-mu dan nemu link ini. Kubaca deh! hohohoho! Aaaa, aku terharu sama ceritamu tentang puuchan-mu :3 huhuhu, aku sering nangis akhir-akhir ini T_T *abaikan* BTW, kita minta ttd-nya barengan lho! Punyaku nggak langsung ditandangani, tapi kita minta gantian sama kak Reza, kalo usulnya emang dari aku *plok* xD hehehehe. Di bagian yang ada fotonya, baru sekarang aku nyesel xD Harusnya aku foto sama kak Reza waktu itu! Lumayan buat dipamerin dan ngomong ke temen kalo sekarang udah sembuh berkat Hanif *plok* ehehehehe.

    Aku kangen kamu, Kak Zul. Mungkin hampir setahun kita nggak ngobrol, lebih dari sebulan kita nggak chat bareng. Aku kangen kamu! Aku nggak bisa buka apapun T_T Hanya google account(juga wordpress, dan wattpad) tak berpengikut ini aja yang nemenin aku T_T Doain aku kembali cepat atau lambat! UN tinggal menghitung hari! Semoga kita bisa chattingan lagi!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kyaaaaa! Puchaaaan demi apa aku baru baca komenmu. Gomennasai :( Udah tenang kan, sekarang? Gimana nih, udah siap terbit berapa novel lagi? :) Miss you too.....

      Delete
  2. Komenku panjang banget yaa xD hohoho. Ini kelupaan diketik tadi, salam buat member SGA48!! Aku kangen kalian! Habis UN, mari ktia keja semua Giveaway! :D hohoho Salam buat Kak Farrah! Kalian tahu? AKu sekarang jadi shoutacon parah xD hohoho

    ReplyDelete
    Replies
    1. SGA48! :") Shoutacon XD Farrah harus tahu ini! :D

      Delete
    2. hai hai aku muncul! XD yes, kita shotacon~ nama ini terdengar lbh unyu ketimbang pedo #pletaaak XD
      Zulfa pun harus ditarik jd shotacon! XD

      Delete
    3. Ohhh... no thanks. Saya tetap setia pada yang bishie dan megane :p

      Delete