“Bang, saya punya teman hafiz Qur'an, tapi sukanya 'ngoleksi' akhwat, gimana tuh Bang?” kira-kira, begitu kalimat pembuka yang ditulis edgarhamas di akun twitternya untuk membuat sebuah thread. Curhatan tersebut, rupanya, datang dari peserta yang hadir di seminar yang diisi olehnya. Aku suka jawaban yang diberikan edgarhamas kepada si penanya. “Pertama,” kata edgar, “jangan cari sempurna dari muslim. Carilah dari Islam. Maka kamu tidak akan kecewa.”
Edgar, lalu, juga mengutip sebuah kaidah yang terkenal di antara ulama, “Siapa yang bertambah ilmunya tapi tak bertambah petunjuk baginya, Allah tak akan tambahkan kecuali bertambah jauh dari-Nya,” Tweet itu, kira-kira, ditulis setahun yang lalu. Aku tiba-tiba saja ingat. Sebab beberapa waktu yang lalu, satu dua orang yang cukup populer di linimasa Instagram membahas perkara virus merah jambu ini. Jika kembali pada tweet edgar di atas, seorang hafiz, memang tidak serta merta menjadikannya shalih. Hafalan tidak bisa hanya dijaga dengan murojaah. Tetapi dengan akhlak dan adab. Begitupun dengan orang-orang yang dinilai kental dengan Islam berikut atributnya, tak ada yang bisa menjamin. Sebab setelah iman, masih ada istiqomah yang dipertanyakan.
Virus merah jambu yang dibahas di Instagram oleh salah satu mahasiswa sebuah universitas negeri terkemuka di Bandung itu, fokus pada virus yang menjangkiti aktivis organisasi keislaman. Banyak warganet yang lantas menceritakan kisahnya, kisah teman-temannya, atau yang sungguh miris tapi banyak terjadi adalah kisah ketua Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang rupanya juga terserang virus ini. Ada yang diam-diam; menyembunyikan gerisik itu, tak sedikit pula yang terang-terangan menjalin hubungan dengan bawahan, atau teman seangkatan. Misalnya saja, intens menjaga rentetan chat atau teleponan dengan lawan jenis, berboncengan, atau janjian berduaan di satu tempat, di kafe-kafe sepi, atau di tempat yang jarang diketahui anggota pergerakan. Ada yang berakhir dengan penyidangan, ada juga yang malah sengaja dibiarkan teman-teman seperjuangan dengan dalih profesionalitas dan kewajaran (tolong, mari meluruskan mindset ini). Tapi, apakah cinta, memang demikian?
Munculnya sebuah rasa itu fitrah. Dan Islam datang untuk mengaturnya, bukan meniadakannya sama sekali, bahkan melarang tanpa sebab. Lambat laun, melalui pengalaman, diskusi, bacaan, juga saran-saran yang belakangan diberikan, aku jadi paham, bahwa perasaan suka itu kini tidak lagi eksklusif. Bukan berarti ia kehilangan nilai karena sering diobral. Tapi rasa suka dewasa ini demikian mudah dan murah. Rasa suka bisa ditujukan kepada siapa saja; kapan saja. Kita bisa saja suka dengan seseorang karena cara berpikirnya, idealismenya, cara dia memperlakukan orang lain, kegemarannya, ibadahnya, atau bagi kebanyakan orang, mudah baginya untuk menyukai seseorang karena paras. Selalu ada alasan untuk meletakkan rasa suka. Dan rasa suka itu, tidak pernah bertahan lama.
Setelah perasaan suka, kata kerja yang mengikutinya adalah cinta. Kata ini, menurutku, terdengar lebih sakral. Kecuali, jika dimaknai oleh orang-orang yang tersebut di atas. Ia bukan cinta; ia syahwat. Bagi orang-orang ini, kutipan dari Plato mungkin benar adanya, “Love is a serious mental disease.” Sebenarnya, bukan cinta yang salah dalam kasus ini. Tetapi, hasrat. Bagi seorang mukmin, cinta seharusnya bisa membuatnya mengorbit lebih tinggi. Melesat lebih jauh. Dan melejitkan potensi kebaikan berjuta-juta kali lipat. Hal ini bisa tercapai, tentu jika cinta ditempuh dengan cara yang tepat dan baik. Bukan dengan cara-cara yang disketsa oleh pemuja de winst (baca: laba). Alih-alih mendapat provit dari hubungan yang ditempuh dalam bingkai haram, perilaku dealing with other people's bullshit tersebut justru menimbulkan kerugian bertumpuk. Belum lagi jika ternyata endingnya bukan jodoh. Saat proses pun, bukan nggak mungkin kan kamu finding out dia texting with other people? Lah. Semoga kita dijauhkan dari godaan buaya dan kadal-kadal itu.
Tidak ada yang menjamin mereka yang menjaga dirinya lebih baik di mata Allaah. Tapi bagi yang menjaga saja belum ada jaminan; bagaimana dengan yang tidak kan? Hehe. Lagi-lagi, agaknya aku perlu mengutip apa yang ditulis oleh Salim Akhinaa Fillah. Jika jodoh itu bagian dari rizqi, rizqi kita itu soal rasa. Mau dijemput dengan cara halal atau haram, dapatnya itu juga. Yang beda rasa berkahnya. Sebab amat berbeda, yang dihulurkan penuh keridhaan, dibanding yang dilemparkan penuh kemurkaan. Bagi mereka yang mencemarinya dengan hal-hal mendekati zina, ada kenikmatan yang kan hilang meski pintu taubat masih dibuka lapang-lapang.
Akhirnya kemudian kita tahu; bahwa apa-apa yang menggelisahkan, apa-apa yang membuat kita ingin orang lain tidak mengetahui kebenarannya, apa-apa yang kita sembunyikan dan tutupi rapat-rapat, adalah dosa. Meski terselip debaran yang indah; meski rasanya menyenangkan. Semoga Allaah mengaruniakan kita kesabaran, serta apa-apa yang terbaik di sisi-Nya.
0 komentar