“Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”
Beberapa hari ini, kata-kata yang disandingkan
dengan karakter badut dengan senyum aneh tersebut selalu muncul setiap kali aku
membuka media sosial. Entah Instagram, Twitter, atau aplikasi chat WhatsApp. Beriringan
dengan hal tersebut, banyak pula chat masuk yang mendesakku untuk segera ke
bioskop. Terlalu banyak ajakan menonton Joker juga
teman-teman yang meminta pendapatku soal ini. Katanya, Joker ini sarat akan isu
mental illness, dan sebagai anak magister profesi psikologi, peminatan klinis
pula, society ini seolah-olah ingin men-setting pikiranku bahwa tidak
menonton Joker adalah suatu dosa besar. Tidak terampuni. Temanku bahkan dengan baik hati menawarkan tiket promo
seharga kacang—maksudnya murah banget. Meski begitu, setidaknya hingga tulisan
ini dibuat, aku masih belum tergerak untuk menonton.
Aku ini
sejujurnya bukan penggemar film DC Comics (meski aku menonton beberapa garapannya
di bioskop). Aku bahkan juga belum menonton Ledger di The Dark Knight saat
teman-teman mengklaim dia Joker paling keren sejauh ini—sebelum Joaquin Phoenix berlaga. Tapi perasaan teman-teman
itu mungkin bisa kupahami dengan menarik seorang tokoh yang kukenal dengan sangat
baik (karena semua serinya kutonton), James ‘Jim’ Moriarty. Tokoh penjahat
iconic di serial detektif Sherlock Holmes.
Jim
Moriarty adalah seorang professor Matematika. Moriarty dalam serial detektif Sherlock Holmes digambarkan sebagai satu-satunya
konsultan kriminal di dunia, berkebalikan dengan peran protagonis Sherlock yang menjadi konsultan detektif. Tapi, berapa banyak yang histeris saat melihat Moriarty memakai crown jewelry? Berapa banyak orang yang melonjak riang di Final Problem ketika
melihat Jim Moriarty kembali muncul dan turun dari helikopter dengan iringan
soundtrack Queen - I Want to Back Free? Berapa banyak hati yang kemudian patah
ketika subtitle menampakkan kalimat 5 years ago yang membuktikan bahwa Moriarty tidak benar-benar kembali. Ya! Aku
juga merasakannya! Aku sangat menikmati dan yakin bahwa every second of
Moriarty appearing on screen is so precious. Menurutku, Andrew Scott
sebagai Jim Moriarty memang a thing of pure beauty. Dia keren parah!!
GILA! Andrew seolah memang terlahir untuk menjadi Moriarty. Kukira, tidak berlebihan
jika ada yang berkata even though Moriarty is a villain in Sherlock, he is
probably the most lovable villain in all of film history. Apart from the Joker.
Tokoh
jahat lain yang menarik perhatian (dan serialnya juga kutonton) adalah Kaito
Kuroba, pemuda dengan setelan jas putih sutera dan kacamata tunggal di mata
sebelah kanan. Jujur saja, berapa banyak yang mengelu-elukannya (baik karakter
di film/penonton). Penonton bukannya senang kalau Kaito Kid berhasil mencuri
dan mengelabui polisi? Bukannya senang kalau melihat putih-putih melayang di
gantole? Sebagai rival dari Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa, Kaito Kid tetap
punya tempat di hati penonton. Barangkali, porsinya, setara dengan Conan
Edogawa itu sendiri.
Tapi
tetap saja, sepintar dan se-cool apapun Moriarty, dia itu kriminal. Dia Napoleon-nya
kriminal. Dia keji, arogan, dan manipulatif. Tapi tetap saja, selihai dan semenarik
apapun Kaito, dia tetap Phantom Thief. Sepakat kan kalau mencuri adalah
kejahatan? Dan tentu tetap saja, semenyedihkan apapun kisah Joker, terlepas dari
asumsi penyakit mental yang ia derita, perbuatan kejam tetap kejam. Perbuatan buruk
tetap buruk.
Kita
terlalu menikmati kisah-kisah yang tersaji dan tidak sadar jika industri
hiburan tengah mempermainkan moral kita dengan mengaburkan makna baik dan
buruk. Kita dikondisikan untuk mentolerir pembunuhan, pencurian, penipuan, dan
kejahatan kriminal lain. Kita lupa, bahwa keburukan itu begitu hitam dan
kebaikan itu putih. Tidak ada abu-abu dalam kasus ini. Tidak ada pembenaran
bahwa keburukan bisa dimaklumi ketika dia merupakan akibat dari luka-luka masa
lalu. Kita terluka, tetapi menurut Freud, kita masih memiliki mekanisme
pertahanan diri. Kita terluka, dan behaviorism menawarkan kita untuk lebih
belajar mengenali diri. Kita terluka dan humanistik membawa kita pada kesadaran
here and now, mengakui kekurangan dan mempersiapkan masa depan. Kita terluka
dan transpersonal mengantar kita kepada yang hakiki. Setiap orang punya lukanya
masing-masing. Bukan waktu yang menyembuhkannya, tapi pemaknaan kita terhadap
luka-luka itu sendiri. Tapi kedewasaan kita untuk mengakui kelemahan yang kita
miliki. Tapi usaha kita untuk terus memperbaiki diri.
0 komentar