Batas untuk Mengeluh

By Zulfa Rahmatina - 4:42 PM


Alhamdulillaah, setelah sekian lama, setelah program mulazamah selesai, wisuda, dan masa-masa yang-kata-orang-life-crisis, dan setelah sebulan lebih menikmati hari-hari di magister profesi, akhirnya aku liqo’ lagi! Ini suatu hal yang sangat patut untuk dirayakan, lebih-lebih bagi ruhiyahku. Pertemuan pertama—bagiku, karena kelompok mulazamah lalu dipecah menjadi dua halaqah, aku memilih hari Jumat dan mendapat murobbiyah yang pertama kali ketemu langsung memikatku—bisa gitu, orang beriman itu punya aura yang ngga terdefinisi pakai kata-kata.


Di pertemuan pertama, setelah kami diminta membaca beberapa ayat, beliau lantas membahas mengenai bab akhlak. Wah, ini pas banget. Seharian kemarin di kelas filsafat, kami tak habis-habis mengurai makna adab, akhlak, sopan santun, etika, norma, sampai moralitas. Aku menawarkan konsep adab yang tidak bisa diartikan dengan sopan santun. Sebab, jika adab dimaknai sebagai sopan santun, maka perbuatan Nabi Ibrahim kepada ayahnya adalah perbuatan tidak beradab, bahkan sangat biadab ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, “Sungguh aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata,”. Tetapi bukannya tidak seperti itu kita memaknainya?

Sopan santun dan norma terikat oleh teritorial, waktu, dan kondisi. Sementara adab lebih universal dan jika kita merujuk dari asal terminologi tersebut muncul, kita lalu tahu bahwa segalanya kemudian harus disandarkan pada nilai-nilai Qur’an. Aku menyepakati pendapat Prof Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang memaknai adab sebagai sopan santun Islami. Right action orang yang beradab, menurutnya, adalah orang yang mampu mengenali dirinya, mampu mengenali potensi-potensi yang dimiliki, dan mampu menempatkan sesuai letaknya. Entah itu potensi fisik, intelektual, hingga spiritualnya. Tapi tidak semua orang sepakat dengan apa yang kuutarakan, tidak apa-apa.


Di halaqah kami sore itu, akhlak sendiri dimaknai sebagai cerminan hati dari indikasi baik dan buruknya seseorang. Akhlak baik membuat orang dinilai baik, sebaliknya orang akan memandang buruk setiap orang dengan akhlak buruk. Di bab ini, macam-macam akhlak dibagi menjadi beberapa sub dan salah satunya akhlak kepada Allah. Aku kembali mengingat materi yang kupresentasikan di kelas filsafat. Bahwa jika merujuk pada adab yang diajarkan oleh Luqman kepada anaknya, adab tertinggi adalah adab kepada Allah. Adab kepada Allah menuntut kita untuk tidak menyekutukannya. Perbuatan syirik, adalah perbuatan yang biadab sebab kita tidak ‘menempatkan’ Allah pada tempatnya sebagai khaliq. Begitu juga penjelasan mengapa riya’ dimaknai syirik kecil. Sebab, kita mempersembahkan amalan agar dinilai manusia dan mendapat puja-pujinya. Dosenku, juga menekankan bahwa the highest adab is laa tusyrik billaah. Adab tidak sekadar disandarkan pada tolak ukur manusia, tetapi ada syariat yang mengaturnya.


Adab dan akhlak kepada Allah yang pertama-tama kami bahas dalam liqo’ adalah dengan mensyukuri nikmat-nikmat yang telah Allah berikan. Dengan menghitungnya, dengan mengolah hati untuk tidak sering mengeluh. Sebab rupanya, mengeluh adalah pertanda kurangnya syukur. Tapi dalam ilmu Psikologi, memendam masalah bukannya akan semakin menambah masalah? Beberapa masalah timbul karena seseorang kesulitan atau tidak mampu mengungkapkannya. Timbunan-timbunan itu berpotensi untuk meledak suatu saat. Entah ledakan dalam konotasi positif atau negatif, setiap orang memiliki batasnya masing-masing. Lantas, bagaimana agar hal tersebut tidak terjadi? Rupanya dalam mengeluh, ada batasan-batasan yang telah diatur sedemikian rupa. Batasan-batasan itu di antaranya adalah:

  1. Mendahulukan Allah
Segala masalah, sebagaimana kita tahu, adalah pemberian Allaah. Kita akan diuji dan itu suatu keniscayaan. Jika Allaah memberi sebuah kesulitan, bukankah bersamanya Ia juga memberi kemudahan? Ada penyelesaian-penyelesaian yang sudah ditulis dan kita tinggal memintanya. Ada persangkaan-Nya yang sesuai dengan prasangka kita. Ada nikmat yang akan ditambah, seiring langitan syukur kita. Bukankah, Ia tiada pernah ingkar akan janji-Nya? Memohonlah kepada Allah atas setiap permasalahan yang kita hadapi. Ingatlah hal ini ketika sering kali kita terlalu larut dalam suasana dan terburu-buru membesar-besarkan cerita.

  1. Mencari Orang yang Amanah
Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain, mustahil jika kita bisa menanggung segala sesuatunya dengan sendiri. Tapi, suatu saat jika ada masalah datang, pilihlah orang yang paling amanah untuk mendengarkan kesah. Pilihlah orang yang amanah untuk membantu menyelesaikan keluh. Jangan mengumbar segala masalah dengan semua orang. Alih-alih mendapat perhatian, kita justru sedang mengumbar aib ketidakbersyukuran diri kita sendiri.  

  1. Mengunjungi Profesional atau Ahli    
Di negeri kita, kesadaran akan kesehatan jiwa masih memprihatinkan. Padahal kita tahu dan sering mendengar bahwa badan yang sehat, berasal dari jiwa yang juga sehat. Kalau orang-orang terdekatmu mulai terganggu dengan keluhanmu dan tidak dapat membantu mengatasi masalahmu, sudah mencoba berbagai hal tetapi tidak menemukan titik temu, mengalami peristiwa berpotensi traumatis atau merasa perlu mengembangkan potensimu, coba kunjungi ahli. Kamu bisa ke psikolog terdekat di kotamu. Tidak perlu malu untuk menjadi lebih baik.

Setelah melakukan tahap-tahap di atas, semoga rangkaian peristiwa yang menimpa kita bisa menjadi pembelajaran akan nikmatnya sabar, juga jalan yang membuat syukur kita semakin riuh.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar