Perihal Luka, Kita Semua Sama

By Zulfa Rahmatina - 11:02 AM



Terhitung satu pekan setelah masa Induction Training. Mungkin, ini adalah hari Ahad terakhirku sebelum aku menjalani peranku yang baru. To be clear, 24 Agustus lalu, aku mendapat pengumuman penerimaan mahasiswa baru dan begitulah, hari-hari seolah berlari begitu lesat. Peran baru yang akan kujalani esok hari adalah sebagai mahasiswa magister profesi psikologi bidang minat klinis. Aku hanya mendaftar di satu perguruan tinggi yang … terlalu banyak alasan jika diungkapkan mengapa keputusan tersebut akhirnya diambil. Kupikir, beberapa orang menyayangkan keputusan perguruan tinggi pilihanku dan banyak juga yang mendukung. Jadi ini bukanlah hal yang perlu kupermasalahkan karena dalam hidup, tidak semuanya harus kita mengerti dan mengerti dengan kita, kan? Alih-alih soal pilihan perguruan tinggi, aku tahu keputusanku untuk melanjutkan pendidikan pun tentu ada saja yang membincangkan—entah itu dalam konotasi baik atau buruk. Tapi seperti keniscayaan bahwa kita tidak bisa mengendalikan pikiran orang lain, kita juga tidak bisa mengatur doa-doa yang mengalir. Terima kasih untuk siapa pun yang telah mengirimkan beragam doa-doa baik.

Aku merasa hatiku belum benar-benar sembuh sampai aku menemukan fokus perhatian yang lain. Jadi daripada terus membiarkan luka itu menyiksaku, kupikir bergerak menjadi satu-satunya cara terampuh untuk membuatnya pulih. Aku tahu bahwa perihal luka, setiap kita mengalaminya. Tetapi membiarkan ia menganga atau menutupnya adalah pilihan kita masing-masing. Salah satu rangkaian Induction Training yang kuikuti diadakan di daerah Karangpandan, Karanganyar. Kukira, agenda akan berjalan sebagaimana biasanya aku menghabiskan waktu di daerah Tawangmangu. Memulai dengan workshop, pelatihan, lalu outbond di keesokan harinya. Rupanya tidak, walau perbedaannya tidak begitu jauh. Kami menempati sebuah penginapan menyenangkan yang dikelola oleh salah satu pesantren terkenal di Karanganyar. Kami mengikuti agenda demi agenda, mengenal satu sama lain, mengenal diri sendiri, bekerjasama, memanah, hingga berkuda. Kegiatan ini tidak diwajibkan, tetapi kaprodi menjanjikan pada kami bahwa seluruh rangkaiannya benar-benar memberi banyak arti. Seluruhnya meaningfull, seperti bidang ilmu yang kami pilih untuk kami tekuni. Terserah mau mengikuti atau tidak, hanya jika ada salah satu dari kami yang tidak mengikutinya, kata beliau, kami tidak lagi berjalan di barisan yang sama. Kata-kata ini terus berdengung di otakku bahwa bersama-sama dalam suatu barisan, meski melukai, adalah penting di banyak sisi yang lain.
Desa wisata bahasa
Setelah agenda Induction Training di Karanganyar selesai, aku pulang ke kos dengan disambut oleh seorang temanku yang banyak berbicara. Kali itu, perbincangannya adalah berita mengenai seorang mahasiswa pascasarjana dari sebuah kampus populer di negeri ini yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Mahasiswa itu adalah mahasiswa berprestasi. Kutangkap sekilas bahwa jejak akademiknya begitu mengesankan. Tapi aku sedang terlalu lelah. Agenda orientasi masih berlanjut dengan workshop esok hari dan aku memilih untuk beristirahat. Hanya saja, ketika kemudian aku membaca sebuah analisis dalam artikel yang ditulis oleh seorang pakar hypnotherapy mengenai blog mahasiswa tersebut, aku bergegas menelusuri alamat blog yang juga disertakan dalam tulisan itu. Membaca setiap tulisan demi tulisan mahasiswa tersebut membuat dadaku sesak. Membaca komentar-komentar warganet selepas kepergiannya, membuat hatiku sangat sakit. Apa mereka tidak punya nurani? It’s so sad, Bro. Aku mencoba memahami dinamika yang ia lampaui dan rupanya begitu perih—meski ia tidak seluruhnya mengumbar lukanya, aku tahu dia menjalani hidup yang berat. Tapi bukankah kita semua diuji?

Aku, kamu, dia, kita semua diuji. Kita semua berpotensi. Kita semua memiliki batasnya masing-masing. Setelah membaca berita kematiannya di berbagai media dan setelah menuntaskan membaca tulisan-tulisannya, aku membuat rangkaian snapgram mengenai depresi dan banyak pesan yang kemudian masuk di kotak masuk Instagramku. Salah satu yang menjadi sorotan adalah banyak laki-laki yang kemudian bercerita kepadaku bahwa yang mereka rasakan serupa dengan hasil penelitian yang kusadur. Penelitian itu mengatakan bahwa laki-laki lebih rentan mengalami depresi. Penyebabnya, ketika mengalami tekanan, mereka tidak segera bergegas mencari pertolongan dan menganggap hal itu sebagai suatu kelemahan. Pun saat melakukan percobaan (bunuh diri), wanita memiliki jejaring support yang banyak sedangkan laki-laki lebih memilih menelan emosinya. Apa bagi laki-laki, mengekspresikan perasaan benar-benar sesuatu yang sulit?

Terkait mahasiswa yang melakukan bunuh diri, aku tentu saja tidak bisa menghakimi. Perlu serangkaian pemeriksaan untuk memutuskan diagnosa pada seseorang. Butuh observasi dan anamnesa untuk memahami klien. Aku juga tidak bisa seenaknya mengatur-atur kenapa mahasiswa tadi tidak beristirahat dulu, misalnya dari tekanan aktivitas akademik ketika dia sendiri sudah menyadari bahwa kesehatan mentalnya sedang tidak baik-baik saja. Aku tidak bisa menyalahkan kalau dia tidak mengungkapkan perasaannya secara terang kepada orang yang dia cintai, misalnya. Aku siapa? Aku hanya orang asing yang tidak tahu sebesar apa usaha yang telah dia lakukan untuk pulih dan seberat apa cobaan yang membuatnya jatuh.

Tapi yang kutahu, kita semua pasti diuji. Itu suatu keniscayaan. Kini, nanti, semuanya akan diuji. Hari-hari selanjutnya, hari-hari setelah ini, barangkali akan lebih berat. Lebih panjang likunya, lebih curam simpangnya. Lebih menguras peluh, lebih memupuk keluh. Lebih banyak membendung tetes di sudut pelupuk. Hari-hari setelah ini barangkali akan lebih berat. Lebih menuntut pengorbanan. Lebih meminta bukti perjuangan. Tapi bahkan saat hari-hari itu datang, saat kemudian kau merasa lelah, tidak apa-apa. Selama kelelahan yang menyertaimu, adalah kelelahan yang dicintai-Nya. Tapi bahkan saat kau lelah, tidak apa-apa. Asal ketika itu, kau masih ingat bahwa di saat yang sama, ada hati yang harus kau jaga, iman yang harus kau bina, dan ego yang sebaiknya … tak luput dari tata.


Ahad, 8 Muharram 1441 H

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar