Setiap orang memiliki lukanya masing-masing. Memiliki sesaknya, memiliki
derai tangisnya, juga jerit yang barangkali tertahan. Setiap orang memiliki
deritanya masing-masing. Memiliki sulit sukarnya, memiliki peluh nanah
darahnya. Tak perlu melihat ke sisi yang lain. Sakit tidak untuk dibanding-bandingkan,
tidak untuk diunggul-unggulkan. Memang, apa pentingnya?
Setiap orang memiliki emosinya masing-masing. Manusia telah terlatih
untuk merasakan ragam perasaan. Terlatih merasakan luka, terlatih dilukai—dan melukai.
Manusia saling melukai untuk tahu bagaimana indahnya merasa dihargai. Manusia merasakan
luka agar tahu bagaimana cinta adalah bagian kecil dari kehidupan yang
mempunyai dampak besar yang nyata. Ini hanya asumsiku saja. Barangkali, juga
asumsi beberapa orang lain di jagat raya.
Aku merasa tidak benar-benar pernah mengenal apa itu luka sebelum
bingkisan luka darimu memenuhi ruang hatiku. Kamu memberinya secara tiba-tiba. Sama
seperti parcel bahagia yang kau bawa secara cuma-cuma. Tapi luka ini terlalu
dalam, kau merobek terlalu kuat. Aku bertanya-tanya mengapa kau dengan tega
memberi luka ini. Kau bahkan menabur garam di atas luka yang basah. Kau membuat
erangan perih itu melengking semakin panjang. Aku kembali bertanya-tanya,
lukamu kah yang sedang kau kirim kepadaku saat ini? Kau pernah dilukai
sedemikian rupa, dan ingin membuatku turut merasakannya. Aku tak mengerti jika
jawabanmu adalah iya. Selain karena mengapa aku, juga mengapa itu harus? Kurasa,
aku tidak pernah memberimu luka yang sama.
Aku meminta maaf jika aku pernah membuatmu merasa terluka, meski lagi-lagi
kukatakan bahwa aku tidak merasa pernah melakukannya. Aku tidak mengerti
mengapa pula aku harus mengatakannya. Kukira, aku tidak perlu lagi mengingatmu
ketika aku ingin luka ini enyah, kan? Aku hanya perlu berbenah dan hatiku akan
sembuh dan membaik. Tidak lagi ada lara yang kau cipta. Tidak lagi ada
harapan-harapan sebatas benih yang tertabur tanpa sempat tumbuh. Tidak lagi
perlu ada asa untuk mencecap buah yang wangi dan ranum. Tidak perlu lagi ada
mimpi untuk menjadikanmu tempat teduh.
Tapi semakin hari, aku jadi makin mengerti mengapa aku harus
merasakan luka ini, dan mengapa saat ini aku harus menuliskannya. Luka ini adalah
elegi tentang paras egomu. Luka ini adalah inisiasi agar aku tidak mudah
tertipu lagi. Sementara hidup sangat berharga jika hanya untuk diratapi, terima
kasih atas patah-patah yang kau buat di hati. Terima kasih atas lukanya. Senang
mengabarkan bahwa kini ia sudah tidak lagi menganga.
0 komentar