­
­

Akhwat Vs BB? Please dong, Wat!

By Zulfa Rahmatina - 10:27 AM

Jakarta, membuatku dengan sendirinya membaca berbagai macam watak orang yang berkorelasi dengan kondisi kejiwaan masing-masing. Parahnya, dengan sok juga kemaki yang begitu tinggi, akhir-akhir ini, aku selalu ‘membaca’ tiap kali aku bertemu orang baru.
            Sebenarnya, tujuanku bukan mencari-cari kelemahan orang. Aku hanya ingin mendalami ilmu yang ajaib itu. Ah, sebenarnya... aku hanya ingin mengenal diriku sendiri lebih dalam—tanpa bantuan berbagai macam tes psikologi.
            Aku, juga dengan sadar, beberapa waktu ini mendiagnosa diriku sendiri menyandang bipolar dengan kadar yang sangat rendah juga mungkin, ah... hypocondriac.
Kebiasaan membaca orang ini sebenarnya sudah dengan otomatis kulakukan sejak aku masih berada di bangku sekolah. Tapi Jakarta dengan populasi orang yang tentunya lebih mamlu’ ini, membuat mataku terbuka semakin lebar. Aku mulai memperbanyak referensiku mengenai berbagai macam kelainan jiwa. Hingga pada saat aku sungkem dengan Mbah Goog, aku sampai pada penyakit-penyakit aneh yang langka.
Trimethylaminuria—syndrom bau ikan.
Artikel ini benar-benar membuatku terhenyak. Bagaimana tidak? Pertama kali membaca, aku bahkan mengira itu hanya hoax dan gurauan saja.
Trimethylaminuria merupakan suatu penyakit genetik, dimana gen turunan menghambat kemampuan tubuh untuk memecah trimethtylamine. Syndrom bau ikan terjadi ketika tubuh tidak dapat memecah senyawa tertentu dalam makanan. Terutama yang mengandung kolin, seperti telur dan daging yang berlemak. Yang paling ekstrim, syndrom  ini dapat menimbulkan bau amis—sangat menyengat—yang berasal dari keringat, urine dan napas.
Penderita, bahkan jika ia mandi berkali-kali, menyemprotkan berbotol-botol parfum, menggunakan deodoran, dsb... bau tersebut tidak akan bisa hilang! Ia masih berbau ikan busuk.
Yang membuatku semakin kaget adalah, dalam banyak artikel tentang penyakit tersebut—yang kemudian kubaca—banyak yang menjelaskan bahwa si penderita tidak mencium bau busuknya tersebut!
Alam fikirku mereka ulang kejadian di suatu hari. Saat berjalan bersama teman-temanku, seorang teman tiba-tiba menarik tanganku ke belakang. Dia menghambat tubuhku untuk berjalan lebih cepat. Aku menurut, berjalan mengikuti langkahnya yang pendek-pendek. Dengan penasaran, aku melihat wajahnya yang hanya kelihatan matanya—karena dia sedang menutup hidung.
“Aku,” bisiknya pelan tanpa kuminta. Matanya masih lurus ke depan. Kami tertinggal beberapa meter dari rombongan. “Tidak tahan dengan bau badan ukhti itu....” lenguhnya panjang.
Pin Pon!
Rasa penasaran itu terjawab sudah. Tak jarang memang, kudengar keluhan senada tentang seorang akhwat, berjilbab besar, dengan bau badan yang tidak sedap. Saat itu, aku yang belum tahu syndrom itu tentu mengklaim akhwat tersebut tidak pandai menjaga kebersihan dirinya. Aku juga pernah membaca tentang seseorang yang merasa gerah dengan teman kontrakannya yang kebetulan seorang akhwat—akibat bau badannya.
Tapi, itu penyakit yang sangat langka, bukan?
Dan... tidak sedikit orang yang bermasalah dengan bau badan.
Honestly, aku sering menahan napas ketika berdekatan dengan seorang teman. Ingin rasanya menjaga jarak dengan sangat jauh seperti ketika bertemu ikhwan. Tapi, kemudian, aku tersadar. Jika itu, mungkin saja  menyakitinya.
Akhirnya, yang bisa kulakukan hanya bersabar. Pernah aku mengeluhkan hal ini pada ummi. Tapi ummi menanggapinya dengan jawaban yang malah menyudutkanku; kita tidak boleh mencela orang. Dang! Aku  muntab. Bagaimanalah ini? Tuhan, inikah ujian akibat dari banyaknya dosa-dosaku? *Preettt—efek apa ini? :D
***
            Itu kisah dulu. Sekarang, aku memakai Jakarta sebagai settingnya. Attention please, artikel ini tidak bermaksud menyinggung siapapun. Karena aku sudah bilang akan memakai setting Jakarta, terutama LIPIA—lingkunganku kini, tentu saja tidak ada nama tempat yang disamarkan. Apalagi nama orang (?) cerita ini fiktif? Hey, ini bukan FTV!
