Bagian Paling Menyedihkan

By Zulfa Rahmatina - 5:59 PM


Satu-satunya bagian yang paling menyedihkan dari jatuh cinta adalah bukan bertepuknya cinta. Bukan ketika kau memendamnya, dan tak mampu mengatakan yang sejujurnya pada objek yang kau cinta. Bukan ketika kau menahan debar-debar yang bergemuruh. Bukan ketika orang yang kau damba, menolakmu tanpa pengertian. Bukan ketika sosok yang kau puja, memintamu menunggu tanpa kepastian. Bahkan bukan saat ia melambungkan setinggi-tingginya harapan, kemudian menghempaskannya tanpa beban. Bagian paling menyedihkan dari jatuh cinta adalah pengkhianatan.

Ada banyak kisah yang berakhir dengan pengkhianatan. Entah bagaimana, tidak sedikit pula kisah yang dimulai dari pengkhianatan. Tapi bahkan walau kita memandangnya sebagai awal maupun akhir, pengkhianatan selalu saja menyedihkan. Bagaimana tidak? Khianat timbul dari sebuah simpul ikat. Bukankah tidak mungkin kita bisa mengaku terurai, sebelum ia terikat? Saat terikat, kita merawat baik-baik perasaan. Memupuknya dengan kata-kata cinta. Menyiramnya dengan pertemuan-pertemuan, bersama beriringan melewati panjang perjalanan. Wewangian bunga semerbak, turut membuat kita saling mengenali beragam penyelesaian. Hingga saat tiba kita menanti buah-buahan ranum yang mulai masak, ternyata dia yang selama ini membersamai, memetik bebuahan yang lebih manis, lebih wangi, dan lebih indah dengan orang lain. Yang terkadang—daripada kita—, entah mengapa, lebih baik pula.

Kita terpuruk. Kita mengerang. Kita menyalahkan keadaan—memperburuk diri dengan rutukan-rutukan. Syukur saat terburuk itu, kita masih ingat satu tujuan: Allah. Kita menghiba penuh pinta, kita berdoa, kita berharap dengan harapan-harapan yang begitu menggunung, dan asa yang tampak melangit. Kepada diri sendiri, untuk mereka yang telah mengkhianati, bahkan bagi perebut mimpi-mimpi. Kita terus mengais belas kasih. Padahal, tak sadarkah diri, dengan apa yang sedang dilakukan? Sejatinya, pengkhianatan itulah yang sedang diri persembahkan.

Ketika cinta manusia menyapa. Ketika kelapangan demi kelapangannya beruntun menemani. Ketika keringanan menjadi bagian yang tak berkesudahan. Ketika kita berbahagia dengan pasangan, dengan harta, dengan kebun-kebun menghasilkan, dengan pundi-pundi sanjung dan pujian, dengan anak-anak. Kita menjadi lena. Kita terlalu sibuk menjaga gemuruh emosi yang kita rasakan ketika semua itu kita dapatkan. Tapi kita abai terhadap sebaik-baik pemberi, dan sebaik-baik pencabut segala nikmat. Lantas saat semua itu lenyap, kita baru teringat, rengekan demi rengekan yang dulu kita lantunkan. Kita kembali teringat dengan janji-janji yang dengan mudah kita utarakan, dengan mudah pula kita lupakan ketika semuanya telah tersedia di tangkup tangan.

Ada banyak orang-orang yang kita pandang shalih, seolah-olah menjadi teramat jauh ketika mereka telah mendapatkan apa yang mereka puja. Gadis cantik, jabatan, serta kesenangan duniawi lain yang membuat lingkaran mereka tinggalkan, yang memandang nasihat menjadi sebuah ejekan, atau tanda ketidakmampuan, yang rukuk dan sujudnya menjadi tidak beraturan, yang ayat-ayat hapalannya hanya menjadi penghias bibir, atau terkadang dilalaikan sebab ia tak ubahnya sekadar kumpulan kalimat dalam lembar-lembar. Tak penting. Tak indah. Tak menyenangkan. Sayangnya, entah bagaimana, dalam satu titik di sekitar kita, kisah-kisah ini seringkali terjadi.

Setelah beraneka ragam pergolakan, setelah bermacam-macam pengalaman, kurasa, bagian paling menyakitkan dari jatuh cinta, bukan terletak pada ketidakmampuan kita mengutarakannya. Bagian paling menyedihkan dari mencintai kefanaan, adalah ketika kita mengkhianati cinta-Nya.



  • Share:

You Might Also Like

0 komentar