Terhitung satu pekan setelah masa Induction Training. Mungkin, ini
adalah hari Ahad terakhirku sebelum aku menjalani peranku yang baru. To be
clear, 24 Agustus lalu, aku mendapat pengumuman penerimaan mahasiswa baru dan begitulah,
hari-hari seolah berlari begitu lesat. Peran baru yang akan kujalani esok hari
adalah sebagai mahasiswa magister profesi psikologi bidang minat klinis. Aku hanya
mendaftar di satu perguruan tinggi yang … terlalu banyak alasan jika
diungkapkan mengapa keputusan tersebut akhirnya diambil. Kupikir, beberapa
orang menyayangkan keputusan perguruan tinggi pilihanku dan banyak juga yang
mendukung. Jadi ini bukanlah hal yang perlu kupermasalahkan karena dalam hidup,
tidak semuanya harus kita mengerti dan mengerti dengan kita, kan? Alih-alih soal
pilihan perguruan tinggi, aku tahu keputusanku untuk melanjutkan pendidikan pun
tentu ada saja yang membincangkan—entah itu dalam konotasi baik atau buruk. Tapi
seperti keniscayaan bahwa kita tidak bisa mengendalikan pikiran orang lain,
kita juga tidak bisa mengatur doa-doa yang mengalir. Terima kasih untuk siapa
pun yang telah mengirimkan beragam doa-doa baik.
Aku merasa hatiku belum benar-benar sembuh sampai aku menemukan
fokus perhatian yang lain. Jadi daripada terus membiarkan luka itu menyiksaku,
kupikir bergerak menjadi satu-satunya cara terampuh untuk membuatnya pulih. Aku
tahu bahwa perihal luka, setiap kita mengalaminya. Tetapi membiarkan ia
menganga atau menutupnya adalah pilihan kita masing-masing. Salah satu
rangkaian Induction Training yang kuikuti diadakan di daerah Karangpandan,
Karanganyar. Kukira, agenda akan berjalan sebagaimana biasanya aku menghabiskan
waktu di daerah Tawangmangu. Memulai dengan workshop, pelatihan, lalu outbond
di keesokan harinya. Rupanya tidak, walau perbedaannya tidak begitu jauh. Kami menempati
sebuah penginapan menyenangkan yang dikelola oleh salah satu pesantren terkenal
di Karanganyar. Kami mengikuti agenda demi agenda, mengenal satu sama lain,
mengenal diri sendiri, bekerjasama, memanah, hingga berkuda. Kegiatan ini tidak
diwajibkan, tetapi kaprodi menjanjikan pada kami bahwa seluruh rangkaiannya benar-benar
memberi banyak arti. Seluruhnya meaningfull, seperti bidang ilmu yang
kami pilih untuk kami tekuni. Terserah mau mengikuti atau tidak, hanya jika ada
salah satu dari kami yang tidak mengikutinya, kata beliau, kami tidak lagi
berjalan di barisan yang sama. Kata-kata ini terus berdengung di otakku bahwa
bersama-sama dalam suatu barisan, meski melukai, adalah penting di banyak sisi
yang lain.
Setelah agenda Induction Training di Karanganyar selesai, aku pulang ke kos dengan disambut oleh seorang temanku yang banyak
berbicara. Kali itu, perbincangannya adalah berita mengenai seorang mahasiswa
pascasarjana dari sebuah kampus populer di negeri ini yang memutuskan untuk
mengakhiri hidupnya. Mahasiswa itu adalah mahasiswa berprestasi. Kutangkap sekilas
bahwa jejak akademiknya begitu mengesankan. Tapi aku sedang terlalu lelah. Agenda
orientasi masih berlanjut dengan workshop esok hari dan aku memilih untuk
beristirahat. Hanya saja, ketika kemudian aku membaca sebuah analisis dalam artikel
yang ditulis oleh seorang pakar hypnotherapy mengenai blog mahasiswa tersebut, aku
bergegas menelusuri alamat blog yang juga disertakan dalam tulisan itu. Membaca
setiap tulisan demi tulisan mahasiswa tersebut membuat dadaku sesak. Membaca komentar-komentar
warganet selepas kepergiannya, membuat hatiku sangat sakit. Apa mereka tidak
punya nurani? It’s so sad, Bro. Aku mencoba memahami dinamika yang ia lampaui
dan rupanya begitu perih—meski ia tidak seluruhnya mengumbar lukanya, aku tahu dia
menjalani hidup yang berat. Tapi bukankah kita semua diuji?
Aku, kamu, dia, kita semua diuji. Kita semua berpotensi. Kita semua
memiliki batasnya masing-masing. Setelah membaca berita kematiannya di berbagai
media dan setelah menuntaskan membaca tulisan-tulisannya, aku membuat rangkaian
snapgram mengenai depresi dan banyak pesan yang kemudian masuk di kotak masuk
Instagramku. Salah satu yang menjadi sorotan adalah banyak laki-laki yang
kemudian bercerita kepadaku bahwa yang mereka rasakan serupa dengan hasil penelitian
yang kusadur. Penelitian itu mengatakan bahwa laki-laki lebih rentan mengalami
depresi. Penyebabnya, ketika mengalami tekanan, mereka tidak segera bergegas
mencari pertolongan dan menganggap hal itu sebagai suatu kelemahan. Pun saat
melakukan percobaan (bunuh diri), wanita memiliki jejaring support yang banyak
sedangkan laki-laki lebih memilih menelan emosinya. Apa bagi laki-laki, mengekspresikan
perasaan benar-benar sesuatu yang sulit?
Terkait mahasiswa yang melakukan bunuh diri, aku tentu saja tidak
bisa menghakimi. Perlu serangkaian pemeriksaan untuk memutuskan diagnosa pada
seseorang. Butuh observasi dan anamnesa untuk memahami klien. Aku juga tidak
bisa seenaknya mengatur-atur kenapa mahasiswa tadi tidak beristirahat dulu,
misalnya dari tekanan aktivitas akademik ketika dia sendiri sudah menyadari
bahwa kesehatan mentalnya sedang tidak baik-baik saja. Aku tidak bisa
menyalahkan kalau dia tidak mengungkapkan perasaannya secara terang kepada
orang yang dia cintai, misalnya. Aku siapa? Aku hanya orang asing yang tidak
tahu sebesar apa usaha yang telah dia lakukan untuk pulih dan seberat apa
cobaan yang membuatnya jatuh.
Tapi yang kutahu, kita semua pasti diuji. Itu suatu keniscayaan. Kini,
nanti, semuanya akan diuji. Hari-hari selanjutnya, hari-hari setelah ini,
barangkali akan lebih berat. Lebih panjang likunya, lebih curam simpangnya. Lebih
menguras peluh, lebih memupuk keluh. Lebih banyak membendung tetes di sudut pelupuk.
Hari-hari setelah ini barangkali akan lebih berat. Lebih menuntut pengorbanan. Lebih
meminta bukti perjuangan. Tapi bahkan saat hari-hari itu datang, saat kemudian
kau merasa lelah, tidak apa-apa. Selama kelelahan yang menyertaimu, adalah kelelahan
yang dicintai-Nya. Tapi bahkan saat kau lelah, tidak apa-apa. Asal ketika itu,
kau masih ingat bahwa di saat yang sama, ada hati yang harus kau jaga, iman
yang harus kau bina, dan ego yang sebaiknya … tak luput dari tata.
Ahad, 8 Muharram 1441 H
0 komentar