            Temanku pernah bilang, anak LIPIA itu terkenal dengan mereka yang jalannya cepet. Nah loh? Benarkah? Kemudian, aku melihat diriku sendiri dan menyadari memang, jika selama di Jakarta ini, aku semakin sering berjalan dan membuat ritme langkahku semakin terlatih dan berkorelasi pada cepat-lambatnya jalanku—hipotesa apa ini?
            Nah, dengan kebiasaan jalan seperti itu, juga kondisi suhu Jakarta yang benar-benar abnormal dan keterlaluan, ditambah dengan baju tebel, lebar dan gelap, tentu semakin mendukung produksi keringat hingga berkubik-kubik (?).
            Akibatnya? Jrenggg, jrengg... tentu saja bau itu muncul! Terlebih pada akhwat yang memegang teguh hadits nabi kita yang mengatakan perempuan yang keluar rumah dengan bau wangi akan dikuntit setan. Rasul bahkan, mengklaim mereka yang sengaja memakai wewangian agar baunya dicium orang lain adalah pezina. Tapi hello... nggak boleh wangi, bukan berarti boleh bau kaleeuuss. Yekan? *Alay syndrome -_-
Keterjaminan keselamatan nyawa kita pasti akan semakin terancam jika ternyata ukhti kita yang tersayang ini,  hanya mandi secara jama’ taqdim atau ta’khir alias sekali sehari. Lebih baik masbu’ deh! (?)
Lagi, kita pasti akan semakin sekarat jika tahu dia hanya masuk khamam untuk wudhu, kan? Artinya... artinya tidak ada pasta gigi, tidak ada sabun cuci muka. Ampun, dah! Duh, duh, katanya mencintai sunnah. Nabi siwaknya berapa kali tuh. Nabi wanginya sampai bisa dicium di meter keberapa, tuh?
Please dong, Akh! Please dong, Wat! Please dong, Akh-wat! Pernah dengar hadits nabi yang sangat tidak menganjurkan orang yang akan ke masjid untuk makan makanan yang beraroma pekat? Itu, tandanya, menganggu penciuman orang lain juga termasuk perbuatan dzholim. Kalau bahasa abiku saat aku mengeluhkan perutku yang melilit karena telat makan, hal itu bisa dikategorikan dzholim pada diri sendiri juga. Nah, kalau tubuhnya ngadu sama Allah karena nggak pernah dibersihin, gimana tuh?
Ya, membiarkan bakteri bersarang di tubuh kita dan menimbulkan bau yang alaa kulli haal itu perbuatan yang tidak baik. Entah bagaimana orang lain, aku pribadi, jika mencium bau-bau tidak enak, pasti akan pusing-pusing, mual, muntah, kesemutan—abaikan XD
Terus gimana, dong. Kan nggak boleh pakai parfum. Ehm, dek, ini tahun 2014 kan, ya? Coba deh, pergi ke hutan (?) dan bikin ramuan penghilang bau badan. Atau, kita mampir di hutan beton.
Untuk teman-teman semarhalah diblum aam, yuk ah, dari Lipia lurus aja. Nah, kalau udah nyampai kedai ramen yang selalu membuat produksi air liurku berlebih dan dompetku mencicit juga kartu atm yang berderit-derit sekarat, kita masuk ± 10 meter, belok kiri, dan turun pakai eskalator yang macet.
Taraaa...
Sampailah kita di—saya tidak sebut merk. Mari kita titipkan tas, lalu menjelajah rak-rak yang menyediakan ramuan penghilang bau badan dan pilihlah yang tanpa mengandung wewangian. Atau, bisa juga kita cari jamu dan rutin meminumnya. Nah, rutin mandi sepertinya bukan ide buruk. Atau, lihatlah diriku yang bela-belain selalu mandi malam. Duh, jadi inget teriakan anak-anak kost deh. Tulangmu. Darahmu. Ususmu. Jantungmu (?)
Dear, menjaga penciuman orang, insya allah benar-benar berpahala, loh! Selain kita wangi, dapat pahala pula, nggak papalah keluarin fulus dikit meski mukafaah belum turun :D ane juga ntar mau beli ‘itu’, kok. Loh?
Udah gitu aja. Mau sarapan dan doain semoga ane nggak lupa mandi. Sayonara~
Terakhir, maha suci Allah yang telah menciptakan beraneka macam aroma.

NB: Nyai kita Aisyah Taqiyya, mungkin sebentar lagi akan berwirausaha menjadi penjual jamu gendong :P mari kita doakan bisnisnya lancar jayaaa...


regards,



  • Share:

You Might Also Like

0 komentar