Membereskan buku sungguh merepotkan.
Di tengah kesibukan yang lain, butuh waktu berhari-hari untuk memasukkan buku
ke kardus-kardus yang sudah kusiapkan. Buku-buku itu seolah tak kunjung habis
dari dalam lemari penyimpanan khusus buku milikku di kamar kos. Padahal hari di mana aku wisuda, sebagian buku
sudah diangkut dengan koper dan laundry bag. Lalu selama membereskan
buku, entah kenapa, saat mengemasi data-data kasar, aku terus memikirkan Abi.
Aku berpikir, barangkali, salah satu alasan kenapa Abi belum juga mengizinkanku
untuk mempunyai SIM dan naik motor di jalan raya (kalau jalan kampung boleh)
di usiaku yang sudah tidak bisa lagi dibilang remaja ini, adalah karena aku
buta arah. Aku tidak menutup kemungkinan Abi mengkhawatirkanku dan keputusan
itu lahir karena betapa sering ia melihat kecelakaan di jalanan pantura. Tetapi
soal Abi, aku tidak pernah mempertanyakan apa-apa yang dilarangnya, karena aku
percaya bahwa Abi selalu mempertimbangkan kebaikanku dan keputusannya jika
telah menggunakan dalil-dalil, tidak bisa kulawan. Aku, sesungguhnya, tipe anak
penurut—meski aku pernah berontak untuk beberapa pilihan.
Aku tidak pernah merasa bermasalah
dengan ketidaktahuanku akan arah. Tentu karena selama ini aku tidak pernah (dan
tidak perlu) naik motor jauh-jauh. Aku tidak perlu menghafal jalan. Ada Abi dan
adik laki-lakiku yang bisa mengantarku ke mana saja. Adik laki-lakiku yang
penurut bahkan mau saja disuruh keluar jika malam-malam aku butuh dan ingin
sesuatu. Jika pun beberapa kali aku pernah durhaka dengan diam-diam motoran
Solo-Semarang demi kondangan, Solo-Jogja demi dolan (yang karena belum
izin, sepanjang jalan aku deg-degan dan baca istighfar terus takut kualat,
hehe), atau yang dekat-dekat saja ke Tawangmangu untuk menghadiri diklat, pasti
aku pergi beramai-ramai dan ada seseorang di belakangku. Artinya, jika aku
tersesat, masih ada teman berbincang. Tidak ada yang perlu kukhawatirkan
tentang buta arah ini. Apalagi aku terbiasa dan senang menggunakan transportasi
umum, dan sopir tidak mungkin salah arah.
Aku tidak pernah mempermasalahkannya
sebelum ternyata, di Psikologi, ketidaktahuanku akan arah ini adalah musibah.
Praktikum Observasi dan Interviu merupakan praktikum pertama yang
mempertemukanku dengan teman-teman baru, dalam satu kelompok. Aku merasa selalu
bisa diandalkan dalam tugas kelompok—mungkin lebih tepat jika kalimatnya
kuganti kalau aku sering mengandalkan diri sendiri dalam tim. Kurasa, di saat
yang sama, ini adalah kelemahan sekaligus kelebihanku. Aku tidak terlalu
bergantung. Tapi aku gagap untuk menangkap kontribusi orang-orang di sekitarku.
Aku bisa diandalkan untuk membuat laporan. Karena terbiasa menulis, cara
berpikirku runtut, aku betah berlama-lama membaca jurnal, aku setidaknya
memahami ejaan yang benar, aku menguasai materi dan aku selalu menginginkan
kesempurnaan. Tapi saat membuat setsipen, aku kelabakan. Aku tidak tahu arah!
Seorang teman yang sebelumnya sudah kuakrabi
di organisasi kelompok psikologi islam, kebetulan adalah satu-satunya laki-laki
di kelompok kami, satu-satunya teman yang sudah kukenal sebelumnya daripada
anggota kelompok lain. Melihatku kebingungan membaca arah, dia berkata, “Koe ki
sholat madep ndi?” tidak ada sentakan dalam nada bicaranya. Sungguh khas
karakternya, dengan sedikit tawa dan seringai senyum. Tapi aku yang tumbuh
dengan doktrin bahwa kata ‘koe’ adalah kata sangat kasar dan tidak pernah
terlontar di keluarga kami—bahkan teman-teman sekolahku padaku, karena mereka
tahu prinsip ini, merasa telingaku memerah. “Hadap kiblat!” jawabku ketus.
Sejak itu, aku mengingat baik-baik arah mata angin.
Berpatokan dengan hall selatan, atau hall tengah. Dengan parkiran dekat Fakultas Teknik,
dengan belakang kampus—saat itu belum ada kantin dan parkiran belakang. Tapi
jika aku sudah berada di luar kampus, aku masih tidak mengerti bagaimana
orang-orang bisa mengingat arah dan jalan dengan begitu mudah. Di titik ini,
aku teringat apa yang dikatakan Ustadz Toni di suatu pertemuan dalam mulazamah bahwa, “Allah memberi kita
potensi amal yang berbeda-beda.”. Isyarat mengenai potensi ini bahkan sudah diterangkan dalam Qur’an
ketika mengabarkan kelahiran Nabi Ishaq dan Nabi Ismail. Ketika mengabarkan kelahiran
Ishaq, Allaah swt berfirman,
وَ بَشَّرُوۡہُ بِغُلٰمٍ عَلِیۡمٍ “…
dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak
yang alim (Ishaq),” (QS. Adz dzaariyaat: 28). Sedangkan
ketika mengabarkan kelahiran Ismail, Allaah swt berfirman, فَبَشَّرْنَاهُ
بِغُلَامٍ حَلِيمٍ “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang
amat sabar,” (QS. Ash shaffat: 101).
Kelahiran Ishaq dikabarkan dengan ‘bi
ghulaamin ‘aliim,’ sedangkan Ismail ‘bi ghulaamin haaliim’. Apa ibrahnya? Aaliim
bermakna pintar dan cerdas, sedangkan haliim bermakna amat sabar. Maka kemudian
kita tahu bahwa Bani Israil—anak keturunan Nabi Ishaq, tumbuh dengan karunia
kecerdasan yang tinggi. Sedangkan Nabi Ismail sudah menerima berbagai ujian
sedari kecil, seperti ditinggalkan di padang pasir yang gersang bersama ibunda,
perintah akan disembelih, hingga keturunannya (Nabi Muhammad) pun tak luput
dari limpahan ujian kesabaran.
Ada banyak jalan yang bisa kita
tempuh dengan apa yang kita miliki. Tapi semoga arah kita selalu sama, yakni
menuju keridhaan-Nya. Potensi yang kita miliki tergantung dengan bagaimana kita
memaksimalkannya. Kekuatan kita, kelebihan kita, membuat kita unik. Semua orang
memilikinya. Tapi tidak serta merta membuat kita spesial. Yang membuatnya
spesial adalah bagaimana kita memanfaatkan kekuatan tersebut untuk menebar
kebaikan. Kebaikan untuk diri sendiri, kebaikan untuk orang lain. Semoga kita
senantiasa dipertemukan dan tidak melewatkan hal-hal baik, orang-orang baik,
serta kesempatan berbuat baik.
Menco, 28/03.
0 komentar