Alhamdulillaah,
setelah sekian lama, setelah program mulazamah selesai, wisuda, dan masa-masa
yang-kata-orang-life-crisis, dan setelah sebulan lebih menikmati hari-hari di
magister profesi, akhirnya aku liqo’ lagi! Ini suatu hal yang sangat patut
untuk dirayakan, lebih-lebih bagi ruhiyahku. Pertemuan pertama—bagiku, karena
kelompok mulazamah lalu dipecah menjadi dua halaqah, aku memilih hari Jumat dan
mendapat murobbiyah yang pertama kali ketemu langsung memikatku—bisa gitu,
orang beriman itu punya aura yang ngga terdefinisi pakai kata-kata.
Di
pertemuan pertama, setelah kami diminta membaca beberapa ayat, beliau lantas
membahas mengenai bab akhlak. Wah, ini pas banget. Seharian kemarin di kelas
filsafat, kami tak habis-habis mengurai makna adab, akhlak, sopan santun,
etika, norma, sampai moralitas. Aku menawarkan konsep adab yang tidak bisa
diartikan dengan sopan santun. Sebab, jika adab dimaknai sebagai sopan santun,
maka perbuatan Nabi Ibrahim kepada ayahnya adalah perbuatan tidak beradab, bahkan
sangat biadab ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, “Sungguh aku melihat
kamu dan kaummu dalam kesesatan yang
nyata,”. Tetapi bukannya tidak seperti itu kita memaknainya?
Sopan santun dan norma terikat oleh teritorial, waktu, dan kondisi. Sementara adab lebih universal dan jika kita merujuk dari asal terminologi tersebut muncul, kita lalu tahu bahwa segalanya kemudian harus disandarkan pada nilai-nilai Qur’an. Aku menyepakati pendapat Prof Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang memaknai adab sebagai sopan santun Islami. Right action orang yang beradab, menurutnya, adalah orang yang mampu mengenali dirinya, mampu mengenali potensi-potensi yang dimiliki, dan mampu menempatkan sesuai letaknya. Entah itu potensi fisik, intelektual, hingga spiritualnya. Tapi tidak semua orang sepakat dengan apa yang kuutarakan, tidak apa-apa.
Sopan santun dan norma terikat oleh teritorial, waktu, dan kondisi. Sementara adab lebih universal dan jika kita merujuk dari asal terminologi tersebut muncul, kita lalu tahu bahwa segalanya kemudian harus disandarkan pada nilai-nilai Qur’an. Aku menyepakati pendapat Prof Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang memaknai adab sebagai sopan santun Islami. Right action orang yang beradab, menurutnya, adalah orang yang mampu mengenali dirinya, mampu mengenali potensi-potensi yang dimiliki, dan mampu menempatkan sesuai letaknya. Entah itu potensi fisik, intelektual, hingga spiritualnya. Tapi tidak semua orang sepakat dengan apa yang kuutarakan, tidak apa-apa.
Di halaqah kami sore itu, akhlak sendiri dimaknai sebagai cerminan hati dari indikasi baik dan buruknya seseorang. Akhlak baik membuat orang dinilai baik, sebaliknya orang akan memandang buruk setiap orang dengan akhlak buruk. Di bab ini, macam-macam akhlak dibagi menjadi beberapa sub dan salah satunya akhlak kepada Allah. Aku kembali mengingat materi yang kupresentasikan di kelas filsafat. Bahwa jika merujuk pada adab yang diajarkan oleh Luqman kepada anaknya, adab tertinggi adalah adab kepada Allah. Adab kepada Allah menuntut kita untuk tidak menyekutukannya. Perbuatan syirik, adalah perbuatan yang biadab sebab kita tidak ‘menempatkan’ Allah pada tempatnya sebagai khaliq. Begitu juga penjelasan mengapa riya’ dimaknai syirik kecil. Sebab, kita mempersembahkan amalan agar dinilai manusia dan mendapat puja-pujinya. Dosenku, juga menekankan bahwa the highest adab is laa tusyrik billaah. Adab tidak sekadar disandarkan pada tolak ukur manusia, tetapi ada syariat yang mengaturnya.
Adab
dan akhlak kepada Allah yang pertama-tama kami bahas dalam liqo’ adalah dengan
mensyukuri nikmat-nikmat yang telah Allah berikan. Dengan menghitungnya, dengan
mengolah hati untuk tidak sering mengeluh. Sebab rupanya, mengeluh adalah
pertanda kurangnya syukur. Tapi dalam ilmu Psikologi, memendam masalah bukannya
akan semakin menambah masalah? Beberapa masalah timbul karena seseorang
kesulitan atau tidak mampu mengungkapkannya. Timbunan-timbunan itu berpotensi
untuk meledak suatu saat. Entah ledakan dalam konotasi positif atau negatif,
setiap orang memiliki batasnya masing-masing. Lantas, bagaimana agar hal tersebut
tidak terjadi? Rupanya dalam mengeluh, ada batasan-batasan yang telah diatur
sedemikian rupa. Batasan-batasan itu di antaranya adalah:
- Mendahulukan
Allah
Segala
masalah, sebagaimana kita tahu, adalah pemberian Allaah. Kita akan diuji dan
itu suatu keniscayaan. Jika Allaah memberi sebuah kesulitan, bukankah
bersamanya Ia juga memberi kemudahan? Ada penyelesaian-penyelesaian yang sudah
ditulis dan kita tinggal memintanya. Ada persangkaan-Nya yang sesuai dengan
prasangka kita. Ada nikmat yang akan ditambah, seiring langitan syukur kita. Bukankah,
Ia tiada pernah ingkar akan janji-Nya? Memohonlah kepada Allah atas setiap
permasalahan yang kita hadapi. Ingatlah hal ini ketika sering kali kita terlalu
larut dalam suasana dan terburu-buru membesar-besarkan cerita.
- Mencari
Orang yang Amanah
Sebagai
makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain, mustahil jika kita bisa
menanggung segala sesuatunya dengan sendiri. Tapi, suatu saat jika ada masalah
datang, pilihlah orang yang paling amanah untuk mendengarkan kesah. Pilihlah orang
yang amanah untuk membantu menyelesaikan keluh. Jangan mengumbar segala masalah
dengan semua orang. Alih-alih mendapat perhatian, kita justru sedang mengumbar
aib ketidakbersyukuran diri kita sendiri.
- Mengunjungi
Profesional atau Ahli
Di
negeri kita, kesadaran akan kesehatan jiwa masih memprihatinkan. Padahal kita
tahu dan sering mendengar bahwa badan yang sehat, berasal dari jiwa yang juga
sehat. Kalau orang-orang terdekatmu mulai terganggu dengan keluhanmu dan tidak
dapat membantu mengatasi masalahmu, sudah mencoba berbagai hal tetapi tidak
menemukan titik temu, mengalami peristiwa berpotensi traumatis atau merasa
perlu mengembangkan potensimu, coba kunjungi ahli. Kamu bisa ke psikolog
terdekat di kotamu. Tidak perlu malu untuk menjadi lebih baik.
Setelah melakukan tahap-tahap di atas, semoga rangkaian peristiwa yang menimpa kita bisa menjadi pembelajaran akan nikmatnya sabar, juga jalan yang membuat syukur kita semakin riuh.
0 komentar