Mencintai dengan Bijak

By Zulfa Rahmatina - 10:11 AM

Mudah bagi kita untuk menyukai orang-orang yang gemar memberi. Apapun. Entah itu barang yang kita suka, waktu, selengkung senyum hingga kiriman kata-kata penguatan yang memenuhi kotak masuk pesan kita. Pada dasarnya, kita suka diperhatikan. Kita suka dibuat merasa istimewa. Bukankah memberi adalah bentuk lain dari perhatian? Sayangnya, kondisi ini begitu sulit jika dialihkan kepada Tuhan. Mencintai Tuhan, rasa-rasanya butuh usaha yang lebih. Padahal, siapa yang lebih perhatian kepada kita selain Tuhan?

Siapa yang sanggup menjamin rezeki kita lebih daripada-Nya? Siapa yang kuasa memberi sepaket air mata lengkap dengan bingkisan renyah tawa? Siapa pula yang menghadirkan orang-orang yang kita cintai dan mencintai kita? Siapa yang lebih mengenal dan tahu tentang diri kita sejak lahir hingga matinya? Tetapi mencintai Tuhan, rupanya tidak semudah seperti saat kita berlaku pada makhluk-Nya. Tidak semudah saat kita mengutarakan dan mengupayakan cinta yang sama pada makhluk yang menghadirkan emosi tersebut. Kepada Tuhan, rasa-rasanya mencintai menjadi hal yang teramat abstrak. Di hadapan Tuhan, kita menjadi makhluk yang tidak tahu diri.

Kita sering mendekap terlalu erat kepada apa-apa yang kita sangka, kita miliki. Kita menjaganya dengan begitu hati-hati. Padahal seringkali, apa-apa yang sangat kita cinta, justru merupakan apa-apa yang juga dapat membuat kita merasa sangat terluka. Benarlah sebuah kalimat yang masyhur di linimasa, jatuh cinta adalah patah hati yang disengaja. Cinta membuat kita begitu lemah jika hanya disandarkan pada emosi sesaat yang sayangnya, juga tidak sepenuhnya benar-benar kita miliki. Kau lupa? Tidak ada yang benar-benar kita miliki. Juga, kita ini hanya diuji dengan apa-apa yang kita cintai. Harta benda, anak-anak, pasangan, kedudukan, nama baik, rupanya kita suka sekali mencintai hal-hal yang tidak kekal. Sayangnya, cinta kepada Yang Kekal justru sangat payah kita upayakan. Pemberian kita begitu seadanya. Kita memenuhi panggilan dengan lambat. Kita menuntaskan kewajiban untuk sekadar hanya menggugurkannya. Kita merutuk kesal ketika yang dimau datang tak sesuai harap.


Aku tidak menakut-nakutimu soal cinta. Tetapi, jika cintamu mengundang murka Tuhan, bukankah itu mengerikan? Kau boleh saja mencintai, tapi kau harus bijak. Bijak seharusnya mampu membuatmu meletakkan cinta pada tempat dan porsi yang tepat. Kau tentu boleh saja berdoa, boleh meminta, harus malah. Tetapi, mintalah untuk kebaikanmu dan kebaikannya. Sekarang kalau kau takut apa yang telah dibangun selama ini menjadi rusak, tenanglah sejenak. Segala yang rusak, tidak selalu harus diperbaiki. Seperti bejana, atau gelas kaca yang pecah. Mungkin bisa disatukan kembali, tapi menggunakannya dengan sisa dan bekas retakan, barangkali justru membahayakan. Pakai saja gelas lain. Bukankah gelas tidak hanya satu? Pilih yang lebih nyaman, kokoh, dan indah. Isi dengan sesuatu yang dingin. Sesekali, dengan sesuatu yang menghangatkan. Di banyak kesempatan, kau bahkan bisa menuangkan rasa manis, pahit, bahkan asam sebagai warna dan pelengkap perjalanan.

Segala yang rusak, saat ini, bisa jadi menyulut pedih. Tapi kita jadi tahu, untuk lebih berhati-hati di hari kemudian. Segala yang rusak, saat ini mungkin tak terganti. Tapi kita tidak tahu, yang terjadi nanti kan? Segala yang hilang, akan diganti dengan yang datang. Segala yang pergi, akan diganti yang pulang insyaa Allah.

Mencintai dengan bijak, bukankah lebih menentramkan?



  • Share:

You Might Also Like

0 komentar