Satu-satunya
bagian yang paling menyedihkan dari jatuh cinta adalah bukan bertepuknya cinta.
Bukan ketika kau memendamnya, dan tak mampu mengatakan yang sejujurnya pada
objek yang kau cinta. Bukan ketika kau menahan debar-debar yang bergemuruh.
Bukan ketika orang yang kau damba, menolakmu tanpa pengertian. Bukan ketika
sosok yang kau puja, memintamu menunggu tanpa kepastian. Bahkan bukan saat ia
melambungkan setinggi-tingginya harapan, kemudian menghempaskannya tanpa beban.
Bagian paling menyedihkan dari jatuh cinta adalah pengkhianatan.
Ada
banyak kisah yang berakhir dengan pengkhianatan. Entah bagaimana, tidak sedikit
pula kisah yang dimulai dari pengkhianatan. Tapi bahkan walau kita memandangnya
sebagai awal maupun akhir, pengkhianatan selalu saja menyedihkan. Bagaimana tidak?
Khianat timbul dari sebuah simpul ikat. Bukankah tidak mungkin kita bisa mengaku
terurai, sebelum ia terikat? Saat terikat, kita merawat baik-baik perasaan.
Memupuknya dengan kata-kata cinta. Menyiramnya dengan pertemuan-pertemuan, bersama
beriringan melewati panjang perjalanan. Wewangian bunga semerbak, turut membuat
kita saling mengenali beragam penyelesaian. Hingga saat tiba kita menanti
buah-buahan ranum yang mulai masak, ternyata dia yang selama ini membersamai,
memetik bebuahan yang lebih manis, lebih wangi, dan lebih indah dengan orang
lain. Yang terkadang—daripada kita—, entah mengapa, lebih baik pula.
Kita
terpuruk. Kita mengerang. Kita menyalahkan keadaan—memperburuk diri dengan
rutukan-rutukan. Syukur saat terburuk itu, kita masih ingat satu tujuan: Allah.
Kita menghiba penuh pinta, kita berdoa, kita berharap dengan harapan-harapan
yang begitu menggunung, dan asa yang tampak melangit. Kepada diri sendiri,
untuk mereka yang telah mengkhianati, bahkan bagi perebut mimpi-mimpi. Kita
terus mengais belas kasih. Padahal, tak sadarkah diri, dengan apa yang sedang
dilakukan? Sejatinya, pengkhianatan itulah yang sedang diri persembahkan.
Ketika
cinta manusia menyapa. Ketika kelapangan demi kelapangannya beruntun menemani.
Ketika keringanan menjadi bagian yang tak berkesudahan. Ketika kita berbahagia
dengan pasangan, dengan harta, dengan kebun-kebun menghasilkan, dengan pundi-pundi
sanjung dan pujian, dengan anak-anak. Kita menjadi lena. Kita terlalu sibuk
menjaga gemuruh emosi yang kita rasakan ketika semua itu kita dapatkan. Tapi
kita abai terhadap sebaik-baik pemberi, dan sebaik-baik pencabut segala nikmat.
Lantas saat semua itu lenyap, kita baru teringat, rengekan demi rengekan yang
dulu kita lantunkan. Kita kembali teringat dengan janji-janji yang dengan mudah
kita utarakan, dengan mudah pula kita lupakan ketika semuanya telah tersedia di
tangkup tangan.
Ada
banyak orang-orang yang kita pandang shalih, seolah-olah menjadi teramat jauh
ketika mereka telah mendapatkan apa yang mereka puja. Gadis cantik, jabatan, serta
kesenangan duniawi lain yang membuat lingkaran mereka tinggalkan, yang
memandang nasihat menjadi sebuah ejekan, atau tanda ketidakmampuan, yang rukuk
dan sujudnya menjadi tidak beraturan, yang ayat-ayat hapalannya hanya menjadi
penghias bibir, atau terkadang dilalaikan sebab ia tak ubahnya sekadar kumpulan
kalimat dalam lembar-lembar. Tak penting. Tak indah. Tak menyenangkan. Sayangnya,
entah bagaimana, dalam satu titik di sekitar kita, kisah-kisah ini seringkali
terjadi.
Setelah
beraneka ragam pergolakan, setelah bermacam-macam pengalaman, kurasa, bagian
paling menyakitkan dari jatuh cinta, bukan terletak pada ketidakmampuan kita
mengutarakannya. Bagian paling menyedihkan dari mencintai kefanaan, adalah
ketika kita mengkhianati cinta-Nya.
0 komentar