Joker dan Ukuran Kebaikan Kita

By Zulfa Rahmatina - 7:53 AM


“Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti


Beberapa hari ini, kata-kata yang disandingkan dengan karakter badut dengan senyum aneh tersebut selalu muncul setiap kali aku membuka media sosial. Entah Instagram, Twitter, atau aplikasi chat WhatsApp. Beriringan dengan hal tersebut, banyak pula chat masuk yang mendesakku untuk segera ke bioskop. Terlalu banyak ajakan menonton Joker juga teman-teman yang meminta pendapatku soal ini. Katanya, Joker ini sarat akan isu mental illness, dan sebagai anak magister profesi psikologi, peminatan klinis pula, society ini seolah-olah ingin men-setting pikiranku bahwa tidak menonton Joker adalah suatu dosa besar. Tidak terampuni. Temanku bahkan dengan baik hati menawarkan tiket promo seharga kacang—maksudnya murah banget. Meski begitu, setidaknya hingga tulisan ini dibuat, aku masih belum tergerak untuk menonton.
  
Aku ini sejujurnya bukan penggemar film DC Comics (meski aku menonton beberapa garapannya di bioskop). Aku bahkan juga belum menonton Ledger di The Dark Knight saat teman-teman mengklaim dia Joker paling keren sejauh ini—sebelum Joaquin Phoenix berlaga. Tapi perasaan teman-teman itu mungkin bisa kupahami dengan menarik seorang tokoh yang kukenal dengan sangat baik (karena semua serinya kutonton), James ‘Jim’ Moriarty. Tokoh penjahat iconic di serial detektif Sherlock Holmes.


Jim Moriarty adalah seorang professor Matematika. Moriarty dalam serial detektif Sherlock Holmes digambarkan sebagai satu-satunya konsultan kriminal di dunia, berkebalikan dengan peran protagonis Sherlock yang menjadi konsultan detektif. Tapi, berapa banyak yang histeris saat melihat Moriarty memakai crown jewelry? Berapa banyak orang yang melonjak riang di Final Problem ketika melihat Jim Moriarty kembali muncul dan turun dari helikopter dengan iringan soundtrack Queen - I Want to Back Free? Berapa banyak hati yang kemudian patah ketika subtitle menampakkan kalimat 5 years ago yang membuktikan bahwa Moriarty tidak benar-benar kembali. Ya! Aku juga merasakannya! Aku sangat menikmati dan yakin bahwa every second of Moriarty appearing on screen is so precious. Menurutku, Andrew Scott sebagai Jim Moriarty memang a thing of pure beauty. Dia keren parah!! GILA! Andrew seolah memang terlahir untuk menjadi Moriarty. Kukira, tidak berlebihan jika ada yang berkata even though Moriarty is a villain in Sherlock, he is probably the most lovable villain in all of film history. Apart from the Joker.

Tokoh jahat lain yang menarik perhatian (dan serialnya juga kutonton) adalah Kaito Kuroba, pemuda dengan setelan jas putih sutera dan kacamata tunggal di mata sebelah kanan. Jujur saja, berapa banyak yang mengelu-elukannya (baik karakter di film/penonton). Penonton bukannya senang kalau Kaito Kid berhasil mencuri dan mengelabui polisi? Bukannya senang kalau melihat putih-putih melayang di gantole? Sebagai rival dari Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa, Kaito Kid tetap punya tempat di hati penonton. Barangkali, porsinya, setara dengan Conan Edogawa itu sendiri.


Tapi tetap saja, sepintar dan se-cool apapun Moriarty, dia itu kriminal. Dia Napoleon-nya kriminal. Dia keji, arogan, dan manipulatif. Tapi tetap saja, selihai dan semenarik apapun Kaito, dia tetap Phantom Thief. Sepakat kan kalau mencuri adalah kejahatan? Dan tentu tetap saja, semenyedihkan apapun kisah Joker, terlepas dari asumsi penyakit mental yang ia derita, perbuatan kejam tetap kejam. Perbuatan buruk tetap buruk.

Kita terlalu menikmati kisah-kisah yang tersaji dan tidak sadar jika industri hiburan tengah mempermainkan moral kita dengan mengaburkan makna baik dan buruk. Kita dikondisikan untuk mentolerir pembunuhan, pencurian, penipuan, dan kejahatan kriminal lain. Kita lupa, bahwa keburukan itu begitu hitam dan kebaikan itu putih. Tidak ada abu-abu dalam kasus ini. Tidak ada pembenaran bahwa keburukan bisa dimaklumi ketika dia merupakan akibat dari luka-luka masa lalu. Kita terluka, tetapi menurut Freud, kita masih memiliki mekanisme pertahanan diri. Kita terluka, dan behaviorism menawarkan kita untuk lebih belajar mengenali diri. Kita terluka dan humanistik membawa kita pada kesadaran here and now, mengakui kekurangan dan mempersiapkan masa depan. Kita terluka dan transpersonal mengantar kita kepada yang hakiki. Setiap orang punya lukanya masing-masing. Bukan waktu yang menyembuhkannya, tapi pemaknaan kita terhadap luka-luka itu sendiri. Tapi kedewasaan kita untuk mengakui kelemahan yang kita miliki. Tapi usaha kita untuk terus memperbaiki diri.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar