Jakarta, membuatku dengan sendirinya membaca berbagai macam
watak orang yang berkorelasi dengan kondisi kejiwaan masing-masing. Parahnya,
dengan sok juga kemaki yang begitu tinggi, akhir-akhir ini, aku
selalu ‘membaca’ tiap kali aku bertemu orang baru.
Sebenarnya, tujuanku bukan
mencari-cari kelemahan orang. Aku hanya ingin mendalami ilmu yang ajaib itu.
Ah, sebenarnya... aku hanya ingin mengenal diriku sendiri lebih dalam—tanpa
bantuan berbagai macam tes psikologi.
Aku, juga dengan sadar, beberapa
waktu ini mendiagnosa diriku sendiri menyandang bipolar dengan kadar yang
sangat rendah juga mungkin, ah... hypocondriac.
Kebiasaan membaca orang ini sebenarnya sudah dengan otomatis
kulakukan sejak aku masih berada di bangku sekolah. Tapi Jakarta dengan
populasi orang yang tentunya lebih mamlu’ ini, membuat mataku terbuka
semakin lebar. Aku mulai memperbanyak referensiku mengenai berbagai macam
kelainan jiwa. Hingga pada saat aku sungkem dengan Mbah Goog, aku sampai pada
penyakit-penyakit aneh yang langka.
Trimethylaminuria—syndrom bau ikan.
Artikel ini benar-benar membuatku terhenyak. Bagaimana
tidak? Pertama kali membaca, aku bahkan mengira itu hanya hoax dan gurauan
saja.
Trimethylaminuria merupakan suatu penyakit genetik, dimana
gen turunan menghambat kemampuan tubuh untuk memecah trimethtylamine. Syndrom
bau ikan terjadi ketika tubuh tidak dapat memecah senyawa tertentu dalam
makanan. Terutama yang mengandung kolin, seperti telur dan daging yang
berlemak. Yang paling ekstrim, syndrom
ini dapat menimbulkan bau amis—sangat menyengat—yang berasal dari
keringat, urine dan napas.
Penderita, bahkan jika ia mandi berkali-kali, menyemprotkan
berbotol-botol parfum, menggunakan deodoran, dsb... bau tersebut tidak akan
bisa hilang! Ia masih berbau ikan busuk.
Yang membuatku semakin kaget adalah, dalam banyak artikel
tentang penyakit tersebut—yang kemudian kubaca—banyak yang menjelaskan bahwa si
penderita tidak mencium bau busuknya tersebut!
Alam fikirku mereka ulang kejadian di suatu hari. Saat
berjalan bersama teman-temanku, seorang teman tiba-tiba menarik tanganku ke
belakang. Dia menghambat tubuhku untuk berjalan lebih cepat. Aku menurut,
berjalan mengikuti langkahnya yang pendek-pendek. Dengan penasaran, aku melihat
wajahnya yang hanya kelihatan matanya—karena dia sedang menutup hidung.
“Aku,” bisiknya pelan tanpa kuminta. Matanya masih lurus ke
depan. Kami tertinggal beberapa meter dari rombongan. “Tidak tahan dengan bau
badan ukhti itu....” lenguhnya panjang.
Pin Pon!
Rasa penasaran itu terjawab sudah. Tak jarang memang,
kudengar keluhan senada tentang seorang akhwat, berjilbab besar, dengan bau
badan yang tidak sedap. Saat itu, aku yang belum tahu syndrom itu tentu
mengklaim akhwat tersebut tidak pandai menjaga kebersihan dirinya. Aku juga
pernah membaca tentang seseorang yang merasa gerah dengan teman kontrakannya
yang kebetulan seorang akhwat—akibat bau badannya.
Tapi, itu penyakit yang sangat langka, bukan?
Dan... tidak sedikit orang yang bermasalah dengan bau badan.
Honestly, aku sering
menahan napas ketika berdekatan dengan seorang teman. Ingin rasanya menjaga
jarak dengan sangat jauh seperti ketika bertemu ikhwan. Tapi, kemudian, aku
tersadar. Jika itu, mungkin saja
menyakitinya.
Akhirnya, yang bisa kulakukan hanya bersabar. Pernah aku
mengeluhkan hal ini pada ummi. Tapi ummi menanggapinya dengan jawaban yang
malah menyudutkanku; kita tidak boleh mencela orang. Dang! Aku muntab. Bagaimanalah ini? Tuhan, inikah ujian
akibat dari banyaknya dosa-dosaku? *Preettt—efek apa ini? :D
***
Itu kisah dulu. Sekarang, aku
memakai Jakarta sebagai settingnya. Attention please, artikel ini
tidak bermaksud menyinggung siapapun. Karena aku sudah bilang akan memakai
setting Jakarta, terutama LIPIA—lingkunganku kini, tentu saja tidak ada nama
tempat yang disamarkan. Apalagi nama orang (?) cerita ini fiktif? Hey, ini
bukan FTV!
Temanku pernah bilang, anak LIPIA
itu terkenal dengan mereka yang jalannya cepet. Nah loh? Benarkah? Kemudian,
aku melihat diriku sendiri dan menyadari memang, jika selama di Jakarta ini,
aku semakin sering berjalan dan membuat ritme langkahku semakin terlatih dan
berkorelasi pada cepat-lambatnya jalanku—hipotesa apa ini?
Nah, dengan kebiasaan jalan seperti
itu, juga kondisi suhu Jakarta yang benar-benar abnormal dan keterlaluan,
ditambah dengan baju tebel, lebar dan gelap, tentu semakin mendukung produksi
keringat hingga berkubik-kubik (?).
Akibatnya? Jrenggg, jrengg... tentu
saja bau itu muncul! Terlebih pada akhwat yang memegang teguh hadits nabi kita
yang mengatakan perempuan yang keluar rumah dengan bau wangi akan dikuntit
setan. Rasul bahkan, mengklaim mereka yang sengaja memakai wewangian agar
baunya dicium orang lain adalah pezina. Tapi hello... nggak boleh wangi, bukan
berarti boleh bau kaleeuuss. Yekan? *Alay syndrome -_-
Keterjaminan keselamatan nyawa kita pasti akan semakin
terancam jika ternyata ukhti kita yang tersayang ini, hanya mandi secara jama’ taqdim atau ta’khir
alias sekali sehari. Lebih baik masbu’ deh! (?)
Lagi, kita pasti akan semakin sekarat jika tahu dia hanya
masuk khamam untuk wudhu, kan? Artinya... artinya tidak ada pasta gigi, tidak
ada sabun cuci muka. Ampun, dah! Duh, duh, katanya mencintai sunnah. Nabi
siwaknya berapa kali tuh. Nabi wanginya sampai bisa dicium di meter keberapa,
tuh?
Please dong, Akh! Please dong, Wat! Please dong, Akh-wat! Pernah dengar hadits nabi
yang sangat tidak menganjurkan orang yang akan ke masjid untuk makan makanan
yang beraroma pekat? Itu, tandanya, menganggu penciuman orang lain juga
termasuk perbuatan dzholim. Kalau bahasa abiku saat aku mengeluhkan perutku
yang melilit karena telat makan, hal itu bisa dikategorikan dzholim pada diri
sendiri juga. Nah, kalau tubuhnya ngadu sama Allah karena nggak pernah
dibersihin, gimana tuh?
Ya, membiarkan bakteri bersarang di tubuh kita dan
menimbulkan bau yang alaa kulli haal itu perbuatan yang tidak baik. Entah
bagaimana orang lain, aku pribadi, jika mencium bau-bau tidak enak, pasti akan
pusing-pusing, mual, muntah, kesemutan—abaikan XD
Terus gimana, dong. Kan nggak boleh pakai parfum. Ehm, dek,
ini tahun 2014 kan, ya? Coba deh, pergi ke hutan (?) dan bikin ramuan
penghilang bau badan. Atau, kita mampir di hutan beton.
Untuk teman-teman semarhalah diblum aam, yuk ah, dari Lipia
lurus aja. Nah, kalau udah nyampai kedai ramen yang selalu membuat produksi air
liurku berlebih dan dompetku mencicit juga kartu atm yang berderit-derit
sekarat, kita masuk ± 10 meter, belok kiri, dan turun pakai eskalator yang macet.
Taraaa...
Sampailah kita di—saya tidak sebut merk. Mari kita titipkan
tas, lalu menjelajah rak-rak yang menyediakan ramuan penghilang bau badan dan
pilihlah yang tanpa mengandung wewangian. Atau, bisa juga kita cari jamu dan
rutin meminumnya. Nah, rutin mandi sepertinya bukan ide buruk. Atau, lihatlah
diriku yang bela-belain selalu mandi malam. Duh, jadi inget teriakan anak-anak
kost deh. Tulangmu. Darahmu. Ususmu. Jantungmu (?)
Dear, menjaga
penciuman orang, insya allah benar-benar berpahala, loh! Selain kita wangi,
dapat pahala pula, nggak papalah keluarin fulus dikit meski mukafaah belum
turun :D ane juga ntar mau beli ‘itu’, kok. Loh?
Udah gitu aja. Mau sarapan dan doain semoga ane nggak lupa
mandi. Sayonara~
Terakhir, maha suci Allah yang telah menciptakan beraneka
macam aroma.
NB: Nyai kita Aisyah Taqiyya, mungkin sebentar lagi akan
berwirausaha menjadi penjual jamu gendong :P mari kita doakan bisnisnya lancar
jayaaa...
regards,
0 komentar