xuanlocxuan |
Tahun
ini, rupanya, kamu belum lulus juga. Skripsimu berhenti di pembahasan, seperti
mobil bekas yang hanya diletakkan di ruang penyimpanan. Tidak ada kemajuan,
kecuali biaya yang semakin membengkak dari konsekuensi lamanya pendidikan.
Masuk semester baru, sungguh menjadi hal yang memuakkan. Sementara itu,
teman-temanmu sudah menghabiskan uang pertama gajian untuk hal-hal yang
menyenangkan. Tahun ini, laki-laki yang kemarin kau idamkan sebagai teman
berbincang di sisa perjalanan, rupanya tidak menganggapmu laiknya perempuan.
Dia memilih gadis yang lebih menawan. Kata-kata manis dan perhatiannya tempo
hari, rupanya tak ubahnya gas helium yang sejenak membuat dadamu kembang, lalu
pecah menjadi beberapa kepingan. Kamu hela napas dalam-dalam, sialan.
Tahun ini, rupanya kamu pun belum punya momongan, tentu saja ujung-ujungnya
adalah deret ngilu omongan orang-orang yang sudah pasti tanpa penyaringan.
Sungguh menyebalkan. Tahun ini, orang tuamu semakin renta, tapi kepadanya, kamu
tidak juga berhenti merengek untuk hal-hal yang sederhana.
Dengan
sadar, kamu memasang wajah tenang padahal hatimu sesak tak karuan. Kamu membuat
unggahan di media sosial, seolah-olah hidupmu berjalan sesuai angan. Kamu
tersenyum agar orang lain mengira kondisimu baik-baik saja. Kamu melupakan
hatimu yang koyak di banyak bagian. Kamu tidak ingin mengingat saat di mana
kamu menangis diam-diam ketika hujan. Kamu pura-pura lupa pernah membenamkan
wajah di balik bantal, menangis hingga jatuh terlelap. Cara menangis yang
paling buruk, meski sejenak membuatmu puas bukan buatan. Kamu berhitung
memang, bukan tentang berapa banyak air mata yang tumpah. Tetapi seberapa
banyak kamu merasa mengalahkan setiap masalah, dengan pengingkaran. Kamu sadar,
menahan diri tidak akan pernah mudah. Satu yang tidak kamu sadari adalah bahwa dengan
abai pada setiap benturan, kamu telah memilih untuk menyakiti diri sendiri
dengan luka yang lebih dalam.
Kamu pikir, siapa orang hebat yang bisa menanggung setiap cacian, mampu menahan diri dari gunjingan, cemooh, amarah yang meluap karena pengkhianatan, tuduhan tidak berdasar, dan derita patah hati sungguh-sungguh lainnya? Satu-satunya orang yang mampu mengatasinya, adalah orang yang memiliki psikososial dan psikospiritual terbaik: Rasulullah. Dahulu—bisa jadi hingga kini. Kemudian, orang-orang berjiwa hanif setelahnya meneladani seluruh perangai menakjubkannya dengan baik. Bukankah kita, sebaiknya, juga meneladaninya?
Kamu pikir, siapa orang hebat yang bisa menanggung setiap cacian, mampu menahan diri dari gunjingan, cemooh, amarah yang meluap karena pengkhianatan, tuduhan tidak berdasar, dan derita patah hati sungguh-sungguh lainnya? Satu-satunya orang yang mampu mengatasinya, adalah orang yang memiliki psikososial dan psikospiritual terbaik: Rasulullah. Dahulu—bisa jadi hingga kini. Kemudian, orang-orang berjiwa hanif setelahnya meneladani seluruh perangai menakjubkannya dengan baik. Bukankah kita, sebaiknya, juga meneladaninya?
Tidak
masalah ketika jalan kita terseok, tidak peduli seberapa lambat. Asal kita
melintasi jalan yang dilaluinya. Menghadapi persimpangan, sebagaimana yang
dilampauinya. Tidak mengapa jika hari ini tidak sebaik hari kemarin. Semua
orang pernah mengalaminya. Kita semua kelelahan. Kita kecewa. Kita gagal. Kita
merasa begitu payah. Hati kita patah berkali-kali. Dan itu tidak apa-apa. Sungguh.
Hari ini, mari ucapkan terima kasih pada siapa pun yang telah bersinggungan,
yang sudah singgah datang, hingga yang memilih berbalik pulang.
*
Suatu hari ketika mengingat masa lalu,
tahun-tahun yang penuh jerih payah
akan berubah menjadi tahun-tahun yang
paling indah.
—Sigmund Freud
0 komentar