Ketika bertanya kepada kakak laki-laki soal apa yang harus
kukatakan jika teman perempuanku bertanya tentangnya, dia menjawab dengan
pasti, “Katakan saja, belum baik, berusaha menjadi baik, dan selalu mencintai
hal-hal baik,” rentetan kalimat itu membuat hatiku tersengat dan menjadikanku
tercenung begitu lama. Adalah wajar jika kita mengenalkan hal-hal baik tentang
diri kita—terlebih, pada sesi perkenalan yang bukan tidak mungkin berakhir ke jenjang
pernikahan. Kakakku, misalnya, bisa saja memilih mengatakan hal-hal baik yang dia miliki seperti dirinya yang merupakan alumnus pesantren
A, sarjana lulusan universitas Timur Tengah B, dan memiliki usaha C. Dia bahkan
bisa memilih mengatakan hal-hal spesifik seperti ciri fisik—yang juga cukup good
looking, kemampuan finansial, dan hal-hal yang bisa dijadikannya sebagai sebuah
branding. Tetapi, harapan menjadi orang baik bagi kakakku ternyata adalah cara
terbaik yang dia pilih untuk menunjukkan siapa dirinya.
Setiap kita memahami konsep baik dan buruk ketika telah sukses
melewati tahap perkembangan yang mengenalkan kita pada hal-hal abstrak. Tidak utopis
rasanya jika kita mendefinisikan baik seperti bersikap ramah terhadap orang
lain, berbakti pada orang tua dan guru, menolong orang yang membutuhkan, atau
hal-hal semacamnya. Kita juga mengenali hal-hal buruk seperti mencela, bersikap
kasar, mencuri, hingga mengabaikan tanggungjawab. Menjadi orang baik sebenarnya
adalah hal yang mudah. Namun, rupanya, menjadi orang baik tidak sesederhana
itu.
Menjadi orang baik menjadi melelahkan ketika kita mengusahakan diri menjadi terbaik versi teman, yang minimal turut menonton tayangan film yang sedang diputar di bioskop, mengerti gosip-gosip yang sebenarnya bukan urusan, bisa diajak nongkrong dan ikut membeli junkfood yang dia makan, mengenakan barang-barang branded agar tidak memalukan, hingga memiliki postur dan tampilan diri di bingkai foto sebagaimana standar kecantikan—peduli apa soal prestasi yang kau raih, hingga hal seremeh ketika pagi tadi kamu mengucapkan terima kasih kepada petugas kebersihan kampus yang telah bekerja sejak dini hari untuk merawat kolam ikan dan taman.
Menjadi orang baik menjadi melelahkan ketika kita mengusahakan diri menjadi terbaik versi teman, yang minimal turut menonton tayangan film yang sedang diputar di bioskop, mengerti gosip-gosip yang sebenarnya bukan urusan, bisa diajak nongkrong dan ikut membeli junkfood yang dia makan, mengenakan barang-barang branded agar tidak memalukan, hingga memiliki postur dan tampilan diri di bingkai foto sebagaimana standar kecantikan—peduli apa soal prestasi yang kau raih, hingga hal seremeh ketika pagi tadi kamu mengucapkan terima kasih kepada petugas kebersihan kampus yang telah bekerja sejak dini hari untuk merawat kolam ikan dan taman.
Menjadi baik versi tetangga cukup rumit jika mereka mengharuskan
kita memiliki pekerjaan yang mapan bergaji tinggi sesuai tingkat pendidikan,
memiliki pasangan menawan, menggelar pesta pernikahan menakjubkan, dan setelahnya
memiliki anak-anak yang patuh-lucu-menggemaskan. Sebentar, jangan lupa dengan
hunian dan kendaraan yang menyilaukan—aman dan nyaman urusan belakangan. Menjadi
baik versi dosen terasa pelik ketika baik mengharuskan kita rutin membuat
publikasi ilmiah, cakap di akademik, berprestasi di organisasi kemahasiswaan,
termasuk lulus sesuai waktu yang ditargetkan—bukan masalah kalau di belakang,
kau berjuang begitu keras dan kesulitan menemukan pegangan.
Mengusahakan menjadi baik versi orang lain sebenarnya adalah satu kesalahan
besar dalam kehidupan. Kita menjadi tidak memiliki ruang untuk mengenal diri
sendiri dan menggerus rasa syukur kita karena selalu merasa kurang. Kita seumpama
robot yang dituntut menjadi sempurna di segala bagian. Rasanya, tuntutan demi
tuntutan itu semakin menjauhkan kita dari hati yang lapang. Segalanya menjadi
sebuah beban berat yang menuntut penyelesaian. Padahal, mengerti apa orang lain
terhadap bahagia yang kita upayakan? Mengerti apa mereka tentang nilai-nilai
yang kita pegang terhadap bahagia yang kita rasakan?
Tetapi bahkan jika ekspektasi orang lain membuat kita resah namun
itu adalah hal yang kita kejar, jangan-jangan kita tidak sadar jika sedang
berada di lingkungan yang toxic. Alih-alih menjauh, justru
terkatung-katung pada ketidakpastian. Peristiwa sederhana membuat kita bimbang,
kegagalan kecil membuat kita terguncang, riak-riak ini tanpa disadari akan
membentuk sebuah luka yang dalam sementara kita masih belum tahu apa yang akan
dilakukan. Menjadi sempurna adalah sebuah tujuan yang butuh banyak perjuangan. Ketika
menyandarkan pada hal-hal yang demikian, sesungguhnya kita sedang berada pada kondisi miskin akan makna. Kita tidak
mengerti apa itu kebijaksanaan. Ketika berhasil meraih satu capaian, ambisi
lain belum selesai dituntaskan. Akibatnya, ketenangan menjadi hal yang sifatnya
temporer dan tidak memiliki jangka waktu yang panjang.
0 komentar